Shalawat Imam Khalid al-Naqsyabandiy
اَللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ
كُلِّ دَاءٍ وَدَوَاءٍ . وَبَارِكْ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَعَلَيْهِمْ كَثِيْرًا .
Artinya: ” Ya Allah, berikan rahmat yang disertai Ta’zhim kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad sebanyak segala macam penyakit dan seluruh obat. Dan limpahkanlah keberkahan dan salam yang banyak kepada beliau dan kepada mereka (keluarga Nabi).”
Penjelasan:
Shalawat ini bersumber dari Maulana
Syaikh Khalid al-Naqsyabandiy, pembaharu Thariqah Naqsyabandiyah. Para ulama
menyebutkan bahwa shalawat ini merupakan perisai yang sangat ampuh untuk
mencegah datangnya Tha’un (wabah). Syaikh Khalid al-Naqsyabandiy memerintahkan,
apabila tha’un mewabah, maka bacalah shalawat ini setiap selesai mengerjakan
shalat fardhu sebanyak 3 kali. Dan pada bacaan yang ke-3 ulangi lafaz (كثيرا) sebanyak 2 kali dan ditutup dengan tambahan shalawat:
وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى جَمِيْعِ اْلأَنْبِيَاءِ
وَالْمُرْسَلِيْنَ وَ آلِ كُلٍّ وَصَحْبِ كُلٍّ أَجْمَعِيْنَ . وَالْحَمْدُ ِللهِ
رَبِّ الْعَالَمِيْنَ .
Biografi Imam Khalid al-Naqsyabandiy
Syaikh Khalid al-Baghdadi adalah Mursyid tariqat
Naqsyabandi ke-31, penerus rahasia tariqat Naqsyabandi dari Syaikh Abdullah
ad-Dahlawi. Beliau menyebarkan ilmu-ilmu Syariat dan Tashawuf. Beliau adalah
seorang mujtahid (penguasa) dalam Hukum Ilahi (syari`at) dan Realitas Ilahi
(Haqiqat). Beliau merupakan cendikiawan dari para cendikiawan dan Wali dari
para Wali dan yang orang paling banyak pengetahuannya, pada masanya beliau adalah
cahaya bulan purnama dalam aliran thariqat Naqsyabandi. Beliau adalah pusat
dari lingkaran Quthub di masanya.
Beliau lahir pada tahun 1193 H/1779 M di
desa Karada, kota Sulaymaniyyah, Iraq. Beliau mempunyai gelar Utsmaniy karena
beliau adalah keturunan Sayyidina Utsman bin Affan, khalifah ketiga dari
Rasulullah. Beliau tumbuh dan belajar di sekolah dan masjid yang tersebar di
kota itu. Pada saat itu kota Sulaymaniyyah dianggap sebagai kota pendidikan
utama. Beliau juga terkenal di bidang puisi. Ketika berumur 15 tahun beliau
menetapkan asceticism (doktrin keagamaan yang menyatakan bahwa seseorang bisa
mencapai posisi spiritual yang tinggi melalui disiplin diri dan penyangkalan
diri yang ketat) sebagai falsafah hidupnya, kelaparan sebagai kudanya, tetap
terjaga (tidak tidur) sebagai jalannya, khalwat sebagai sahabatnya, dan energi
sebagai cahayanya.
Beliau berkelana di dunia Allah dan
menguasai segala macam pengetahuan yang tersedia di jamannya. Belajar berguru
pada dua cendikiawan besar di masanya, yaitu Syaikh `Abdul Karam al-Barzinjiy
dan Syaikh Abdur Rahim al-Barzinjiy, beliau juga membaca bersama Mullah
Muhammad `Ali. Kemudian beliau kembali ke Sulaymaniyyah dan di sana mempelajari
ilmu matematika, filsafat, dan logika. Lalu beliau kembali ke Baghdad dan
mempelajari Mukhtasar al-Muntaha fil-Usul, sebuah ensiklopedia tentang
jurisprudensi. Selanjutnya beliau mempelajari karya-karya Imam Ibnu Hajar, Imam
Suyuthiy, dan Imam Haytamiy. Beliau dapat menghafal tafsir Al-Qur'an dari
tafsir al-Baydawi. Beliau juga mampu menemukan pemecahan atas segala
pertanyaan pelik mengenai jurisprudensi. Beliau juga hafal Al-Qur'an dengan 14
cara membaca yang berbeda, dan menjadi sangat terkenal karena hal ini. Pangeran
Ihsan Ibrahim Pasya, gubernur daerah Baban, berusaha membujuknya untuk mengasuh
sekolah di kerajaannya. Namun beliau menolak dan malah pergi ke kota Sanandaj,
untuk mempelajari ilmu matematika, teknik, astronomi dan kimia. Guru beliau di
bidang ini adalah Muhammad al-Qasim as-Sanandajiy. Setelah menyelesaikan
pelajaran ilmu-ilmu sekuler, beliau kembali ke kota Sulaymaniyyah. Menyusul
wabah penyakit di kota itu pada tahun 1213 H/1798 M, beliau mengambil alih
sekolah Syaikh-nya `Abdul Karam Barzinjiy. Beliau mengajar ilmu-ilmu modern,
meneliti dan menelaah persamaan-persamaan yang sulit di bidang astronomi dan
kimia.
Kemudian beliau berkhalwat, meninggalkan
segala yang telah dipelajarinya, dan datang ke pintu Allah dengan segala
perbuatan yang soleh dan memperbanyak dzikir baik keras maupun dalam hati.
Beliau tidak lagi mengunjungi Sultan, tetapi tetap menjalin hubungan dengan
murid-muridnya hingga tahun 1220 H/1806 M, ketika beliau memutuskan untuk naik
haji dan berziarah kepada Rasulullah. Beliau meninggalkan segalanya dan pergi
ke Hijaz melewati kota-kota Mosul, Yarbikir, ar-Raha, Aleppo dan Damaskus, di
sana beliau menemui para cendikiawan dan mengikuti Syaikhnya, yang merupakan
ahli ilmu-ilmu kuno dan modern dan juga pengajar hadits, Syaikh Muhammad
al-Kuzbary. Beliau menerima otorisasi terhadap Tariqat Qadiriah dari Syaikh
al-Kuzbariy dan deputinya, Syaikh Mustafa al-Kurdiy, yang kemudian melanjutkan
perjalanan bersamanya sampai tiba di kota Rasulullah.
Beliau memberi penghormatan kepada
Rasulullah dengan puisi Persia yang dibaca dengan cara sedemikian rupa sehingga
membuat orang-orang menjadi terpesona akan keelokannya. Beliau menghabiskan
cukup banyak waktu di sana. Beliau menceritakan pengalamannya, "Aku sedang
mencari orang shaleh yang sangat langka untuk dimintai nasihat ketika Aku
melihat seorang Syaikh di sebelah kanan Makam yang Diberkati (Rawdah
al-Syarifah). Aku lalu meminta nasihat kepadanya, dan berkonsultasi dengannya.
Beliau menasihatiku agar tidak berkeluh-kesah terhadap segala masalah yang
mungkin bertentangan dengan Syari’at ketika memasuki kota Makkah, Aku
dianjurkan agar tetap tenang dan diam. Akhirnya Aku pun tiba di Makkah, dan
nasihat tadi benar-benar kupegang dalam hati. Aku pergi ke Masjid Suci pada
pagi hari di hari Jumat. Aku duduk dekat Ka’bah dan membaca Dala'il al-Khairat,
ketika Aku melihat seseorang dengan janggut hitam bersandar pada sebuah pilar
dan matanya menatapku. Terlintas dalam hatiku bahwa orang ini tidak memberikan
penghormatan yang layak kepada Ka’bah, tetapi aku tidak berbicara apa pun
mengenai hal itu.”
"Dia melihatku dan menegurku dengan
berkata, 'Hai orang bodoh, apakah kamu tidak tahu bahwa kemuliaan hati seorang
mukmin jauh lebih berarti dari pada keistimewaan Ka`bah? Mengapa kamu
mengkritik Aku dalam hatimu mengenai cara berbaringku ini, dengan membelakangi
Ka’bah dan mengarahkan wajahku padamu. Apakah kamu tidak mendengar nasihat
Syaikhku di Madinah yang berkata kepadamu agar tidak mengkritik sesuatu?' Aku
berlari kepadanya dan memohon maaf, mencium tangan dan kakinya dan meminta
bimbingannya kepada Allah. Dia lalu berkata, ‘Wahai anakku, harta kekayaanmu
dan kunci hatimu tidak berada di sini, melainkan di India. Syaikhmu berada di
sana. Pergilah ke sana dan beliau akan menunjukkan apa yang harus kamu
lakukan.’ Aku tidak menemukan orang lain yang lebih baik darinya di semua sudut
Masjidil Haram. Namun, dia juga tidak mengatakan kepadaku ke mana aku harus
pergi di India, jadi aku pulang kembali ke Syam dan berasosiasi dengan
cendikiawan di sana.”
Beliau lalu kembali ke Sulaymaniyyah dan
kembali mengajar tentang penyangkalan terhadap diri. Beliau selalu mencari
orang yang dapat menunjukkan jalan baginya. Akhirnya, seseorang datang ke
Sulaymaniyyah, dia adalah Syaikh Maulana Mirza Rahimullah Bik al-M`aruf yang
dikenal juga dengan nama Muhammad al-Darwish `Abdul `Azim al-Abadiy, salah
seorang khalifah dari kutub spiritual, Quthb al-A`zam, `Abdullah al-Dahlawi.
beliau bertemu dengannya, memberinya hormat dan meminta petunjuk yang benar
yang dapat menerangi jalannya. Dia berkata kepadanya, “Ada seorang Syaikh yang
sempurna, seorang cendikiawan dan orang yang mengetahui banyak hal, yang
menunjukkan para pencari jalan kepada Raja dari Raja, ahli dalam segala hal,
menganut tariqat Naqsyabandi, dan mempunyai karakter Rasulullah, seorang
pembimbing dalam ilmu tentang spiritualitas. Ikutlah bersamaku ke Jehanabad.
Beliau telah berpesan kepadaku sebelum aku pergi, ‘kamu akan bertemu seseorang,
bawa dia bersamamu.’”
Syaikh Khalid pindah ke India pada tahun
1224 H/1809 M melalui kota Ray, lalu Teheran, dan beberapa propinsi di Iran di
mana beliau bertemu dengan cendikiawan besar Isma`il al-Kashi. Kemudian beliau
melanjutkan perjalanannya ke Kharqan, Samnan, dan Nisapar. Beliau juga
mengunjungi Guru dari induk segala tariqat di Bistham, Syaikh Abu Yazid al-Busthamiy,
dan beliau memberikan penghormatan di makamnya dengan puisi Persia yang sangat
elok. Kemudian beliau bergerak ke Tus, mengunjungi Sayyid al-Jalal al-Ma'nas
al-Imam `Ali Rida, dan beliau memujinya dengan puisi Persia yang lain yang
membuat semua penyair di Tus menerimanya. Kemudian beliau memasuki kota Jam dan
mengunjungi Syaikh Ahmad an-Namiqi al-Jami dan memberikan penghormatan dengan
puisi Persia yang lain lagi. Beliau lalu memasuki kota Herat di Afghanistan,
lalu Kandahar, Kabul, dan Peshawar. Di semua kota ini cendikiawan besar yang
ditemuinya selalu menguji pengetahuannya tentang hukum syariat dan kesadaran
Ilahi (ma`rifat), ilmu-ilmu logika, matematika, dan astronomi. Mereka
menyebutnya seperti sungai yang luas, mengalir dengan ilmu, atau seperti
samudra tanpa pantai.
Kemudian beliau pindah lagi ke Lahore, di
mana beliau bertemu dengan Syaikh Thana'ullah al-Naqsyabandiy dan meminta do’a
darinya. Beliau mengatakan, “Malam itu Aku bermalam di Lahore dan Aku bermimpi
bahwa Syaikh Thana'ullah al-Naqshbandi menarikku dengan giginya. Ketika Aku
terbangun Aku ingin mengatakan mimpiku itu kepadanya, tetapi dia mengatakan,
‘Jangan ceritakan mimpi itu kepadaku, Kami telah mengetahuinya. Itu adalah
tanda untuk bergerak dan segera menemui saudara dan Syaikhku, Sayyidina
`Abdullah al-Dahlawi. Hatimu akan dibuka olehnya. Kamu akan melakukan bai’at
dalam thariqat Naqsyabandi. Lalu Aku mulai merasakan daya tarik spiritual dari
Syaikh. Aku meninggalkan Lahore, menyebrangi pegunungan dan lembah, hutan dan
padang pasir sampai tiba di Kesultanan Delhi yang dikenal dengan Jehanabad.
Perjalanan itu memakan waktu 1 tahun. 40 hari sebelum Aku tiba, dia berkata
kepada para pengikutnya, ‘Penerusku akan datang”
Malam saat beliau memasuki kota Jehanabad
beliau menuliskan puisi dalam bahasa Arab, merenungkan kembali perjalanannya
dan memuji Syaikhnya. Lalu beliau memberi penghormatan kepadanya dengan puisi
Persia yang mengejutkan semua orang karena keelokannya. Beliau menyerahkan
semua barang yang dibawanya dan segala yang ada di kantongnya kepada fakir miskin.
Kemudian beliau melakukan bay’at dengan Syaikhnya, `Abdullah al-Dahlawi. Beliau
menjadi pelayan di zawiyah (korner) Syaikhnya dan mencapai perkembangan yang
pesat dalam berperang melawan egonya. 5 bulan belum lewat ketika beliau menjadi
salah seorang dalam Kehadirat Ilahi dan mempunyai Visi Ilahi.
Beliau diizinkan oleh Syaikh `Abdullah
untuk kembali ke Iraq. Syaikh memberinya otoritas tertulis dalam lima tariqat:
Yang pertama adalah Thariqat Naqsyabandi, atau Rantai Emas. Yang kedua adalah
thariqat Qadiri melalui Sayyidina Ahmad al-Faruqi' Syaikh Syah al-Sakandariy,
dari sana kepada Sayyidina `Abdul Qadir Jilani, al-Junaid, Sirri al-Saqatiy,
Musa al-Kazim, Ja`far al-Sadiq, Imam al-Baqir, Zain al-`Abidin, al-Husayn,
al-Hasan, `Ali ibn Abi Talib, dan Sayyidina Muhammad. Tariqat ketiga adalah
al-Suhrawardiyyah, yang mempunyai silsilah (rantai) serupa dengan tariqat
Qadiriyyah sampai al-Junaid, yang mengembalikan kembali ke Imam Hasan al-Basriy
dari sana ke Sayyidina Ali dan Rasulullah.
Syaikh ‘Abdullah juga memberinya otoritas
untuk thariqat Kubrawiyyah, yang mempunyai jalur sama dengan thariqat
Qadiriyyah tetapi melalui Syaikh Najmuddin al-Kubra. Akhirnya, beliau diberi
otoritas untuk thariqat Chishti melalui garis yang dapat ditelusuri kembali
dari `Abdullah al-Dahlawi dan Jan Janan kepada Sayyidina Ahmad al-Faruqi lalu
melalui banyak Syaikh kepada Syaikh Mawrad Chishti, Nasir Chishti, Muhammad
Chishti, dan Ahmad Chishti kepada Ibrahim ibn Adham, Fudayl ibn al-`Iyad, Hasan
al-Basri, Sayyidina `Ali, dan Rasulullah.
Syaikh juga memberi otoritas untuk mengajarkan
semua ilmu-ilmu Hadis, Tafsir, Sufisme, dan Amalan Harian (awrad). Beliau hafal
isi buku Itsna `Asyar (Dua Belas Imam), buku pegangan tentang ilmu
pengetahuan dari para penerus Sayyidina `Ali.
Beliau pindah ke Baghdad pada tahun 1228
H/1813 M untuk kedua kalinya dan tinggal di sana di sekolah Ahsa'iyyah
Isfahaniyyah. Beliau mengisinya dengan pengetahuan tentang Allah dan Jalan
untuk Mengingat-Nya. Tetapi sekelompok orang yang iri menulis sebuah surat
tentang hal yang bertentangan mengenai beliau dan dikirimkan kepada Sultan
Sa`ad Pasya, gubernur Baghdad. Mereka mengkritiknya, mengecapnya sebagai orang
yang sesat dan banyak lagi hal lain yang tidak bisa diulangi. Ketika gubernur
membaca surat itu, dia berkata, “Jika Syaikh Khalid al-Baghdadi bukan seorang
mukmin, lalu siapa yang mukmin?” Gubernur lalu mengusir mereka dan
memenjarakannya.
Syaikh meninggalkan Baghdad selama
beberapa waktu lalu kembali lagi untuk ketiga kalinya. Beliau kembali ke sekolah
yang sama yang telah dipugar untuk menyambut kedatangannya. Beliau mulai
menyebarkan segala macam ilmu spiritual dan ilmu surgawi. Beliau membuka
rahasia kehadirat Ilahi, menerangi hati orang-orang dengan cahaya Allah yang
diberikan ke dalam hatinya, hingga gubernur, para cendikiawan, guru-guru,
pekerja, dan orang-orang dari segala bidang pekerjaan menjadi pengikutnya. Pada
masanya Bagdad sangat terkenal dengan pengetahuannya, sehingga kota itu
dinamakan, “Tempat dari Dua Ilmu Pengetahuan” dan “Tempat dari Dua Matahari.”
Serupa dengan itu, beliau juga dikenal dengan sebutan, “Orang dengan Dua Sayap”
(dzu al-janahain), sebuah perumpamaan karena penguasaannya di bidang ilmu
eksternal dan internal. Beliau mengirimkan khalifahnya ke mana saja, mulai dari
Hijaz ke Iraq, dari Syam (Syria) ke Turki, dari Iran ke India dan Transoxania,
untuk menyebarkan jalan leluhurnya dalam tariqat Naqsyabandiy.
Kemana pun beliau pergi, orang akan
mengundang ke rumahnya, dan rumah seperti apa pun yang dia kunjungi, akan
mendapat berkah dan menjadi makmur. Suatu hari beliau mengunjungi Kubah Batu di
Jerusalem dengan para pengikutnya. Beliau sampai di tempat itu dan khalifahnya,
`Abdullah al-Fardi, datang menemuinya dengan kerumunan orang. Beberapa orang
Kristen memintanya untuk masuk ke Gereja Kumama agar mendapat berkah dengan
kehadirannya. Lalu beliau melanjutkan perjalanannya ke al-Khalil (Hebron), kota
Nabi Ibrahim, Ayah dari semua Nabi dan Rasul, di sana disambut oleh semua
orang. Beliau memasuki Masjid Ibrahim al-Khalil dan mengambil berkah dari
temboknya.
Beliau pergi lagi ke Hijaz untuk mengunjungi Baitullah (Ka`bah yang Suci) pada tahun 1241 H/1826 M. Banyak sekali murid dan khalifahnya yang menemani. Warga kota dengan para cendikiawan dan wali juga mendatangi beliau dan semuanya melakukan bai’at dengannya. Mereka memberinya kunci untuk memasuki dua Kota Suci dan mereka mengangkatnya sebagai syaikh spiritual untuk kedua kota tersebut. Beliau lalu mengitari Ka’bah, tetapi yang sesungguhnya Ka’bah yang mengitari beliau.
Setelah haji dan kunjungannya kepada
Rasulullah, beliau kembali ke Syam al-Syarif (Syria yang diberkati). Beliau
sangat dihormati oleh Sultan Ottoman, Mahmud Khan, ketika beliau memasuki Syam,
penyambutan yang meriah diadakan dan sebanyak 250.000 orang menyambutnya di
pintu masuk kota. Semua cendikiawan, Menteri, Syaikh, fakir miskin dan
orang-orang kaya datang untuk mendapatkan berkah dan meminta do’a darinya.
Benar-benar merupakan suatu perayaan. Para penyair melantunkan syair mereka,
sementara itu orang kaya memberi makan yang miskin. Semua orang adalah sama di
hadapan beliau. Beliau membangkitkan pengetahuan spiritual dan pengetahuan
eksternal dan menyebarkan cahaya kepada semua orang, baik Arab maupun non-Arab
yang datang dan menerima thariqat Naqsyabandiy dari tangannya.
Dalam 10 hari terakhir di bulan Ramadhan
1242 H/1827 M beliau memutuskan untuk mengunjungi Quds (Yerusalem) dari
Damaskus. Para pengikutnya sangat bergembira dan berkata, “Alhamdulillah, kami
akan melakukannya bila Allah memanjangkan umur kami, setelah Ramadhan, awal
bulan Syawwal.” Mungkin itu adalah suatu tanda bahwa beliau akan meninggalkan
dunia ini. Pada hari pertama di bulan Syawwal, wabah penyakit mulai menyebar
dengan cepat di kota Syam (Damaskus). Salah satu pengikutnya meminta beliau
untuk mendo’akan dia agar diselamatkan dari wabah tersebut, dan menambahkan,
“dan untukmu juga, Syaikh.” Beliau berkata, “Aku merasa malu kepada Allah,
karena niatku memasuki Syam adalah untuk meninggal di Tanah Suci ini.”
Orang pertama yang meninggal karena wabah
ini adalah putra beliau, Bahauddin, pada Jumat malam dan beliau berkata,
“Alhamdulillah, ini adalah jalan kita,” lalu beliau menguburkannya di Gunung
Qasiyun. Dia baru berusia lima tahun lewat beberapa hari. Anak itu sangat fasih
dalam 3 bahasa, Persia, Arab, dan Kurdi, dan dia juga pandai membaca Al-Qur’an.
Lalu pada tanggal 9 Dzul-Qa`dah, anak
lainnya, Abdur Rahman, meninggal dunia. Dia lebih tua dari saudaranya satu
tahun. Maulana Khalid memerintahkan murid-muridnya untuk menggali makam kembali
untuk menguburkan anak keduanya. Beliau berkata, Dari pengikutku akan banyak
yang meninggal dunia.”
Beliau memerintahkan untuk menggali banyak
lubang untuk para pengikutnya yang jumlahnya banyak, termasuk istri dan anak
perempuannya, dan beliau memerintahkan untuk menyirami daerah itu dengan air.
Lalu beliau berkata, “Aku memberi otoritas kepada Syaikh Isma`il al-Syirwaniy
untuk menggantikan Aku di Thariqat Naqsyabandi.
”Beliau mengucapkan hal ini pada tahun
terakhirnya, 1242 H/1827 M. Suatu hari beliau berkata, “Aku mendapat sebuah
visi yang luar biasa kemarin, Aku melihat Sayyidina `Utsman Zhun-Nurain seolah-olah
dia telah meninggal dan aku melakukan shalat untuknya. Dia lalu membuka matanya
dan berkata, Ini dari anak-anakku.‘ Dia menarikku dengan tangannya, membawaku
kepada Rasulullah, dan mengatakan kepadaku untuk membawa seluruh pengikut
Naqsyabandiy di masa sekarang dan yang akan datang sampai masa Imam Mahdi, lalu
dia memberi berkah untuk mereka semua. Setelah keluar dari visi itu, aku
melakukan shalat Maghrib dengan para pengikut dan anak-anakku.
“Apa pun rahasia yang kumiliki, telah
kuberikan kepada deputiku Isma`il al-Syirwaniy. Siapa saja yang tidak
menerimanya berarti bukan golonganku. Jangan berargumen tetapi satukanlah
pikiranmu dan ikuti pendapat Syaikh Isma`il al-Syirwaniy. Aku menjamin siapa
pun yang mengikutinya akan bersamaku dan bersama Rasulullah.
Beliau memerintahkan mereka untuk tidak
menangisinya, dan meminta mereka untuk mengorbankan hewan dan memberi makan
orang miskin demi kecintaan Allah dan kemuliaan Syaikh. Beliau juga meminta
mereka untuk mengirimkan hadiah berupa pembacaan al-Qur’an dan bacaan dalam
shalat. Beliau memerintahkan mereka untuk tidak menuliskan apapun di makamnya
kecuali, Ini adalah makam orang asing, Khalid.” Setelah shalat ‘Isya Syaikh
Khalid memasuki rumahnya, memanggil seluruh anggota keluarganya dan berkata
kepada mereka, “Aku akan meninggal dunia pada hari Jumat.” Mereka tinggal
bersamanya sepanjang malam. Sebelum Subuh beliau bangun, berwudhu dan melakukan
shalat. Lalu beliau memasuki kamarnya dan berkata, Tidak ada yang boleh
memasuki kamarku kecuali orang yang telah kuperintahkan.” Beliau berbaring di
sisi kanannya, menghadap kiblat dan berkata, “Aku telah terkena wabah penyakit.
Aku membawa semua wabah yang menyerang Damaskus.” Beliau mengangkat tangannya
dan berdo’a, “Siapa pun yang terkena wabah itu, biarkan wabah itu mengenaiku
dan bebaskan orang-orang di Syam.”
Kamis tiba dan seluruh khalifahnya
memasuki kamarnya. Sayyidina Isma`il al-Syirwani bertanya kepadanya, Bagaimana
keadaanmu?" Beliau berkata, "Allah telah menjawab doaku. Aku akan
membawa semua wabah yang melanda orang-orang di Syam dan Aku sendiri akan
meninggal dunia pada hari Jumat.” Mereka menawarkan air, namun beliau menolak
dan berkata, Aku meninggalkan dunia ini untuk bertemu Allah. Aku telah bersedia
menanggung wabah dan membebaskan orang-orang di Syam yang telah terkena wabah
itu. Aku akan meninggal dunia pada hari Jumat.” Beliau membuka matanya dan
berkata, "Allahu haqq, Allahu haqq, Allahu haqq," yang merupakan sumpah
dalam bai’at thariqat Naqsyabandiy, lalu beliau membaca ayat 27-30 dari
al-Qur’an surat al-Fajr: "Wahai jiwa yang tenang dan tentram. Kembalilah
kepada Tuhanmu merasa senang dan disenangi. Masuklah dalam hamba-hamba-Ku! Masuklah
ke dalam Surga-Ku!" Kemudian beliau menyerahkan nyawanya kepada Allah dan
meninggal dunia, seperti yang telah diprediksi sebelumnya, pada hari Jumat 13
Dzul Qa’dah 1242 H/1827 M.
Mereka membawanya ke zawiyah dan
membasuhnya dengan air penuh cahaya. Mereka mengkafaninya sementara yang lain
berdzikir, khususnya Syaikh Isma`il al-Syirwaniy, Syaikh Muhammad, dan Syaikh
Aman. Mereka membaca al-Qur’an dan pagi harinya mereka membawa jenazahnya ke
masjid di Yulbagha. Syaikh Isma`il al-Syirwaniy meminta Syaikh Aman `Abdin
untuk melakukan shalat jenazah baginya. Masjid itu tidak cukup untuk menampung
seluruh orang yang hadir. Lebih dari 30.000 orang shalat di belakangnya. Syaikh
Isma`il al-Syirwaniy berjanji kepada mereka yang tidak dapat melakukan shalat jenazah
di masjid itu, bahwa dia akan melakukan shalat jenazah yang kedua kalinya di
makam. Mereka yang memandikannya ikut pula mengantarkan ke makamnya. Hari
berikutnya, Sabtu, seakan-akan terjadi keajaiban di Syam, wabah penyakit
tiba-tiba menghilang dan tidak ada lagi orang yang meninggal dunia. Mawlana
Khalid menyerahkan Rahasianya kepada penerusnya, Syaikh Isma’il al-Syirwani.
Adapun sanad penulis yang muttashil kepada Imam Khalid
al-Naqsyabandiy Radhiyallahu Anhu:
الحاج رزقي ذو القرنين أصمت البتاوي عن الشيخ
العلامة ماجد بن حامد الحسيني العراقي عن الشيخ الدكتور
خليل جدوع عطية الشيحاوي وهو عن شيخه عبد الكريم حمادي الدبان وهو عن شيخه العلامة
السيد داود التكريتي وهو عن شيخه عبد السلام الشواف البغدادي وهو عن شيخه العلامة
عيسى صفاء الدين البندنيجي وهو عن الولي الصالح سيدي ومولانا خالد النقشبندي رحمه
الله تعالى .
Daftar Pustaka
Saadatud Darain Fi Shalawat Alas Sayyidil kaunain
Karya Syeikh Yusuf Bin Ismail an-Nabhani
Dzakhiratul Muhtaj Fi Shalawat Ala Shahibil Liwa wa at-Taj
karya al-Haj Rizqi Zulqornain Asmat al-Batawiy
1 komentar:
Qobiltul ijaazata
Posting Komentar