Puji syukur kita haturkan
kepada Allah SWT yang masih memberi ruang dan waku sehingga kita berada di
bulan Syawal, tepatnya 1 Syawal 1434 H. Bulan yang menjadi simbol kembalinya
seseorang kepada fitrah, kepada kesucian layaknya bayi yang terlahir di muka bumi.
Shalawat dan salam selalu kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhamamd SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan kebenaran, sehingga kita
menjadi umat terbaik.
Salah satu misi kenabian
yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW adalah menyempurnakan akhlak. Akhlak
memiliki kedudukan tinggi dalam Islam. Akhlak menjadi ukuran kesempurnaan iman
seseorang. Di segala situasi dan kondisi akhlak patut kita panggungkan termasuk
ketika kita berhari raya.
Rasulullah SAW telah
mengajarkan akhlak mulia yang sangat patut kita amalkan dalam rangka mengisi
Idul Fitri. Setidaknya ada tiga akhlak yang diajarkan oleh Nabi Muhammad yang
perlu kita terapkan dalam momentum Idul Fitri. Marilah kita menyimak nasihat
yang disampaikan oleh Nabi kepada seorang sahabatnya bernama Uqbah. Berikut
bunyi pesan Sang Nabi :
يَا
عُقْبَةُ أَلاَ أُخْبِرُكَ بِأَفْضَلِ أَخْلاقِ أَهْلِ الدُّنْيَا وَأَهْلِ
الآخِرَةِ ؟ تَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ، وَتُعْطِي مَنْ حَرَمَكَ، وَتَعْفُو عَمَّنْ
ظَلَمَكَ
“Wahai Uqbah, maukah
kuberitahukan kepadamu akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama?
Yaitu menghubungi orang yang memutuskan hubungan denganmu, memberi orang yang
menahan pemberiannya padamu dan memaafkan orang yang pernah menganiayamu.” (HR.
Hakim)
Allahu
Akbar 3x Walillahilhamdu.
Kaum
Muslimin Rahimakumullah
Dari nasihat yang
disampaikan oleh Nabi di atas tampak ada tiga sikap terpuji. Ketiganya
merupakan lawan ketiga sikap yang tercela. Pertama, tetap
menjalin hubungan baik kepada orang yang memutuskan hubungannya dengan kita.
Dewasa ini banyak kita temukan sikap saling bermusuhan lantaran perbedaan
organisasi, partai dan kepentingan lainnya. Urusan dunia sering menggelapkan
hati. Hubungan baik yang terjalin selama ini berubah menjadi perang dingin.
Tidak sedikit hubungan kekeluargaan menjadi retak. Karena perbedaan partai atau
organisasi, perbedaan dalam masalah posisi di tempat kerja, misalnya, sering
menjadi pemicu sikap bermusuhan.
Sikap untuk mau menjalin
hubungan baik kepada pihak-pihak yang memutuskannya merupakan sikap terpuji. Ia
merupakan akhlak penduduk dunia sekaligus akhirat. Di hari yang fitri ini
selayaknya kita menjalin hubungan harmonis dengan saudara-saudara kita sesama
Muslim, saudara biologis atau seiman, saudara dekat atau jauh. Saling
berpelukan dan bersalaman jika sesama mahram dan saling berkunjung ke kediaman
masing-masing. Jangan sampai momentum yang sangat mulia ini berlalu begitu saja
karena tidak kita isi dengan silaturrahmi.
Hilangkan rasa gengsi dan
tidak percaya diri. Singkirkan segala godaan setan dalam diri untuk tetap
memendam permusuhan. Nilai dan arti kesucian di hari yang fitri akan ternoda
jika kita tidak mau untuk mempererat tali persaudaraan. Perlakukan saudara kita
dengan pergaulan yang baik. Ajaka bicara dari hati ke hati. Dekati dan rangkul.
Jalin hubungan yang renggang dengan cinta dan kasih sayang. Dengan demikian,
kita menjadi pribadi yang berakhlak seperti ajaran Nabi Muhammad SAW.
Pada suatu hari, Sayidina
Abu Hurairah RA. datang ke masjid untuk menimba ilmu yang disampaikan oleh
Rasul SAW. Dalam kesempatan itu Nabi memberi peringatan kepada orang-orang yang
memutus silaturahmi dan akibat yang ditimbulkannya. Kata Nabi, “Wahai
sahabats-sahabatku, selepas Allah SWT menciptakan semua makhluk, rahim (sebagai
pangkal kekerabatan dari garis keturunan) lantas berdiri dan berucap, ‘Inilah
pijakan orang yang berlindung dari terputusnya silaturahmi.’”
Allah menjawab, “Benar apa
yang engkau katakan itu! Tidakkah engkau rela Aku dekat dengan orang yang
menyambungmu dan Aku putus orang yang memutusmu?” Rahim menjawab,
“Tentu aku rela.”
Firman Allah, “Itulah yang
engkau miliki.”
Setelah menyampaikan hal di
atas Nabi diam sejenak. Beberapa saat, beliau mengatakan, "Jika kalian
tidak keberatan, bacalah ayat al-Qur`an beikut ini:
فَهَلْ
عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا
أَرْحَامَكُمْ (22) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ
وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ (23) أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى
قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Maka apakah kiranya jika
kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan
kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah, ditulikan-Nya
telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. Maka apakah mereka tidak
memperhatikan al- Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Qs. Muhammad [47] :
22-24).
Allahu
Akbar 3x Walillahilhamdu.
Jamaah
Shalat Id Yang Berbahagia
Akhlak Kedua yang
diajarkan oleh Nabi adalah memberi makan kepada orang yang pelit atau kikir
kepada kita. Sikap kikir adalah lawan dari sikap pemurah. Sikap pemurah
mendapat pujian Allah. Sikap pelit sangat tercela di sisi-Nya. Allah cinta
kepada orang yang pemurah. Membalas sikap kikir dengan sikap yang sama menjadi
penanda tidak ada bedanya kita dengannya. Meskipun seseorang berlaku kikir,
enggan berbagi, jangan sampai melakukan hal yang serupa atau lebih keji.
Jadilah pribadi yang gemar berbagi kepada sesama, di waktu sempit maupun
lapang, di kala senang maupun bahagia. Inilah sikap yang luar biasa.
Bukan suatu hal yang aneh
jika kita memberi kepada orang yang berbuat baik kepada kita. Akan tetapi suatu
hal yang asing bahkan luar biasa jika kita mau berbagi kepada orang yang justru
tidak mau berbagi. Berbagi, bersikap pemurah dan dermawan merupakan cermin
seorang mukmin sejati. Orang yang dermawan adalah orang yang dekat kepada
Allah, manusia dan surga. Sementara orang yang kikir adalah orang yang jauh
dari semuanya. Jauh dari Allah, manusia dan surga-Nya.
Tersebutlah sebuah riwayat
tentang sikap Nabi menghadapi seorang pengemis. Kisahnya, di sudut pasar
Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta mengomel, “Jangan dekati Muhammad, dia
itu orang gila, pembohong, dia itu tukang sihir. Bila mendekatinya, kalian akan
dipengaruhinya.” Tapi, setiap pagi Nabi Muhammad SAW mendatanginya dan
memberinya makanan. Tanpa berkata sepatah kata pun, beliau menyuapi pengemis
yang terus mencercau beliau. Begitulah kebiasaan Rasul SAW hingga jelang wafat.
Setelah Rasul wafat, tidak ada lagi yang membawakan sarapan dan menyuapi
pengemis itu.
Suatu hari, ketika
berkunjung ke Aisyah, Abu Bakar bertanya, “Anakku, adakah sunnah kekasihku
Muhammad yang belum kukerjakan?” Aisyah memberitahu, “Hampir tidak satu sunnah
pun yang belum ayah kerjakan kecuali satu.”
“Apa itu?”
“Setiap pagi Rasulullah SAW
pergi ke ujung pasar membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta di
sana, lalu beliau menyuapinya,” kata Aisyah.
Esok harinya, Abu Bakar
menemui pengemis dan memberinya makanan. Ketika ia mulai menyuapinya, tiba-tiba
si pengemis berteriak, “Siapa kamu?”
“Aku orang biasa,” jawab
Abu Bakar.
“Ah, bukan! Engkau bukan
orang yang biasa mendatangiku,” sergah si pengemis. “Bila ia mendatangiku,
tangan ini tidak perlu memegang dan mulut ini tidak susah mengunyah. Ia selalu menyuapiku
dengan lebih dahulu menghaluskan makanan dengan mulutnya.”
Abu Bakar tidak kuasa
menahan tangisnya. Suara tangisannya pecah. Tersendat ia berkata, “Aku memang
bukan orang yang biasa mendatangimu. Aku seorang sahabatnya, sedangkan orang
yang mulia itu telah tiada. Dialah Muhammad Rasulullah SAW.”
Mendengar penuturan Abu
Bakar, si pengemis tersedak tidak percaya. Orang yang selama ini ia coba bunuh
karakternya, ternyata justru orang yang paling peduli padanya. “Asyhadu an laa ilaaha illallah wa
asyhadu anna muhammadan rasulullah…” si pengemis Yahudi akhirnya
kembali ke pangkuan fitrah manusia masuk ke agama Islam.
Allahu
Akbar 3X Walillahilhamdu
Kaum
Muslimin RahimakuLlah
Mana yang akan kita pilih?
Apakah kita tidak mau berbagi atau kikir? Tentu seorang mukmin sejati akan
menjatuhkan pilihannya dengan berusaha menjadi insan pemurah kepada siapa saja.
Pemurah kepada keluarganya. Pemurah kepada kaum dhua`fa.
Pemurah kepada orang-orang yang memusuhinya. Dia tidak peduli, apakah dengan
pemberiannya, orang yang memusuhinya menjadi luluh atau tetap dengan sikapnya.
Dia hanya ingin mengisi momentum Idul Fitri dengan akhlak yang diajarkan oleh
Nabinya. Ia yakin dengan meneladani Rasulullah SAW, kemuliaan dunia dan akhirat
akan diraihnya.
Allahu
Akbar 3X Walillahilhamdu
Jamaah
Shalat `Id yang Dirahmati Allah
Ketiga,
memaafkan kesalahan orang yang melakukan perbuatan aniaya kepada diri kita.
Memaafkan memang lebih sulit daripada meminta maaf, meskipun terkadang meminta
maaf juga sulit karena sikap gengsi pada diri seseorang.
Memaafkan orang lain
terlebih kepada orang yang pernah menganiaya diri kita sendiri merupakan cermin
pribadi berjiwa besar. Dibutuhkan kelapangan hati dalam memberi maaf kepada
orang yang telah merampas hak kita, menginjak-injak kehormatan, menyakiti kita
dengan ucapan-ucapannya atau perbuatannya yang menyayat hati. Tapi, apakah kita
sadar bahwa hidup tidak akan nyaman senyaman orang yang tidak memedam
permusuhan dan percekcokan.
Berapa banyak orang-orang
yang cukup bahkan lebih secara materi tapi jiwanya tidak merasa tenang dan
bahagia. Kenapa? Karena memendam dendam kesumat. Seolah ia sebatang kara.
Perasaan Dendam telah berhasil menghilangkan keindangan hidupnya.
Memberi maaf dapat mengubah
benci menjadi cinta. Diriwayatkan ada seorang yang pada mulanya memusuhi Nabi
berbalik menjadi pecinta sejati Nabi. Namanya Tsumamah bin Itsal dari Kabilah
al-Yamamah. Ia datang ke kota Madinah untuk membunuh Nabi dengan pedang yang
disandangnya. Tsumamah berkoar-koar akan membunuh Nabi. Katanya, “Aku datang ke
negeri ini hanya untuk membunuh Muhammad! Mana dia?!” Tidak lama berselang,
Sayidina Umar bin Khatab RA. berhasil meringkusnya. Kedua tangannya diikat dan
dibawa ke masjid. Di masjid tubuhnya diikatkan ke salah satu tiang.
Setelah Nabi mendekati
tempat Tsumamah diikat, Nabi berkata, “Apakah ada di antara kalian yang
sudah memberinya makan?” Para sahabat kaget mendengar pertanyaan Nabi.
Umar yang sudah siap menghabisinya menjadi heran dengan sikap Nabi. Umar
berkata, “Makanan apa yang engkau maksud, wahai Rasul? Orang ini datang ke
Madinah untuk membunuhmu bukan untuk masuk Islam.” Nabi tidak menggrubisnya.
Beliau berkata, “Tolong ambilkan segelas susu di rumahku dan bukalah tali
pengikatnya.”
Setelah diberi minum,
Tsumamah ditanya oleh Nabi, “Ucapkanlah Laa Ilaaha illa-Llah.”
Dengan ketus Tsumamah membalas, “Aku tidak sudi mengucapkannya!” Rasul tidak
surut semangat. Beliau berkata untuk kedua kalinya, “Katakanlah, ‘Aku bersaksi
tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu Utusan Allah.’” Tsumamah membalas
ajakan baik-baik Nabi ini dengan suara kasar, “Aku tidak akan mengucapkannya!”
Para sahabat yang
menyaksikan adegan ini menjadi geram dan marah sekali. Air susu dibalas air
tuba. Tidak tahu terima kasih. Tidak tahu diuntung. Di tengah kegeraman para
sahabat, Nabi mengeluarkan perintah yang membuat para sahabat semakin
terperanjat tidak percaya. Nabi menyuruh sahabatnya untuk membebaskannya. Usai
terlepas dari ikatannya Tsumamah beranjak pergi. Tidak berapa jauh ia kembali
kepada Rasul dan berkata, “Ya Rasulullah, aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah
dan Muhammad adalah Rasul Allah.”
Rasulullah bertanya sembari
menyunggingkan senyum, “Mengapa engkau tidak mengucapkannya ketika aku
memintanya?” “Aku tidak mengucapkannya ketika aku belum kau bebaskan karena
khawatir ada yang menganggap aku masuk Islam semata-mata takut kepadamu. Namun
setelah engkau bebaskan, aku masuk Islam karena mengharap ridha Allah.”
Kisah ini membawa kita
kepada sebuah pelajaran besar dari seorang besar yang menyejarah. Kita belajar
dan diajak untuk menjadi orang yang mampu menahan diri, tidak terbawa emosi
sesaat yang akibatnya sangat fatal. Apakah kita mengaku sebagai umat Nabi? Berapa
banyak kita sudah memaafkan kesalahan orang lain yang menganiaya diri kita?
Rasul memaafkan orang yang hendak berbuat aniaya bahkan ingin membunuhnya.
Kisah ini patut kita
renungkan sebagai pelajaran menyusuri kehidupan dunia yang penuh ujian dan cobaan.
Sungguh beliau SAW merupakan teladan utama yang memandu kita dalam berjalan di
atas muka bumi Allah ini dengan penuh rahmat kepada sesama. Dengan mau
memaafkan kita dapat menjalin silaturahmi, belajar untuk menghindari
kesalahannya, belajar untuk tidak berperilaku seperti orang tersebut. Rasanya
ada yang kurang manakala di hari yang fitri ini, tidak kita isi dengan saling
memaafkan, saling mengucapkan “Minal
A`idhin wal Faaiziin, Mohon Maaf Lahir dan Batin,” dengan setulus
hati.
Allahu
Akbar 3X Walillahilhamdu
Kaum
Muslimin Yang Berbahagia
Marilah kita mengisi bulan
Syawal dan bulan-bulan ke depannya dengan tiga akhlak ajaran Nabi Muhamamd SAW.
Kesalehan pribadi yang sudah kita tunaikan selama bulan Ramadhan menjadi
semakin menunjukkan kesempurnaannya jika dibarengi dengan kesalehan social.
Kesalehan sosial dalam bentuk berbagi kepada sesama, memaafkan kesalahan orang
lain dan mempererat jalinan persaudaraan dengan semangat Ukhuwah Islamiyyah.
Imam Ali bin Abi Thalib RA.
berkata,
مَنْ
أَعْطَى مَنْ حَرَمَهُ، وَوَصَلَ مَنْ قَطَعَهُ، وَعَفاَ عَمَّنْ ظَلَمَهُ، كاَنَ
لَهُ مِنَ اللهِ الظَّهِيْرُ وَالنَّصِيْرُ
“Barangsiapa memberi orang
yang tidak memberinya, menjalin hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan
dengannya dan memaafkan orang yang menzaliminya, maka Allah akan menjadi
Pembela dan Penolongnya.”
Semoga Allah SWT memberi
kekuatan kepada kita untuk mengisi Idul Fitri dengan akhlak yang mulia, seperti
yang dinasihatkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian dosa-dosa kita kepada
Allah terampuni dan kesalahan kepada sesama menjadi gugur dan termaafkan.
Dengan demikian, kita kembali kepada fitrah yang sempurna. Mudah-mudahan kita
menjadi hamba-hamba Allah yang beruntung di dunia dan di akhirat.
Dari: Habib Ali Akbar Bin Aqil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar