Rabu, 07 Agustus 2013

Khutbah Idul Fitri 1434 H

Puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT yang masih memberi ruang dan waku sehingga kita berada di bulan Syawal, tepatnya 1 Syawal 1434 H. Bulan yang menjadi simbol kembalinya seseorang kepada fitrah, kepada kesucian layaknya bayi yang terlahir di muka bumi. Shalawat dan salam selalu kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhamamd SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan kebenaran, sehingga kita menjadi umat terbaik.

Salah satu misi kenabian yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW adalah menyempurnakan akhlak. Akhlak memiliki kedudukan tinggi dalam Islam. Akhlak menjadi ukuran kesempurnaan iman seseorang. Di segala situasi dan kondisi akhlak patut kita panggungkan termasuk ketika kita berhari raya.

Rasulullah SAW telah mengajarkan akhlak mulia yang sangat patut kita amalkan dalam rangka mengisi Idul Fitri. Setidaknya ada tiga akhlak yang diajarkan oleh Nabi Muhammad yang perlu kita terapkan dalam momentum Idul Fitri. Marilah kita menyimak nasihat yang disampaikan oleh Nabi kepada seorang sahabatnya bernama Uqbah. Berikut bunyi pesan Sang Nabi :

يَا عُقْبَةُ أَلاَ أُخْبِرُكَ بِأَفْضَلِ أَخْلاقِ أَهْلِ الدُّنْيَا وَأَهْلِ الآخِرَةِ ؟ تَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ، وَتُعْطِي مَنْ حَرَمَكَ، وَتَعْفُو عَمَّنْ ظَلَمَكَ

“Wahai Uqbah, maukah kuberitahukan kepadamu akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Yaitu menghubungi orang yang memutuskan hubungan denganmu, memberi orang yang menahan pemberiannya padamu dan memaafkan orang yang pernah menganiayamu.” (HR. Hakim)

Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu.
Kaum Muslimin Rahimakumullah

Dari nasihat yang disampaikan oleh Nabi di atas tampak ada tiga sikap terpuji. Ketiganya merupakan lawan ketiga sikap yang tercela. Pertama, tetap menjalin hubungan baik kepada orang yang memutuskan hubungannya dengan kita. Dewasa ini banyak kita temukan sikap saling bermusuhan lantaran perbedaan organisasi, partai dan kepentingan lainnya. Urusan dunia sering menggelapkan hati. Hubungan baik yang terjalin selama ini berubah menjadi perang dingin. Tidak sedikit hubungan kekeluargaan menjadi retak. Karena perbedaan partai atau organisasi, perbedaan dalam masalah posisi di tempat kerja, misalnya, sering menjadi pemicu sikap bermusuhan.

Sikap untuk mau menjalin hubungan baik kepada pihak-pihak yang memutuskannya merupakan sikap terpuji. Ia merupakan akhlak penduduk dunia sekaligus akhirat. Di hari yang fitri ini selayaknya kita menjalin hubungan harmonis dengan saudara-saudara kita sesama Muslim, saudara biologis atau seiman, saudara dekat atau jauh. Saling berpelukan dan bersalaman jika sesama mahram dan saling berkunjung ke kediaman masing-masing. Jangan sampai momentum yang sangat mulia ini berlalu begitu saja karena tidak kita isi dengan silaturrahmi.

Hilangkan rasa gengsi dan tidak percaya diri. Singkirkan segala godaan setan dalam diri untuk tetap memendam permusuhan. Nilai dan arti kesucian di hari yang fitri akan ternoda jika kita tidak mau untuk mempererat tali persaudaraan. Perlakukan saudara kita dengan pergaulan yang baik. Ajaka bicara dari hati ke hati. Dekati dan rangkul. Jalin hubungan yang renggang dengan cinta dan kasih sayang. Dengan demikian, kita menjadi pribadi yang berakhlak seperti ajaran Nabi Muhammad SAW.

Pada suatu hari, Sayidina Abu Hurairah RA. datang ke masjid untuk menimba ilmu yang disampaikan oleh Rasul SAW. Dalam kesempatan itu Nabi memberi peringatan kepada orang-orang yang memutus silaturahmi dan akibat yang ditimbulkannya. Kata Nabi, “Wahai sahabats-sahabatku, selepas Allah SWT menciptakan semua makhluk, rahim (sebagai pangkal kekerabatan dari garis keturunan) lantas berdiri dan berucap, ‘Inilah pijakan orang yang berlindung dari terputusnya silaturahmi.’”

Allah menjawab, “Benar apa yang engkau katakan itu! Tidakkah engkau rela Aku dekat dengan orang yang menyambungmu dan Aku putus orang yang memutusmu?” Rahim menjawab,

“Tentu aku rela.”

Firman Allah, “Itulah yang engkau miliki.”

Setelah menyampaikan hal di atas Nabi diam sejenak. Beberapa saat, beliau mengatakan, "Jika kalian tidak keberatan, bacalah ayat al-Qur`an beikut ini:

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ (22) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ (23) أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah, ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. Maka apakah mereka tidak memperhatikan al- Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Qs. Muhammad [47] : 22-24).

Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu.
Jamaah Shalat Id Yang Berbahagia

Akhlak Kedua yang diajarkan oleh Nabi adalah memberi makan kepada orang yang pelit atau kikir kepada kita. Sikap kikir adalah lawan dari sikap pemurah. Sikap pemurah mendapat pujian Allah. Sikap pelit sangat tercela di sisi-Nya. Allah cinta kepada orang yang pemurah. Membalas sikap kikir dengan sikap yang sama menjadi penanda tidak ada bedanya kita dengannya. Meskipun seseorang berlaku kikir, enggan berbagi, jangan sampai melakukan hal yang serupa atau lebih keji. Jadilah pribadi yang gemar berbagi kepada sesama, di waktu sempit maupun lapang, di kala senang maupun bahagia. Inilah sikap yang luar biasa.

Bukan suatu hal yang aneh jika kita memberi kepada orang yang berbuat baik kepada kita. Akan tetapi suatu hal yang asing bahkan luar biasa jika kita mau berbagi kepada orang yang justru tidak mau berbagi. Berbagi, bersikap pemurah dan dermawan merupakan cermin seorang mukmin sejati. Orang yang dermawan adalah orang yang dekat kepada Allah, manusia dan surga. Sementara orang yang kikir adalah orang yang jauh dari semuanya. Jauh dari Allah, manusia dan surga-Nya.

Tersebutlah sebuah riwayat tentang sikap Nabi menghadapi seorang pengemis. Kisahnya, di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta mengomel, “Jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, pembohong, dia itu tukang sihir. Bila mendekatinya, kalian akan dipengaruhinya.” Tapi, setiap pagi Nabi Muhammad SAW mendatanginya dan memberinya makanan. Tanpa berkata sepatah kata pun, beliau menyuapi pengemis yang terus mencercau beliau. Begitulah kebiasaan Rasul SAW hingga jelang wafat.  Setelah Rasul wafat, tidak ada lagi yang membawakan sarapan dan menyuapi pengemis itu.

Suatu hari, ketika berkunjung ke Aisyah, Abu Bakar bertanya, “Anakku, adakah sunnah kekasihku Muhammad yang belum kukerjakan?” Aisyah memberitahu, “Hampir tidak satu sunnah pun yang belum ayah kerjakan kecuali satu.”

“Apa itu?”

“Setiap pagi Rasulullah SAW pergi ke ujung pasar membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta di sana, lalu beliau menyuapinya,” kata Aisyah.

Esok harinya, Abu Bakar menemui pengemis dan memberinya makanan. Ketika ia mulai menyuapinya, tiba-tiba si pengemis berteriak, “Siapa kamu?”

“Aku orang biasa,” jawab Abu Bakar.

“Ah, bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku,” sergah si pengemis. “Bila ia mendatangiku, tangan ini tidak perlu memegang dan mulut ini tidak susah mengunyah. Ia selalu menyuapiku dengan lebih dahulu menghaluskan makanan dengan mulutnya.”

Abu Bakar tidak kuasa menahan tangisnya. Suara tangisannya pecah. Tersendat ia berkata, “Aku memang bukan orang yang biasa mendatangimu. Aku seorang sahabatnya, sedangkan orang yang mulia itu telah tiada. Dialah Muhammad Rasulullah SAW.”

Mendengar penuturan Abu Bakar, si pengemis tersedak tidak percaya. Orang yang selama ini ia coba bunuh karakternya, ternyata justru orang yang paling peduli padanya. “Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah…” si pengemis Yahudi akhirnya kembali ke pangkuan fitrah manusia masuk ke agama Islam.

Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu
Kaum Muslimin RahimakuLlah

Mana yang akan kita pilih? Apakah kita tidak mau berbagi atau kikir? Tentu seorang mukmin sejati akan menjatuhkan pilihannya dengan berusaha menjadi insan pemurah kepada siapa saja. Pemurah kepada keluarganya. Pemurah kepada kaum dhua`fa. Pemurah kepada orang-orang yang memusuhinya. Dia tidak peduli, apakah dengan pemberiannya, orang yang memusuhinya menjadi luluh atau tetap dengan sikapnya. Dia hanya ingin mengisi momentum Idul Fitri dengan akhlak yang diajarkan oleh Nabinya. Ia yakin dengan meneladani Rasulullah SAW, kemuliaan dunia dan akhirat akan diraihnya.

Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu
Jamaah Shalat `Id yang Dirahmati Allah

Ketiga, memaafkan kesalahan orang yang melakukan perbuatan aniaya kepada diri kita. Memaafkan memang lebih sulit daripada meminta maaf, meskipun terkadang meminta maaf juga sulit karena sikap gengsi pada diri seseorang.

Memaafkan orang lain terlebih kepada orang yang pernah menganiaya diri kita sendiri merupakan cermin pribadi berjiwa besar. Dibutuhkan kelapangan hati dalam memberi maaf kepada orang yang telah merampas hak kita, menginjak-injak kehormatan, menyakiti kita dengan ucapan-ucapannya atau perbuatannya yang menyayat hati. Tapi, apakah kita sadar bahwa hidup tidak akan nyaman senyaman orang yang tidak memedam permusuhan dan percekcokan.

Berapa banyak orang-orang yang cukup bahkan lebih secara materi tapi jiwanya tidak merasa tenang dan bahagia. Kenapa? Karena memendam dendam kesumat. Seolah ia sebatang kara. Perasaan Dendam telah berhasil menghilangkan keindangan hidupnya.

Memberi maaf dapat mengubah benci menjadi cinta. Diriwayatkan ada seorang yang pada mulanya memusuhi Nabi berbalik menjadi pecinta sejati Nabi. Namanya Tsumamah bin Itsal dari Kabilah al-Yamamah. Ia datang ke kota Madinah untuk membunuh Nabi dengan pedang yang disandangnya. Tsumamah berkoar-koar akan membunuh Nabi. Katanya, “Aku datang ke negeri ini hanya untuk membunuh Muhammad! Mana dia?!” Tidak lama berselang, Sayidina Umar bin Khatab RA. berhasil meringkusnya. Kedua tangannya diikat dan dibawa ke masjid. Di masjid tubuhnya diikatkan ke salah satu tiang.

Setelah Nabi mendekati tempat Tsumamah diikat, Nabi berkata, “Apakah ada di antara kalian yang  sudah memberinya makan?” Para sahabat kaget mendengar pertanyaan Nabi. Umar yang sudah siap menghabisinya menjadi heran dengan sikap Nabi. Umar berkata, “Makanan apa yang engkau maksud, wahai Rasul? Orang ini datang ke Madinah untuk membunuhmu bukan untuk masuk Islam.” Nabi tidak menggrubisnya. Beliau berkata, “Tolong ambilkan segelas susu di rumahku dan bukalah tali pengikatnya.”

Setelah diberi minum, Tsumamah ditanya oleh Nabi, “Ucapkanlah Laa Ilaaha illa-Llah.” Dengan ketus Tsumamah membalas, “Aku tidak sudi mengucapkannya!” Rasul tidak surut semangat. Beliau berkata untuk kedua kalinya, “Katakanlah, ‘Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu Utusan Allah.’” Tsumamah membalas ajakan baik-baik Nabi ini dengan suara kasar, “Aku tidak akan mengucapkannya!”

Para sahabat yang menyaksikan adegan ini menjadi geram dan marah sekali. Air susu dibalas air tuba. Tidak tahu terima kasih. Tidak tahu diuntung. Di tengah kegeraman para sahabat, Nabi mengeluarkan perintah yang membuat para sahabat semakin terperanjat tidak percaya. Nabi menyuruh sahabatnya untuk membebaskannya. Usai terlepas dari ikatannya Tsumamah beranjak pergi. Tidak berapa jauh ia kembali kepada Rasul dan berkata, “Ya Rasulullah, aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah.”

Rasulullah bertanya sembari menyunggingkan senyum, “Mengapa engkau tidak mengucapkannya ketika aku memintanya?” “Aku tidak mengucapkannya ketika aku belum kau bebaskan karena khawatir ada yang menganggap aku masuk Islam semata-mata takut kepadamu. Namun setelah engkau bebaskan, aku masuk Islam karena mengharap ridha Allah.”

Kisah ini membawa kita kepada sebuah pelajaran besar dari seorang besar yang menyejarah. Kita belajar dan diajak untuk menjadi orang yang mampu menahan diri, tidak terbawa emosi sesaat yang akibatnya sangat fatal. Apakah kita mengaku sebagai umat Nabi? Berapa banyak kita sudah memaafkan kesalahan orang lain yang menganiaya diri kita? Rasul memaafkan orang yang hendak berbuat aniaya bahkan ingin membunuhnya.

Kisah ini patut kita renungkan sebagai pelajaran menyusuri kehidupan dunia yang penuh ujian dan cobaan. Sungguh beliau SAW merupakan teladan utama yang memandu kita dalam berjalan di atas muka bumi Allah ini dengan penuh rahmat kepada sesama. Dengan mau memaafkan kita dapat menjalin silaturahmi, belajar untuk menghindari kesalahannya, belajar untuk tidak berperilaku seperti orang tersebut. Rasanya ada yang kurang manakala di hari yang fitri ini, tidak kita isi dengan saling memaafkan, saling mengucapkan “Minal A`idhin wal Faaiziin, Mohon Maaf Lahir dan Batin,” dengan setulus hati.

Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu
Kaum Muslimin Yang Berbahagia

Marilah kita mengisi bulan Syawal dan bulan-bulan ke depannya dengan tiga akhlak ajaran Nabi Muhamamd SAW. Kesalehan pribadi yang sudah kita tunaikan selama bulan Ramadhan menjadi semakin menunjukkan kesempurnaannya jika dibarengi dengan kesalehan social. Kesalehan sosial dalam bentuk berbagi kepada sesama, memaafkan kesalahan orang lain dan  mempererat jalinan persaudaraan dengan semangat Ukhuwah Islamiyyah.

Imam Ali bin Abi Thalib RA. berkata,
مَنْ أَعْطَى مَنْ حَرَمَهُ، وَوَصَلَ مَنْ قَطَعَهُ، وَعَفاَ عَمَّنْ ظَلَمَهُ، كاَنَ لَهُ مِنَ اللهِ الظَّهِيْرُ وَالنَّصِيْرُ

“Barangsiapa memberi orang yang tidak memberinya, menjalin hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan dengannya dan memaafkan orang yang menzaliminya, maka Allah akan menjadi Pembela dan Penolongnya.”

Semoga Allah SWT memberi kekuatan kepada kita untuk mengisi Idul Fitri dengan akhlak yang mulia, seperti yang dinasihatkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian dosa-dosa kita kepada Allah terampuni dan kesalahan kepada sesama menjadi gugur dan termaafkan. Dengan demikian, kita kembali kepada fitrah yang sempurna. Mudah-mudahan kita menjadi hamba-hamba Allah yang beruntung di dunia dan di akhirat.

Dari: Habib Ali Akbar Bin Aqil


Tidak ada komentar: