Hukum Mengadakan Walimah
Landasan hukum mengadakan Walimah mengacu
pada hadis yang diriwayatkan oleh Anas Ibn Malik, Shafiyyah Binti Syaibah dan
Buraidah sebagai berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ عَوْفٍ أَثَرَ صُفْرَةٍ فَقَالَ مَا هَذَا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي تَزَوَّجْتُ
امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ فَبَارَكَ اللَّهُ لَكَ أَوْلِمْ
وَلَوْ بِشَاةٍ .
Artinya:" Dari Anas Ibn Malik bahwa
Nabi pernah melihat bekas kekuningan pada Abdurrahman Ibnu Auf. Lalu beliau
bersabda: "Apa ini?". Ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
telah menikahi seorang perempuan dengan maskawin senilai satu biji emas. Beliau
bersabda: "Semoga Allah memberkahimu, selenggarakanlah walimah walaupun
hanya dengan seekor kambing."[1]
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : أَقَامَ اَلنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَالْمَدِينَةِ ثَلَاثَ لَيَالٍ يُبْنَى عَلَيْهِ بِصَفِيَّةَ
فَدَعَوْتُ اَلْمُسْلِمِينَ إِلَى وَلِيمَتِهِ فَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ خُبْزٍ وَلَا
لَحْمٍ وَمَا كَانَ فِيهَا إِلَّا أَنْ أَمَرَ بِالْأَنْطَاعِ فَبُسِطَتْ فَأُلْقِيَ
عَلَيْهَا اَلتَّمْرُ وَالْأَقِطُ وَالسَّمْنُ .
Artinya:" Anas berkata: Nabi pernah
berdiam selama tiga malam di daerah antara Khaibar dan Madinah untuk bermalam
bersama Shafiyyah (istri baru). Lalu aku mengundang kaum muslimin menghadiri
walimahnya. Dalam walimah itu tak ada roti dan daging. Yang ada ialah beliau
menyuruh membentangkan tikar kulit. Lalu ia dibentangkan dan di atasnya
diletakkan buah kurma, susu kering, dan samin.[2]
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ صَفِيَّةَ عَنْ أُمِّهِ
صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ قَالَتْ أَوْلَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيرٍ .
Artinya:"Mengabarkan
kepada kami Sufyan dari Manshur Ibn Shafiyyah dari Ibunya Shafiyyah Bint
Syaibah berkata: Nabi mengadakan Walimah sebagian istrinya dengan 2 mud gandum."[3]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ
دُعِيتُ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَأَجَبْتُ وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ
أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ .
Artinya:"Dari Abi Hurairah semoga
Allah memberikan keridhaannya sesungguhnya Rasulullah bersabda: Seandainya aku
diundang pada Walimah yang disediakan sebelah kaki kambing, niscaya aku akan
datang. Seandainya aku diberikan hadiah sebelah kaki kambing, maka aku akan
menerimanya."[4]
عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ
عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا خَطَبَ عَلِيٌّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهُ لَا بُدَّ
لِلْعُرْسِ مِنْ وَلِيمَةٍ قَالَ فَقَالَ سَعْدٌ عَلَيَّ كَبْشٌ وَقَالَ فُلَانٌ عَلَيَّ
كَذَا وَكَذَا مِنْ ذُرَةٍ .
Artinya:"Dari Ibn Buraidah dari
bapaknya berkata: Tatkala Sayidina Ali melamar Siti Fatimah semoga Allah memberikan
keridhaan kepada keduanya. Rasulullah bersabda: Hal ini semestinya diadakan
Walimah. Periwayat hadis berkata: salah satu sahabat yang bernama Saad berkata:
Saya akan memberikan kambing, dan sahabat lainnya berkata: saya memberikan
sesuatu dan ada yang memberikan gandum."[5]
Para ulama sepakat
tentang anjuran mengadakan pesta perayaan nikah, meskipun mereka berbeda pendapat
tentang hukumnya. Hukum mengadakan berbagai Walimah yang disebutkan sebelumnya
hukumnya sunnah. Adapun hukum mengadakan Walimatul Ursiy menempati posisi
paling utama dalam kesunnahannya dari pada Walimah yang lainnya. Sebagaimana
dinyatakan oleh Imam Zakariyya al-Anshariy:
وَلِيمَةُ الْعُرْسِ
آكَدُ الْوَلَائِمِ .
Artinya:"Mengadakan
Walimatul Ursiy merupakan kesunnahan yang paling kuat diantara Walimah lainnya."[6]
Imam Muhammad Ibn Ahmad al-Ramliy
lebih tegas mengatakan:
( وَلِيمَةُ الْعُرْسِ ) بِضَمِّ الْعَيْنِ
مَعَ ضَمِّ الرَّاءِ وَإِسْكَانِهَا ( سُنَّةٌ ) مُؤَكَّدَةٌ بَلْ هِيَ آكَدُ الْوَلَائِمِ
لِثُبُوتِهَا عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلًا وَفِعْلًا .
Artinya:"Walimatul Ursiy dibaca
dengan Dhammah Ain serta Dhammah atau Sukun huruf Ranya. Hukumnya sunnah
muakkadah bahkan ia merupakan kesunnahan yang paling kuat diantara Walimah
lainnya, karena adanya keterangan bahwa Rasulullah menetapkannya baik dengan
perkataan dan perbuatannya."[7]
Imam Nawawiy al-Dimasyqiy
mengatakan:
وَلِيمَةُ الْعُرْسِ سُنَّةٌ . وَفِي قَوْلٍ أَوْ وَجْهٍ وَاجِبَةٌ
.
Ada
pendapat yang mengatakan bahwa mengadakan Walimah hukumnya adalah Fardhu
Kifayah (kewajiban kolektif), pendapat ini dihikayatkan oleh Imam al-Shaimiriy:
وَحَكَى الصَّيْمِرِيُّ
وَجْهًا ثَالِثًا : أَنَّ الْوَلِيْمَةَ فَرْضٌ عَلَى الْكِفَايَةِ فَاِذَا فَعَلَهَا
وَاحِدٌ اَوِ اثْنَانِ فِي النَّاحِيَةِ اَوِ الْقَبِيْلَةِ وَشَاعَ فِي النَّاسِ
وَظَهَرَ سَقَطَ الْفَرْضُ عَنِ الْبَاقِيْنَ .
Artinya:"Imam al-Shaimiriy
menghikayatkan wajh yang ketiga: Bahwa mengadakan Walimah hukumnya Fardhu
Kifayah, apabila satu orang atau dua orang mengadakan Walimah pada satu kampung
atau Qabilah dan tersiar, maka gugurlah kewajiban bagi orang lainnya."[9]
Mayoritas
ulama mengatakan bahwa mengadakan Walimatul Ursiy hukumnya sunnah muakkadah
(yang dikuatkan). Alasan mereka antara lain sabda Rasulullah kepada Abdurrahman Ibn Auf:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ .
Artinya: Adakanlah
olehmu Walimah sekalipun dengan memotong seeokor kambing."
Meskipun Rasulullah dalam sabdanya itu
menggunakan Fiil Amr (kata yang mengandung perintah), namun perintah
disini adalah sunah, karena tidak semua orang mampu mengadakan Walimah dalam
satu pernikahan. Sebab perintah memotong
kambing tersebut dianalogikan (diqiyaskan) dengan perintah melakukan Qurban dan
Walimah lainnya.[10]
Imam
Ibn Thulun mengatakan:
وَأَمَّا سَائِرُ الْوَلاَئِمِ غَيْرُ وَلِيْمَةِ
الْعُرْسِ، فَالْمَذْهَبُ الَّذِي قَطَعَ بِهِ الْجُمْهُوْرُ أَنَّهَا مُسْتَحَبَّةٌ
وَلاَ يَتَأَكَّدُ تَأَكُّدَ وَلِيْمَةِ الْعُرْسِ ، وَطَرَدَ الْمُتَوَلِّي فِيْهَا
الْوُجُوْبَ . وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حنبل: لاَ تُسْتَحَبُّ ودليلنا قوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ دُعِيْتُ إِلَى
ذِرَاعٌ لَأَجَبْتُ وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ لَقَبِلْتُ " وَلِأَنَّ فِيْهِ إِظْهَارَ نِعَمِ اللهِ تَعَالَى وَالشُّكْرَ
عَلَيْهَا وَاِكْتِسَابَ اْلأَجْرِ وَالْمَحَبَّةِ فَكَانَ مُسْتَحَبّاً.
Artinya:"Adapun Walimah selain Walimatul Ursiy,
menurut pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama hukumnya adalah sunnah.
Tidak sama kekuatan kesunnahannya dengan Walimatul Ursiy. Syaikh al-Mutawalliy mengatakan wajib. Imam
Ahmad berkata: Walimah selain Walimatul Ursiy tidak disunnahkan. Dalil kami Rasulullah
bersabda: Seandainya aku diundang pada Walimah yang disediakan sebelah kaki
kambing, niscaya aku akan datang. Seandainya aku diberikan hadiah sebelah kaki
kambing, maka aku akan menerimanya. mengadakan Walimah merupakan perbuatan
menunjukan ni'mat-ni'mat Allah dan ungkapan syukur atas ni'mat serta mencari
pahala dan kecintaan yang merupakan anjuran."[11]
Khadimul Janabin Nabawiy
H. Rizqi Zulqornain al-Batawiy
اللَّهمَّ
صَلِّوَاجْزِهِ عَنَّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَاجْزِهِ عَنَّا مَا هُوَ
أَهْلُهُ حَبِيبِكَ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ
عَلَيْهِ هُمَا هُوَ أَهْلُهُ حَبِيبِكَ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَاجْزِهِ عَنَّا مَا هُوَ أَهْلُهُ
حَبِيبِكَ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
وَاجْزِهِ عَنَّا مَا هُوَ أَهْلُهُ خَلِيلِكَ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا
إِبْرَاهِيمَ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَاجْزِهِ عَنَّا مَا هُوَ أَهْلُهُ خَلِيلِكَ،
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَاجْزِهِ
عَنَّا مَا هُوَ أَهْلُهُ خَلِيلِكَ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
كَمَا صَلَّيْتَ وَرَحِمْتَ وَبَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ،
إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، عَدَدَ خَلْقِكَ وَرِضَاءَ نَفْسِكَ وَزِنَةَ عَرْشِكَ،
وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَنْ
صَلَّى عَلَيْهِ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَنْ لَمْ
يُصَلِّ عَلَيْهِ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا
صُلِّىَ عَلَيْهِ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ أَضْعافَ مَا
صُلِّىَ عَلَيْهِ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا هُوَ
أَهْلُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى
لَهُ.
[1] Riwayat Imam Bukhariy dan Imam Muslim, Redaksi di
atas riwayat Imam Muslim hadis no: 2556.
[2] Imam Ibn Hajar al-Asqallaniy dalam kitab Bulugh
al-Maram hadis no: 1046.
[3] Riwayat Imam Bukhariy dalam kitab Shahihnya hadis no:
4774.
[4] Riwayat Imam al-Bukhariy, dalam kitab Shahihnya hadis
no: 2380.
[5] Riwayat Imam Ahnad Ibn Hambal dalam kitab Musnad
hadis no: 21957.
[6] Imam Zakariyya al-Anshariy, Asna al-Mathalib
Syarh Rawdh al-Thalib vol. 6 (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah 2001) 447; Imam Ahmad Ibn Umar al-Muzajjad, al-Ubab
al-Muhith Bi Mu'zham Nushush al-Syafii Wa al-Ashhab vol. 2 (Dar
al-Minhaj 2009) h. 675.
[7] Imam Muhammad al-Ramliy, Nihayah al-Muhtaj
Syarh al-Minhaj vol. 6 (Beirut:
Dar al-Fikr 2004) h. 396.
[8] Imam Nawawiy al-Dimasyqiy, Minhaj al-Thalibin
(Surabaya: Dar
al-Ihya) h. 92.
[9] Imam Yahya Ibn Salim al-Imraniy, al-Bayan Fi
Fiqh al-Syafiiy vol. 9 (Beirut:
Dar al-Kutub 2002) h. 440.
[10] Syaikh Abu Bakr Syatha, I'anah al-Thalibin
vol. 3 (Beirut:
Dar al-Fikr 2002) h. 407.
[11]
Imam Ibnu Thulun, Fassh al-Khawatim Fi Ma
Qila Li al-Walaim (Maktabah Syamilah 2008) h. 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar