Tampilkan postingan dengan label Fiqh Adzan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqh Adzan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 September 2017

Mengecup Dua Ibu Jari Saat Muadzin Mengumandangkan Syahadat

Mengecup Dua Ibu Jari Saat Muadzin Mengumandangkan Syahadat

Oleh; H. Rizqi Dzulqornain al-Batawiy

بسم الله الرحمن الرحيم

 حمدا له أظهر في الوجود *** نور حقيقة النبي المحمود
وصل يا رب على محمد *** الفاتح الخاتم طه الأمجد
وناصر الحق وهادينا الى *** صراطك القويم نهج الفضلا
وآله بحق قدره الفخيم *** وجاه مقدار مقامه العظيم.

أما بعد:

Pertanyaan Saudara Suparman at-Tijaniy dari Poncol Jakarta Utara:

Saya sering melihat beberapa orang tua yang disebut-sebut sebagai tokoh agama di kampung saya, saat mendengar muadzzin melantunkan (اشهد أن محمد رسول الله) mereka mengecupkan dua ibu jari tangannya kemudian mengusapkan ke kedua mata mereka.

Pertanyaan saya, apakah perbuatan tersebut boleh dilakukan? Bila boleh, apa dalil yang menjadi dasar disyariatkannya dan apa keutamaannya? Dan sebutkan sanadnya?

JAWABAN

Mengecup kedua ibu jari atau telunjuk lalu membaca bebacaan dan mengusapkannya kedua mata saat mendengar Muadzzin mengumandangkan (اشهد أن محمد رسول الله) hal tersebut bukan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Amaliah tersebut diamalkan oleh para ulama di kalangan ahli tasawuf berdasarkan pengalaman rohani mereka. Perbuatan itu bukan dilandaskan dari hadis-hadis yang shahih. Kalaupun ditemukan hadis yang menganjurkan hal tersebut, dapat dipastikan hadis-hadisnya termasuk palsu alias hadis odong-odong (bajakan).

Para ulama mengutip dalilnya dari kitab al-Firdaus Bi Ma’stur al-Khithab karya Imam ad-Dailamiy (wafat tahun 509 Hijriyah). Menurut para pakar hadis, riwayat ad-Dailamiy tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan keorsinilannya.

Kesimpulannya, bahwa yang dilakukan oleh para ahli tasawuf terkait amaliyah yang dimaksud kan di atas itu hanya berdasarkan pengalaman rohani para ulama ahli ma'rifah dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang memang sudah teruji coba mendatangkan kesembuhan. Dan boleh-boleh saja mengamalkan hal tersebut sebagai bentuk mengamalkan mujarrabat (eksperimen) untuk kesembuhan atau mencegah penyakit, bukan atas nama mengamalkan sunnah. Sebagaimana bila kita sakit, ketika kita berobat dengan obat-obatan atau cara-cara yang mendatangkan kesembuhan tanpa menisbahkan obat atau cara-cara itu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Syekh Hasan Bin Ibrahim memberikan komentar dalam Taqrirat Irsyad as-Salik Ila Asyraf al-Masalik halaman 13:

وَاشْتَهَرَ عِنْدَ بَعْضِ النَّاسِ وِرْدٌ إِلَّا قَوْلَ الْمُؤَذِّنِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّهِ يُقَبِّلُوْنَ إِبْهَامَهُمْ وَيَمُرُّوْنُ بِهَا عَلَى أَعْيُنِهِمْ قَائِلِيْنَ: مَرْحَبًاً بِحَبِيْبِي وَقُرَّةِ عَيْنِي مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللّهِ، وَهَذَا لَمْ يَرِدْ فِي حَدِيْثٍ

“Telah masyhur di sebagian ulama sebuah wirid, kecuali saat ucapan muadzin“Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, lalu mereka mengecup dua jari jempolnya dan diusapkan ke kedua matanya, kemudian mereka berdoa “Marhaban bihabibiy waqurrati ‘ainiy Muhammadibni Abdillah Saw”. Hal ini tidak bersumber dari hadits.”

Imam as-Syarawaniy dalam kitab Hasyiyah Tuhfatul Muhtaj jilid 1 halaman 479:

وَكُلُّ مَا يُرْوَى فِي هَذَا فَلَا يَصِحُّ رَفْعُهُ أَلْبَتَّةَ قُلْت وَإِذَا ثَبَتَ رَفْعُهُ إلَى الصِّدِّيقِ فَيَكْفِي الْعَمَلُ بِهِ لِقَوْلِهِ - عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ - «عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ» وَقِيلَ لَا يَفْعَلُ وَلَا يُنْهَى وَغَرَابَتُهُ لَا تَخْفَى عَلَى ذَوِي النُّهَى اهـ

Artinya: “Setiap pernyataan yang diriwayatkan (mengenai mengecup kedua ibu jari saat mendengar asyhadu anna Muhammad Rasulullah), tidak valid untuk dinisbahkan kepada Rasulullah adanya. Seandainya memang benar menghubungkan ungkpan tersebut kepada Sayyiduna Abu Bakr as-shiddiq maka cukuplah itu sebagai dalil untuk mengamalkannya karena adanya keterangan hadis Shahih yang mengatakan: Hendaklah kalian mengamalkan sunnahku dan sunnah para pemimpinku yang mendapat petunjuk. Pendapat lain mengatakan, kaifiat tersebut (mengecup kedua ibu jari) tidak diamalkan tetapi juga tidak boleh dilarang. Status hadisnya yang dicurigai keabsahannya sudah umum diketahui oleh orang yang mengerti.

Imam Muhammad Amin Bin Umar Ibn Abidin ad-Dimasyqiy al-Hanafiy (wafat tahun 1252 Hijriyah dalam kitab Raddul Muhtar Ala ad-Durr al-Mukhtar jilid 1 halaman 398 menyebutkan:

وَلَمْ يَصِحَّ فِي الْمَرْفُوعِ مِنْ كُلِّ هَذَا شَيْءٌ. وَنَقَلَ بَعْضُهُمْ أَنَّ الْقُهُسْتَانِيَّ كَتَبَ عَلَى هَامِشِ نُسْخَتِهِ أَنَّ هَذَا مُخْتَصٌّ بِالْأَذَانِ، وَأَمَّا فِي الْإِقَامَةِ فَلَمْ يُوجَدْ بَعْدَ الِاسْتِقْصَاءِ التَّامِّ وَالتَّتَبُّعِ.

Artinya: kaifiat mengecup dua jari tidak ada keterangan yang shahih berdasarkan hadis yang disandarkan kepada Rasulullah. Sebagian ulama mengutip sesungguhnya al-Quhustaniy mencatat di tepi naskahnya bahwa kaifiat itu dikhususkan hanya pada adzan. Adapun iqamah tidak ditemukan anjuran melakukannya setelah mengadakan riset secara mendalam.”

Lebih luas lagi Imam Muhammad Thahir Bin Ali as-Shiddiqiy al-Hindiy (wafat 986 Hijriyah menyebutkan dalam kitab Tadzkiratul Maudhuat halaman 34:

مَسْحُ الْعَيْنَيْنِ بِبَاطِنِ أُنْمُلَتَيِ السَّبَّابَتَيْنِ بَعْدَ تَقْبِيلِهِمَا عِنْدَ سَمَاعِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ مِنَ الْمُؤَذِّنِ مَعَ قَوْلِهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم نَبيا» ذكره الديلمي فِي الفردوس من حَدِيث أبي بكر الصّديق أَنه لما سمع قَول الْمُؤَذّن أشهد أَن مُحَمَّدًا رَسُول الله قَالَ مثله وَقبل بباطن الأنملتين السبابَة وَمسح عَيْنَيْهِ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «من فعل مثل مَا فعل خليلي فقد حلت عَلَيْهِ شَفَاعَتِي» وَلَا يَصح، وَكَذَا مَا أوردهُ أَبُو الْعَبَّاس الرداد المتصوف بِسَنَد فِيهِ مَجَاهِيل مَعَ انْقِطَاعه عَن الْخضر عَلَيْهِ السَّلَام أَنه «من قَالَ حِين سمع أشهد أَن مُحَمَّدًا رَسُول الله مرْحَبًا بحبيبي وقرة عَيْني مُحَمَّد بن عبد اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثمَّ يقبل إبهاميه ويجعلهما على عَيْنَيْهِ لم يعمى وَلم يرمد أبدا» ثمَّ روى بِسَنَد فِيهِ من لم أعرفهُ عَن مُحَمَّد بن البابا أَنه هبت ريح فَوَقَعت مِنْهُ حَصَاة فِي عينه وأعياه خُرُوجهَا وآلمته أَشد الْأَلَم فَقَالَ ذَلِك عِنْد سَماع الْمُؤَذّن فَخرجت الْحَصَاة من فوره فَقَالَ الرداد وَهَذَا يسير فِي جنب فضائله. وَحكي عَن الْبَعْض من صلى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسلم إِذا سمع ذكره فِي الْأَذَان وَجمع إصبعيه المسبحة والإبهام وقبلهما وَمسح بهما عَيْنَيْهِ لم يرمد أبدا قَالَ ابْن صَالح وَسمع عَن بعض الشُّيُوخ أَنه يَقُول عِنْدَمَا يمسح عَيْنَيْهِ صلى الله عَلَيْك يَا رَسُول الله يَا حبيب قلبِي وَيَا نور بَصرِي وَيَا قُرَّة عَيْني قَالَ ومذ فعلته لم ترمد عَيْني وَقد جرب كل مِنْهُم ذَلِك وروى الْحسن مثل مَا رُوِيَ عَن الْخضر عَلَيْهِ السَّلَام بِعَيْنِه انْتهى.

Artinya : Mengusap kedua mata dengan bagian dalam dari kedua ujung dari jari telunjuk sesudah dicium sewaktu mendengar ucapan muazzin ” Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah” dengan perkataan: “Asyhadu Anna Muhammad Abduhu Wa Rasuluhu Radhitu Billahi Rabban Wabil Islami Dinan Wa Bimuhammadin Sallallahhu Alaihi Wassalam Nabiyan”. Ad-Dailami menyebutkannya dalam Al-Firdaus dari hadits Abu Bakar As-Siddiq bahwasanya ketika beliau mendengar perkataan muadzdzin “Asyhadu Anna Muhammadar Rasullullah” beliau telah mengucapkan sebagaimana yang diucapkan oleh muadzdzin sambil mencium bagian dalam dari kedua ujung jari telunjuknya lalu beliau mengusapkan pada kedua matanya . Maka Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang melakukan seperti kekasihku ( Abu Bakar ) maka sungguh halal baginya syafaatku”. Dan hadits ini tidak shahih.
Dan begitu pula apa yang diriwayatkan oleh Abu Al-Abbas Ar-Raddad yang di dalam sanadnya (terdapat) perawi – perawi majhul – tidak dikenal – disertai dengan terputusnya (munqhati’) sanad dari Khidr ‘alaihis Salam bahwasanya: “Barangsiapa yang mengucapkan ketika mendengar Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah:

مرحبا بحبيبي وقرة عيني محمد بن عبد الله صلى الله عليه وسلم

kemudian mencium kedua ibu jarinya dan menyapunya ke kedua matanya, maka dia tidak akan buta dan sakit mata selamanya.

Kemudian diriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya aku (Muhammad Thahir) tidak mengenalnya dari Muhammad bin Alibaba bahwasanya: angin bertiup dan kerikil masuk ke matanya dan membuatnya frustasi untuk mengeluarkannya dan meyakitinya dengan sakit yang sangat. Maka dia mengatakan doa tadi ketika mendengar muadzdzin maka keluarlah kerikil tersebut seketika itu juga. Maka berkata Ar-Raddad: dan ini adalah mudah karena keutamaan bacaan tadi.
Dan dihikayatkan dari sebagian orang barangsiapa yang bershalawat kepada Nabi Shallallhu ‘alaihi wasallam ketika mendengar penyebutannya (Nabi) di dalam adzan dan menggabungkan kedua jari telunjuknya beserta ibu jari dan mencium keduanya kemudian menyapu kedua matanya dengan keduanya niscaya iya tidak sakit mata selama-lamanya. Telah berkata ibnu Shalih dan telah mendengar dari sebagian syaikh bahwasanya mereka berkata ketika menyapu kedua mata:

صلى الله عليك يا رسول الله يا حبيب قلبي ويا نور بصري ويا قرة عيني

Berkata: semenjak aku mengerjakannya, aku tidak sakit mata dan setiap mereka telah mencobanya. Dan Al-Hasan telah meriwayatkan seperti yang diriwayatkan Khidr alaihi As-Salam.

Begitulah pendapat ahli hadis, dengan basic ilmu Dirayah, mereka menolak anjuran mengecup dua jari tangan saat mendengar ucapan Muadzin; Asyhadu anna Muhammad Rasululllah. Berbeda dengan para ulama Tasawuf yang melakukan satu amaliyah selain berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah mereka juga mentajribah (mengujicoba) amaliyah yang mereka dapatkan dari pengalaman rohani baik melalui mimpi maupun sadar atau secara Kasyyaf (terbuka hijab). Imam Abdul wahhab as-Sya’raniy radhiyallahu anhu mengatakan:

واذا ضعف النقل عملنا بالتجربة

Artinya: "Jika ada hadis Dhaif (lemah), maka kami amalkan dengan membuktikan atau mengujicoba khasiatnya.”

Imam Muhammad Bin Muhammad at-Tharabalsiy al-Maghribiy al-malikiy yang tersohor dengan julukan Hatthab ar-Rua’iniy (wafat tahun 954 Hijriyah) dalam kitabnya Mawahib al-Jalil Syrah Muhtashar Khalil jilid 1 halaman 444:

قَالَ فِي الْمَسَائِلِ الْمَلْقُوطَةِ: حَدَّثَنَا الْفَقِيهُ الصَّدِيقُ الصَّدُوقُ الصَّالِحُ الْأَزْكَى الْعَالِمُ الْأَوْفَى الْمُجْتَهِدُ الْمُجَاوِرُ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الْمُتَجَرِّدُ الْأَرْضَى صَدْرُ الدِّينِ بْنُ سَيِّدِنَا الصَّالِحِ بَهَاءِ الدِّينِ عُثْمَانَ بْنِ عَلِيٍّ الْفَاسِيِّ حَفِظَهُ اللَّهُ تَعَالَى قَالَ: لَقِيتُ الشَّيْخَ الْعَالِمَ الْمُتَفَنِّنَ الْمُفَسِّرَ الْمُحَدِّثَ الْمَشْهُورَ الْفَضَائِلُ نُورَ الدِّينِ الْخُرَاسَانِيَّ بِمَدِينَةِ شِيرَازَ، وَكُنْتُ عِنْدَهُ فِي وَقْتِ الْأَذَانِ فَلَمَّا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ يَقُولُ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَبَّلَ الشَّيْخُ نُورُ الدِّينِ إبْهَامَيْ يَدَيْهِ الْيُمْنَى وَالْيُسْرَى وَمَسَحَ بِالظُّفْرَيْنِ أَجْفَانَ عَيْنَيْهِ عِنْدَ كُلِّ تَشَهُّدٍ مَرَّةً بَدَأَ بِالْمُوقِ مِنْ نَاحِيَةِ الْأَنْفِ، وَخَتَمَ بِاللَّحَاظِ مِنْ نَاحِيَةِ الصُّدْغِ، قَالَ فَسَأَلَتْهُ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: إنِّي كُنْتُ أَفْعَلُهُ مِنْ غَيْرِ رِوَايَةِ حَدِيثٍ، ثُمَّ تَرَكْتُهُ فَمَرِضَتْ عَيْنَايَ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي الْمَنَامِ، فَقَالَ لِي لِمَ تَرَكْتَ مَسْحَ عَيْنَيْكَ عِنْدَ ذِكْرِي فِي الْأَذَانِ إنْ أَرَدْتَ أَنْ تَبْرَأَ عَيْنَاكَ فَعُدْ إلَى الْمَسْحِ أَوْ كَمَا قَالَ فَاسْتَيْقَظْتَ وَمَسَحْتَ فَبَرِئَتْ عَيْنَايَ وَلَمْ يُعَاوِدْنِي مَرَضُهُمَا إلَى الْآنَ. وَرُوِيَ عَنْ الْخَضِرِ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - أَنَّهُ قَالَ: مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ يَقُولُ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ مَرْحَبًا بِحَبِيبِي وَقُرَّةِ عَيْنِي مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - ثُمَّ يُقَبِّلُ إبْهَامَيْهِ، وَيَجْعَلُهُمَا عَلَى عَيْنَيْهِ لَمْ يَعْمَ، وَلَمْ يَرْمَدْ أَبَدًا

Disebutkan dalam kitab al-Masail al-Malquthah, bahwa telah bercerita kepada kami ahli fiqh yang sangat terpercaya, yang hsaleh, bersih, berilmu sempurna, seorang mujtahid, bertetangga dengan Masjid al-Haram, menyendiri, Shadruddin bin Sayyidina Shaleh Bahauddin Utsman bin Ali al-Fasiy, hafidzahullah, ia berkata: “Saya bertemu dengan seorang syaikh yang ahli di bidang banyak ilmu, ahli tafsir, ahli hadits, yang populer keutamaannya, Nuruddin al-Khurasan di Kota Syiraz. Saya berada di dekatnya saat adzan. Ketika ia mendengar ucapan muadzin “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, maka Syaikh Nuruddin mengecup kedua jari jempolnya, kanan dan kiri, lalu mengusapkan dengan kedua kuku ke kelopak matanya setiap bacaan syahadat, dimulai dari ujung mata yang lurus dengan hidung (tempat nyompot rebek) lalu mengenyamping ke arah pelipis. Saya (Shadruddin) bertanya kepadanya tentang hal itu, maka ia menjawab: “Dulu saya melakukannya tanpa riwayat hadits, lalu saya meninggalkannya. Maka kedua mata saya sakit dan saya mimpi bertemu Rasulullah Saw. dan bersabda kepadaku: “Kenapa kamu tinggalkan mengusap kedua matamu ketika menyebutku dalam adzan. Jika kamu ingin kedua matamu sembuh maka ulangilah mengusap matamu.”Lalu saya terbangun dan mengusap kedua mataku. Dan sampai sekarang tidak pernah sakit mata lagi.” Diriwayatkan dari al-Khadhir alaihis salam: Siapa saja yang membaca: “Marhaban Bi Habibiy Waq urratu Ainiy Muhammad Bin Abdillah Shallalllahu alaihi wa sallam” ketika muadzzin berkata: Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” lalu ia mengecup dua jempol tanganya (kanan dan kiri) setelah itu ia jadikan keduanya untuk mengusap dua matanya, maka ia tidak akan mengalami buta atau lamur selamanya.”


Imam at-Thahthawiy al-Hanafiy (wafat 1231 Hijriyah), menukilkan dalam kitabnya Hasyiyah Maraqi al-Falah jilid 1 halaman 205:

ذكر القهستاني عن كنز العباد أنه يستحب أن يقول عند سماع الأولى من الشهادتين للنبي صلى الله عليه وسلم صلى الله عليك يا رسول الله وعند سماع الثانية قرت عيني بك يا رسول الله اللهم متعني بالسمع والبصر بعد وضع إبهاميه على عينيه فإنه صلى الله عليه وسلم يكون قائدا له في الجنة


Al-Quhustaniy mengutip dari kitab “Kunz al-’Ibad fi fadhail al-Ghazw wa al-jihad” oleh abu al-Qasim bin Iqal berkata:”Dianjurkan pada saat mendengar syahadatain atas Rasul untuk mengucapkan Shallallahu ‘alaika ya Rasulallah pada syahadat pertama dan mengucapkan Qurrat ‘aini bika ya rasulallah allahuma matti’ni bi as-sam’i wa al-bashari pada saat mendengar syahadat yang kedua setelah mencium kedua ujung ibu jari sambil mengusapkannya ke mata, maka Rasulullah SAW akan menjadi penunjuk jalan baginya untuk meraih kebahagiaan di surga”.

Sayyid Abu Bakr Usman Muhammad Syatha (wafat tahun 1310 Hijriyah) dalam kitab Ianatut Thalibin jlid 1 halaman 281 mengutip qaul Imam as-Syanwaniy:

من قال حين يسمع قول المؤذن: أشهد أن محمدا رسول الله: مرحبا بحبيبي وقرة عيني محمد بن عبد الله – صلى الله عليه وسلم -. ثم يقبل إبهاميه ويجعلهما على عينيه لم يعم ولم يرمد أبدا.

Siapa saja yang membaca: “Marhaban Bi Habibiy Waq urratu Ainiy Muhammad Bin Abdillah Shallalllahu alaihi wa sallam” ketika muadzzin berkata: Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” lalu ia mengecup dua jempol tanganya (kanan dan kiri) setelah itu ia jadikan keduanya untuk mengusap dua matanya, maka ia tidak akan mengalami buta atau lamur selamanya.”

Adapun sanad muttashil kepada Imam Muhammad Bin Muhammad at-Tharabalsiy al-Maghribiy al-Malikiy yang tersohor dengan julukan Hatthab ar-Rua’iniy (wafat tahun 954 Hijriyah) pengarang kitab Mawahib al-Jalil Syrah Muhtashar Khalil, sebagai berikut:

الحاج رزقي ذو القرنين أصمت البتاوي عن فضيلة الدكتور السيد حسام الدين بن سليم الكيلاني الحسني الحمصي عن العلامة مسند الدنيا الشيخ محمد ياسين بن محمد عيسى الفاداني عن الشيخ محمد علي بن حسين المالكي عن أخيه الشيخ محمد عابد عن أبيه الشيخ حسين بن ابراهيم الازهري عن الشيخ احمد منة الله الازهري عن العلامة محمد الامير الكبير عن الشيخ علي بن محمد السقاط عن الشمس محمد بن عبد السلام بناني عن ابي العباس احمد بن ناصر الدين الدرعي عن ابي سالم العياشي عن ابي مهدي عيسى الثعالبي عن الشيخ علي بن عبد الواحد الانصاري عن العلامة احمد بن محمد المقري عن الشيخ احمد بابا التنبكتي عن الشيخ يحيى بن محمد الحطاب عن أبيه مولف كتاب مواهب الجليل على شرح مختصر خليل رحمه الله الامام محمد بن محمد الحطاب الرعيني المالكي رحمه الله .

Dikutip ulang dari kitab ittihaful amajid bi nafaisil fawaid karya al-Qadhiy Abu Mun'yah as-Sakunjiy at-Tijaniy jilid 2 halaman 253.






Khadimul Majlis al-Mu'afah
H. Rizqi Dzulqornain al-Batawiy M.A

Ikuti Kajian Islam:

instagram.com/rizkialbatawi

@rizkialbatawi


 ********* ******** ********

يا فالق الحب والنوى، أعط كل واحد من الخير ما نوى، وارفع عنا كل شكوى، واكشف عنا كل بلوى، وتقبل منا كل نجوى، وألبسنا لباس التقوى، واجعل الجنة لنا مأوى .

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ، نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ وَالْهَادِي إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ، وَعَلىَ آلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ العَظِيْمِ.
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

Alamat Yayasan al-Muafah

Jalan Tipar Cakung Rt: 05 Rw 08 NO: 5 Kampung Baru, Cakung Barat 13910






Jumat, 29 Mei 2015

Hukum Duet Dalam Adzan

Hukum Duet Dalam Adzan

Oleh; H. Rizqi Dzulqornain al-Batawiy


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين
والصلاة والسلام على سيدنا محمد الفاتح الخاتم وعلى اله وصحبه اجمعين . أما بعد:

Pertanyaan dari bapak Mamat H. Tunjih dari Sukapura, Jakarta Utara, jamaah Masjid Mambaul Hikmah.

Apakah boleh seseorang melanjutkan adzan yang dilakukan muadzin yang tiba-tiba meninggalkan adzannya lantaran satu dari lain hal. Apakah boleh bagi dua orang muadzin yang melakukan adzan saling bersaut-sautan. Seperti;

Ahmad mengucap Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Kemudian si Zaid melanjutkan: Ashadu Alla Ilaha Illallah 2 kali. Disusul lagi dengan Ahmad; Asyhadu anna Muhammaddar Rasulullah 2 kali hingga selesai adzan.?

Jawaban:

Untuk menjawab pertanyaan bapak Mamat H. Tunjih perlu kita ketahui terlebih dahulu syarat-syarat Sah adzan.

Sayyid Muhammad Abdullah al-Jurdaniy menyebutkan dalam Kitab Fathul Allam Syarh Mursyidil Anam jilid kedua halaman: 113 sebagai berikut;

Bahwa syarat-syarat adzan dan iqomah itu ada 7 macam:

وبشترط في الآذان والاقامة معا :

الإسلام
التمييز
الترتيب
الولاء
الجهر لجماعة
 عدم البناء على أدان الغير وإقامته
ودخول الوقت

1. Yang adzan adalah orang Islam.
2. Sudah Tamyiz (dewasa berakal)
3. Tertib sesuai susunan
4. Berurutan tidak ada jeda yang lama antara kalimat adzan.
5. Mengencangkan suara jika untuk berjamaah.
6. Tidak meneruskan bacaan adzan atau iqamat orang lain.
7. Masuk waktu.

Imam Ibrahim al-Baijuriy mengatakan bahwa menurut pendapat mu'tamad adzan itu disyaratkan dilakukan oleh lelaki.

Dari persyaratan di atas dapat kita jawab bahwa melanjutkan bacaan muadzin yang meninggalkan adzannya atau adzan yang dilakukan dengan saut-sautan (saling menjawab) antara dua muadzin satu sama lainnya tidak diperbolehkan. Orang yang ingin menggantikan muadzzin yang meninggalkan adzannya, maka ia kudu isti'naf (mulai dari awal), tidak boleh nerusin redaksi adzan muadzin sebelumnya.

Adzan adalah ibadah, bukan kerjaan yang boleh dibuat kreasi-kreasi agar orang tertarik. Adzan bukan seperti pantun palang pintu kudu ada saut-sautan atau kuli bangunan yang butuh tukang ama kenek. Adzan juga bukan orkes atau dangdutan yang boleh duet saat mendendangkannya.

Mungkin orang yang membolehkannya beranggapan bahwa adzan itu kaya pantun. Sehingga adzan dikreasikan seperti lakon almarhum Haji Bokir dalam kaset Topeng betawi judul Kumpul kebo:

Tuan rumah: Sampang simping.
Tamu: Temu dalam selampe.
Tuan rumah: Siapa di samping?
Tamu: Ada tamu baru sampe.
Tuan rumah: Ambil Dukdong di buat bale.
Tamu:Kok ambil dukdong dibuay bale.
Tuan rumah: kata bapa tamunya nyampe, duduk dong di bale.


Kesimpulan:

Dibolehkan menggantikan muadzzin yang meninggalkan adzannya tetapi orang yang menggantikan kudu balik dari awal tidak boleh melanjutkan kalimat muadzin pertama. Lantaran pada hakikatnya adzan yang dikumandangan muadzin pertama telah batal. Tidak boleh duet dalam adzan.



والله أعلم بالصواب




 ********* ******** ********


اللهم صل على سيدنا محمد الفاتح لما أغلق والخاتم لما سبق ناصر الحق بالحق والهادي إلى صراطك المستقيم وعلى آله حق قدره ومقداره العظيم

صلاة تحدقنا ببركاتها سرادقات الطافك الخفية وتحرسنا بسيوفك القهرية وتتحفنا بسوابغ نعمك الحسية والمعنوية في جميع الحركات والسكنات وتجري الطافك في سائر امورنا وامور المسلمين والمسلمات


Jakarta: 29 Mei 2015


Khadimul Ma'had al-Muafah
H. Rizqi Dzulqornain al-Batawiy




Adzan Secara Berjamaah Di Satu Masjid

Adzan Berjamaah Di Satu Masjid

Oleh; H. Rizqi Dzulqornain al-Batawiy


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين
والصلاة والسلام على سيدنا محمد الفاتح الخاتم وعلى اله وصحبه اجمعين . أما بعد:

Pertanyaan dari Saudara Mastur at-Tijaniy dari Sukapura, Jakarta Utara, jamaah Majlis Ta'lim al-Muafah.

Apakah boleh beberapa orang melakukan adzan secara bersamaan dalam satu waktu di satu masjid?

Jawaban:

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian melarang dan sebagian membolehkan jika diyakini adzan tersebut benar-benar kompak dengan satu suara dan nada. Jika tidak, maka dilarang.

Imam Ibn Hajar al-Asqallaniy dalam kitab Fathul Bari mengutip pendapat ulama yang mengatakan bahwa adzan secara berjamaah dengan satu suara awal mulanya dilakukan pada masa pemerintahan bani Umayyah.

Imam Muhyiddin Yahya Bin Syaraf an-Nawawiy ad-Dimasyqiy (wafat 676 Hijriyah) dalam kitab Raudhatut Thalibin jilid 1 halaman 316 mengatakan:

فإن كان المسجد كبيرا أذنوا متفرقين في أقطاره وان كان صغيرا وقفوا معا وأذنوا . وهذا ان  لم يؤد اختلاف الاصوات إلى تهويش . وان ادى لم يؤذن إلا واحد .


Artinya; " Apabila masjidnya besar, diperbolehkan beberapa muadzin melakukan adzan dalam keadaan berpencar di tiap sudut masjid. Jika masjidnya kecil diperbolehkan beberapa muadzzin berdiri pada tempat yang sama dan melakukan adzan. Hal demikian dibolehkan jika adzan yang dilakukan bersama-sama itu tidak terjadi perbedaan suara yang menyebabkan kekacauan. Jika kacau, maka satu orang saja yang melakukan adzan."

Dalam mazhab imam Ahmad Bin Hambal disebutkan:

إن أذن عدة في منارة فلا بأس ، وإن خافوا من تأذين واحد بعد واحد فوات أول الوقت ، أذنوا جميعا دفعة واحدة 

Artinya: Jika beberapa orang melakukan adzan di menara, maka diperbolehkan. Apabila mereka adzan satu persatu bergilir ada kekhawatiran luput mengerjakan shalat di awal waktu, maka diperbolehkan mereka adzan berjamaah sekaligus."

Pandangan mazhab imam Malik mengenai adzan berjamaah sebagai berikut:

قال ابن حبيب ولا بأس فيما اتسع وقته من الصلوات ، كالصبح والظهر والعشاء ، أن يؤذن خمسة إلى عشرة واحد بعد واحد ، وفي العصر من ثلاثة إلى خمسة ، ولا يؤذن في المغرب إلا واحد . 

Ibn Habib berkata: Boleh hukumnya melakukan adzan 5 sampai 11 orang jika waktunya leluasa seperti shalat shubuh, zhuhur dan isya. Tetapi adzan tersebut dilakukan secara bergantian satu persatu. Jika shalat ashar boleh 3 sampai 5 orang. Adapun adzan shalat maghrib hanya dibolehkan satu orang saja."


فهذا نص مالك والمالكية في جواز تعدد الأذان في المسجد الواحد ، يؤذنون واحدا بعد واحد 

Inilah nash mazhab imam Malik dan para pengikutnya tentang kebolehan melakukan beberapa kali adzan di satu masjid yakni adzan tersebut dilakukan oleh kelompok orang dengan bergantian satu persatu.

Imam Ibn Hazm al-Andalusiy mengatakan dalam kitab al-Muhalla jilid 2 halaman: 179:

 ولا يجوز أن يؤذن اثنان فصاعدا معا 

Artinya: Tidak boleh dua orang atau lebih melakukan adzan secara bersamaan."

Pada halaman 180 beliau menegaskan:

وجائز أن يؤذن جماعة واحدا بعد واحد للمغرب وغيرها سواء في كل ذلك ، فلم يمنع تعدد الأذان من عدة مؤذنين في المسجد الواحد أحد من سلف الأمة . 


Dan boleh beberapa orang melakukan adzan bergilir satu persatu untuk shalat maghrib dan shalat wajib lainnya seperti cara tersebut. Tidak ada salah seorang pun dari generasi ulama salaf yang melarang melakukan adzan berkali-kali yang dilakukan oleh beberapa orang muadzin di satu masjid."

Kesimpulan:

Boleh-boleh saja melakukan adzan berjamaah dengan satu suara di waktu dan tempat yang sama jika dengan satu suara dan nada serta satu kalimat atau juga boleh melakukan adzan secara bergantian dengan beberapa muadzin jika waktunya leluasa sehingga tidak ketinggalan awal waktu dalam pelaksanaan shalat. Akan tetapi jika tidak aman dari perbedaan suara dan nada yang tidak karuan, maka dilarang.

Jika adzan berjamaah itu dilakukan lantaran agar tersiar panggilan ajakan shalat jamaah atau sebagai informasi masuk waktu shalat, maka zaman sekarang sudah banyak masjid dan mushalla yang menggunakan toa atau pengeras suara. Pendek kata kalau di Jakarta atau di kota-kota besar lainnya mungkin adzan dengan berjamaah sudah tidak relevan untuk diamalkan. Jika di desa-desa pedalaman sana untuk syiar boleh dilakukan.


والله أعلم بالصواب .



 ********* ******** ********

Datar pustaka

1. Fathul Bari Syarh Shohih al-Bukhari, Cetakan Darul Fikr 2001.

2. Raudhatut Thalibin, cetakan Darul Kutub Ilmiyah 2006.

3 al-Muhalla Bil Astar, cetakan Darul Kutub Ilmiyah 2009.



اللهم صل على سيدنا محمد الفاتح لما أغلق والخاتم لما سبق ناصر الحق بالحق والهادي إلى صراطك المستقيم وعلى آله حق قدره ومقداره العظيم

صلاة تحدقنا ببركاتها سرادقات الطافك الخفية وتحرسنا بسيوفك القهرية وتتحفنا بسوابغ نعمك الحسية والمعنوية في جميع الحركات والسكنات وتجري الطافك في سائر امورنا وامور المسلمين والمسلمات


Jakarta: 29 Mei 2015


Khadimul Ma'had al-Muafah
H. Rizqi Dzulqornain al-Batawiy

Selasa, 10 Februari 2015

Keberkahan Adzan (Musafir, Bayi, Orang Kesurupan)

Seorang ahli ma’rifah Sayyid Mushtafa Bin Kamal al-Bakriy as-Shiddiqiy Radhiyallahu Anhu (wafat 1126 Hijriyah) menyebutkan dalam kitab al-Mathlab at-Tam as-Sawiy Syarh Hizb al-Imam an-Nawawiy :” Di antara manfaat yang tidak diketahui banyak orang bahwa redaksi lafazh adzan dan iqomah memiliki khasiat (kemanjuran) jika ditulis di punggung orang yang sedang mengalami “Mahmum” (meriang tingkat tinggi) maka akan cepat sembuh seketika itu dengan izin Allah Taala.”

Dan keutamaan lain dari adzan dan iqomah, jika seorang yang ingin melakukan safar (perjalanan) diadzankan dan diiqomahkan di belakang kepalanya, maka dengan izin Allah Taala ia akan kembali ke rumahnya dalam keadaan selamat.

Imam Syihabud Din Ahmad Bin Ahmad Abdul Lathif as-Syarajiy az-Zabidiy ahli hikmah dari negri Zabid, Yaman (wafat 893 Hijriyah) berkata: “ Di antara keutamaan adzan, jika seseorang merasa tersesat (pergi tak tahu arah pulang) di satu tempat, hendaknya ia melakukan adzan maka dengan izin Allah Taala ia akan mendapat petunjuk.”[1]

Subhanallah ternyata adzan bukan hanya dijadikan syiar menandakan masuknya waktu shalat saja, tetapi banyak keutamaan lainnya. Dalam hadis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam at-Thabaraniy dalam al-Mu’jamul Ausath dengan sanad yang bersambung kepada Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu:

اذا تغولت لكم الغيلان فنادوا بالاذان فان الشيطان اذا سمع النداء ادبر وله حصاص .

Artinya:”  Apabila kalian digoda oleh Ghilan (kesurupan setan), maka serulah dengan adzan lantaran syetan apabila mendengar adzan ia buron terbirit-birit sambil terkentut-kentut.”

          Bahkan dalam keterangan hadis shoheh riwayat imam at-Tirmidziy, imam al-Hakim an-Naisyaburiy dalam kitab al-Mustadrak dan para elite ulama hadis lainnya menjelaskan bahwa Rasulullah menganjurkan bayi yang dilahirkan untuk diadzankan kuping kanannya dan diiqomahkan kuping kirinya. Untuk mendapat info lebih danta lagi coba lihat kitab Tuhfatudz Dzakirin dan kitab Nailul Authar karya Imam Muhammad bin Ali as-Saukaniy radhiyallahu anhu, supaya anda jangan terkecoh dengan perkataan orang yang mengatakan bahwa mengadzani bayi yang baru lahir itu termasuk Bid’ah. “Bid’ah biji mata luh kendor” !!! Masa perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam ente bilang Bid’ah. Kalo sudah ada perintah Allah dan Rasulullah, maka perkataan siapapun kaga usah kita endain (pertimbangkan).

          Boleh jadi, saban ada orang di kampung saya yang mau melakukan perjalan ibadah haji atau umrah pake diadzanin dan diqomatin. Ternyata mereka semata-mata Mengharap barokah dari kalimat-kalimat mulia dalam redaksi adzan yang di awali dengan kalimat takbir berlanjut dua kalimat syahadat, terdapat kalimat ajakkan ibadah shalat dan meraih al-Falah (keberuntungan) dan diakhiri dengan takbir dan kalimat tauhid “La ilaha illalllah”.  

Dikutip dari kitab ittihaful amajid bi nafaisil fawaid jilid 2 halaman 235 karya Abu Mun'yah as-Sakunjiy at-Tijaniy.


Khadimul Ma'had al-Muafah
Abu Mun'yah H. Rizqi Dzulqornain


Qodhi Ahmad Sukairij Radhiyallahu Anhu
sedang membaca kitab Jawahirul Maa'niy






[1] Al-mathlab at-Tam as-Sawiy Syarh Hizb Imam an-Nawawiy, h. 42-43.