KUPAS TUNTAS TENTANG PERMASALAHAN
SHALAT TARAWIH
“Kritik terhadap
Pelaksanaan 4 Rakaat Sekali Salam dalam Shalat Tarawih”
Oleh: H. Rizki
Zulqornain al-Batawiy MA
Daftar Isi:
A. KATA PENGANTAR
1. Hadratus Syaikh Abuya KH. Saifuddin Amsir
(Pendiri Pondok Pesantren al-Asyirah al-Quraniyah Jakarta)
2. Hadratus Syaikh KH. Maulana Kamal Yusuf
B. PRAKATA PENYUSUN
C. KRITIK TERHADAP PELAKSANAAN 4 RAKAAT SEKALI
SALAM DALAM SHALAT TARAWIH
1. Pendahuluan
2. Pengertian Tarawih Secara Etimologi
3. Pengertian Tarawih Secara Terminologi
4. Hukum Shalat Tarawih
5. Waktu shalat Tarawih
6. Hikmah Shalat Tarawih
7. Keutamaan Shalat Tarawih
8. Jumlah Rakaat dan Tata Cara Mengerjakan Shalat
Tarawih
D. MENYINGKAP BENCANA
E. NIAT PUASA RAMADHAN
1. Niat Puasa Fardhu
2. Niat Puasa Sunnah
3. Tahqiq Lafadz Niat Puasa Ramadhan
F. DAFTAR PUSTAKA
A. KATA PENGANTAR
1. Hadratus Syaikh Abuya KH. Saifuddin Amsir
(Pendiri Pondok Pesantren al-Asyirah al-Quraniyah Jakarta)
Banyak orang mengerjakan shalat Tarawih dengan cara
4 rakaat sekali salam, dengan dalil hadits Siti ‘Aisyah sebagai berikut:
“Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan
Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat jangan
engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat
jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3
rakaat. Kemudian aku bertanya: “Ya Rasulullah apakah Engkau tidur sebelum shalat
Witir?” Kemudian beliau menjawab: “’Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku
tidaklah tidur.”
Hadits yang dijadikan dalil, bukan hadits tentang
shalat Tarawih. Hadits tersebut adalah hadits pada pekerjaan shalat malam
Rasulullah pada umumnya, yakni shalat Witir. Karenanya para Fuqaha (ahli Fiqh)
tidak menyetujui untuk menjadikan hadits tersebut sebagai dalil shalat Tarawih.
Dengan alasan shalat Tarawih merupakan ibadah khusus yang hanya dilakukan pada
bulan Ramadhan, dan jumlah bilangan shalat Tarawih 20 rakaat ditambah shalat
Witir 3 rakaat, telah disosialisasikan oleh para sahabat, dalam hal ini adalah
Sayidina Umar Ibn Khatthab yang disepakati dan disetujui oleh para sahabat
lainnya. Lantaran pada umumnya para Imam tidak mempunyai kemampuan untuk mengingkari
apa yang menjadi perintah Rasulullah Saw.: “Hendaklah kalian ikuti sunnahku dan
sunnah para Khalifah yang mendapat petunjuk setelahku, peganglah dengan kuat
dan gigitlah olehmu dengan geraham.” (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah,
at-Tirmidziy, al-Hakim dan al-Bayhaqiy).
Pelanggaran terhadap yang disepakati para sahabat
merupakan pelanggaran terhadap agama. Sehingga dalam Madzhab Syafi’i, kalau
shalat Tarawih dikerjakan bukan dengan cara 2 rakaat, 2 rakaat, shalat Tarawih
tersebut dipandang batal/tidak sah.
Oleh sebab itu, shalat qiyam Ramadhan yang lebih
populer di kota Makkah, Madinah dan berbagai negara Islam juga tidak berani
beranjak dari situ, paling-paling sedikit penambahan dari jumlah rakaat yang
dilaksanakan di zaman Sayidina Umar Ibn Khatthab itu 23 rakaat, tetapi orang
yang ingin memperbanyak ibadah tidak ada salahnya menambah rakaat. Jadi pada
zaman dahulu inisiatif penduduk kota Madinah untuk menambahkan jumlah rakaat,
merupakan pengganti tradisi penduduk kota Makkah yang biasanya setelah tiap 4
rakaat (2 salam) mereka melakukan tawaf, karena memang ada Ka’bah di situ.
Sedangkan di Madinah tidak terdapat tempat untuk bertawaf, sehingga menjadi
kuat dalil bahwa sahabat-sahabat Nabi di Makkah itu bertawaf pada
bilangan-bilangan tertentu, yakni setelah 4 rakaat mereka bertawaf.
Hal ini diperkuat dalilnya dengan amaliyah penduduk
kota Madinah, khususnya pada pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz yang
menambahkan jumlah rakaat shalat Tarawih menjadi 36 rakaat di luar shalat
Witir. Hal ini bukan dalil yang mengatakan khilaf-khilafnya, tetapi justru
memperkuat bahwa itulah yang terjadi di zaman para sahabat, karena Rasulullah
tidak membatasi jumlah rakaat shalat Tarawih, para sahabat yang lebih mengatur
itu dan memiliki concern (perhatian) terhadap hal tersebut.
Untuk mencegah terjadinya kekacauan yang
berkepanjangan di dunia Islam, Sayidina Umar Ibn Khatthab memikirkan
jumlah-jumlah rakaat shalat sunah yang dilakukan Rasulullah, jadi hal tersebut
sudah dipikirkan oleh Sayidina Umar Ibn Khatthab secara Taftisy (matang dan
teliti) dengan ketepatan jumlah rakaat yang dilakukan Rasulullah, ketika
dihitung hadits-hadits yang membicarakan tentang jumlah rakaat shalat sunah
Rasulullah, ketika digabung-gabung, tepat 20 rakaat, dari keterangan hadits
yang dzahir-dzahir. Apa yang dilakukan oleh Sayidina Umar Ibn Khatthab tidak
beranjak dari apa yang dikerjakan Rasulullah. Hal ini menjadi sunnah sahabat.
Sunnah sahabat tidak boleh dianggap remeh, ulama berpendapat seperti itu. Kalau
sunnah sahabat mulai dikorbankan untuk perasaan, maka lambat laun apa saja bisa
dikorbankan. Ini yang menyebabkan shalat Tarawih yang dilakukan sebanyak 20
rakaat dilakukan dengan 2 rakaat, 2 rakaat, 2 rakaat dan seterusnya ditutup
dengan shalat Witir 3 rakaat dapat berusia panjang dan sampai saat ini masih
dilaksanakan.
Dalam kitab yang pernah saya suruh para jamaah,
untuk mengcopynya karya Syaikh Athiyyah Muhammad Salim, seorang Qadhi Mahkamah
Syariah, ahli hadits dan pakar fiqh di Madinah; Saudi Arabia, juga merupakan salah
seorang murid utama seorang raksasa ilmu di zamannya yaitu Syaikh Muhammad
al-Amin Ibn Muhammad Mukhtar asy-Syinqithiy (w. 1393 H). Syaikh Athiyyah
Muhammad Salim, memiliki perhatian khusus tentang dalil shalat Tarawih. Hal ini
harus diperhatikan, sebab sekarang orang tidak lagi mau mentahqiq (mengkaji
ulang) soal dalil, orang sudah begitu sibuk dengan berbagai kesibukan. Jadi, di
luar kota Makkah ada juga yang mengerjakan shalat Tarawih 11 rakaat, dengan
alasan, itulah hadits yang dzahir dari Rasulullah. Hanya saja, hal ini akan
menimbulkan pertanyaan pertanyaan tentang bagaimana mengikuti para sahabat
Rasulullah yang sebenarnya. Karena jika shalat Tarawih 11 rakaat yang paling
benar, tentunya 3 abad setelah Rasulullah, shalat Tarawih 11 rakaat dengan berjamaah
itu sudah menjadi populer. Padahal kenyataannya shalat 11 rakaat populer baru
belakangan ini. Shalat Tarawih 20 rakaat yang lebih populer, setelah Sayidina
Umar Ibn Khattab wafat, Sayidina Utsman melanjutkan shalat Tarawih 20 rakaat,
demikian pula dengan Sayidina Ali, mengerjakan shalat Tarawih seperti yang
disepakati oleh para sahabat dan tidak ada riwayat yang dzahir yang menyatakan
bahwa Sayidina Ali menentang shalat Tarawih 20 rakaat. Ini yang menyebabkan
shalat Tarawih 20 rakaat tetap bertahan.
Dalam sekian banyak riwayat, kita temukan riwayat
yang menjelaskan tambahan rakaat shalat Tarawih dari 20 rakaat, tetapi kita
tidak menemukan riwayat shalat Tarawih yang kurang dari 20 rakaat. Kalaupun ada
akan mengkhilafkan mayoritas umat Islam yang begitu banyaknya. Menurut Madzhab
Syafi’i, shalat Tarawih yang dikerjakan dengan cara 4 rakaat sekali salam
hukumnya dikatakan tidak sah dengan beberapa alasan. Tetapi yang jelas
alasan-alasan tersebut merupakan ittiba’ (mengikuti) kepada Rasulullah dan para
sahabat yang tidak boleh diganggu oleh kreasi baru, jika ada kreasi baru, maka
kreasi tersebut tidak akan jelas namanya. Karena istilah Tarawih telah jelas
kita pahami, seperti yang kita ketahui saat ini, Tarawih adalah shalat sunnah
yang hanya ada pada bulan Ramadhan dikerjakan dengan 20 rakaat terdiri dari 10
salam, dikerjakan dengan salam pada tiap 2 rakaatnya dan tiap 4 rakaat disebut
1 tarwihah (istirahat).
Penduduk Makkah mengerjakan tawaf pada tiap selesai
satu tarwihah. Pelaksanaannya di awal malam disertai adanya pendapat
mengerjakan shalat Tarawih di akhir malam itu lebih utama. Jadi, penamaan akan
membentuk satu istilah, kalau sudah ada istilah, maka definisinya akan menjadi
jelas, karenanya orang yang mengerjakan shalat 4 rakaat dengan sekali salam
dengan niat shalat Tarawih, maka hukum shalat Tarawihnya tidak sah. Jika shalat
tersebut tidak dinamakan shalat Tarawih, maka sah-sah saja dilakukan. Apa yang
dilafadzkan dan dikerjakan oleh Rasulullah seharusnya dijadikan pilihan
terbaik. Hadits bukan hadits yang tidak kuat. Sedangkan shalat dengan 4,4,3
cuma merupakan salah satu riwayat dari sekian banyak riwayat shalat malam
Rasulullah, yang pernah dilihat oleh Siti Aisyah dan hal tersebut
dipertimbangkan oleh para ulama, lantaran Siti Aisyah merupakan istri
Rasulullah. Jadi, sesuatu yang Rasulullah sebutkan merupakan anjurannya dan
keduanya boleh berjalan. Tetapi mayoritas ulama menganggap shalat malam yang
dikerjakan dengan cara 2 rakaat, 2 rakaat adalah yang lebih baik kita ambil.
Karena merupakan anjuran Rasulullah yang didasarkan kepada perkataan dan
perbuatan Rasulullah. Sedangkan hadis 4,4,3 hanya berdasarkan perbuatan yang
diceritakan oleh Siti Aisyah dalam salah satu riwayatnya.
Untuk memahami kandungan hadits-hadits Rasulullah
dengan baik dan benar, seseorang bukan hanya dituntut banyak membaca hadits
tetapi juga ia harus mendalami fiqhul hadis (pemahaman hadis). Dalam risalah
ini menjelaskan pemaparan tentang perkara-perkara terpenting dalam shalat
Tarawih secara sederhana. Dengan demikian risalah ini menjadi tulisan yang
dapat dihayati dan sangat layak dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami
secara benar dan mau menyelamatkan perkara ibadahnya.
Semoga Allah melimpahkan pahala yang besar kepada
penyusun risalah ini atas usahanya, mudah-mudahan Allah memperbanyak
orang-orang yang mau mengikuti langkah-langkah mulia ini dalam berpegang teguh
kepada kebenaran. Amin.
2. Hadratus Syaikh KH. Maulana Kamal Yusuf
Tuduhan Bid’ah, kufur, musyrik, dan sesat sangat
sering dilontarkan oleh sekelompok orang dengan mengatasnamakan Sunnah.
Kelompok ini giat menyebarkan buku-buku, selebaran-selebaran, dan kitab-kitab
yang berisi tuduhan keji terhadap pelbagai persoalan keagamaan masyarakat
seperti: Nishfu Sya’ban, Tahlilan, Haul, Maulid, Tawassulan, Ziarah para wali
dan lain-lain. Padahal kalau diteliti secara mendalam, amal ibadah maupun
muamalah yang berkembang dan berurat akar dalam tradisi masyarakat itu memiliki
landasan kokoh dari al-Qur’an, Hadits dan pendapat para ulama yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Mereka tidak memahami al-Qur’an dan hadits secara
syamil (menyeluruh). Pandangan mereka sempit, sehingga mereka gampang
mengatakan musyrik, kafir, memvonis bid’ah sesat terhadap praktek/amaliah orang
lain yang memiliki dasar dan argumentasi kuat yang juga telah menjadi tradisi
Ahlussunnah wal Jama’ah. Rasulullah Saw. mengatakan dalam sabdanya: “Apabila
seseorang memanggil saudaranya yang muslim dengan kalimat “Wahai Kafir maka
akan kembali kalimat itu kepada salah satu dari keduanya.”
Pernyataan mereka dalam buku-buku atau kitab-kitab
yang banyak beredar sangat berbahaya khususnya bila dibaca oleh orang-orang
awam. Karena faktor ketidaktahuan, mereka yang awam menerima langsung atau
menelan mentah-mentah isi buku/kitab tersebut tanpa mencoba untuk menelaah lebih
lanjut isu-isu negatif yang telah disebarkan di dalamnya. Keadaan orang-orang
awam ketika itu bagaikan orang yang makan ikan tanpa menyiangi (membersihkan
sisik, kotoran dan duri ikan) terlebih dahulu yang menyebabkan dirinya bukan
hanya ketulangan tapi lebih dari itu, ia akan tersendat, orang Betawi bilang
dengan istilah “kesungkakan.”
Diantara tuduhan keji yang mereka katakan bahwa:
”Shalat Tarawih yang dikerjakan para sahabat dengan 20 rakaat dalilnya lemah
dan termasuk bid’ah sesat.” Menurut mereka jumlah rakaat shalat Tarawih itu
hanya 11 rakaat, shalat Tarawih yang lebih dari 11 rakaat adalah bid’ah sesat.
Mereka berani menganggap shalat Tarawih 20 rakaat sebagai hadits lemah dan
bid’ah sesat beralasan dengan hadits Siti Aisyah yang menurut mereka telah
memberikan sinyal bahwa shalat Tarawih hanya 11 rakaat.”
Hadits yang dijadikan dasar bagi mereka adalah
hadits riwayat Siti ‘Aisyah berikut ini: “Rasulullah tidak pernah melakukan
shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari
11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan
panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang
bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. Kemudian aku bertanya:
”Ya Rasulullah apakah Engkau tidur sebelum shalat Witir?” Kemudian beliau
menjawab: ”’Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku tidaklah tidur.”
Perlu diketahui bahwa hadits Siti Aisyah di atas
merupakan hadits yang menyatakan dalil shalat Witir, bukan dalil shalat Tarawih.
Apabila hadits Aisyah di atas sebagai dalil shalat Tarawih, maka kita pantas
mempertanyakan adakah shalat Tarawih selain di bulan Ramadhan? dan mengapa
Sayidina Umar Ibn Khatthab dan para sahabat mengerjakan shalat Tarawih dengan
20 rakaat? Dari perkataan Siti Aisyah: ”Pada bulan Ramadhan dan di selain
Ramadhan”, jelas sekali kita dapat memahami bahwa shalat yang Siti Aisyah lihat
adalah shalat malam Rasulullah yang beliau kerjakan sepanjang tahun baik pada
bulan Ramadhan dan di bulan lainnya. Oleh karenanya, sangat tepat 11 rakaat
dalam hadits tersebut adalah dalil shalat Witir, bukan sebagai dalil shalat
Tarawih. Karena shalat Witir ada di bulan Ramadhan dan di bulan lainnya.
Sedangkan shalat Tarawih hanya khusus pada bulan Ramadhan dikerjakan dengan 2
rakat, 2 rakaat (tiap 2 rakaat salam). Berbeda dengan pelaksanaan shalat Witir
yang boleh dikerjakan lebih dari 2 rakaat pada setiap salamnya.
Namun demikian, menurut para ulama maksud dari 4
rakaat dalam hadits Siti A’isyah di atas, masih memiliki ihtimal (kemungkinan)
bahwa Rasulullah melakukannya 4 rakaat dengan 1 salam, bisa juga dipahami 4
rakaat beliau kerjakan dengan 2 salam yakni 2 rakaat, 2 rakaat. Tetapi bila 4
rakaat dilakukan dengan cara 2 rakat, 2 rakaat, pendapat inilah yang lebih selamat
dan bisa dipertanggungjawabkan. Sebagaimana ada keterangan hadits shahih yang
mengatakan shalat malam itu dilakukan dengan cara 2 rakaat, 2 rakaat. Ada
kaidah mengatakan:“Apabila terjadi kemungkinan-kemungkinan maka hal itu
menyebabkan gugurnya Istidlal (menjadikan dalil)”. Maksudnya adalah pendapat
yang memahami 4 rakaat dikerjakan dengan sekali salam itu tidak bisa dijadikan
dalil, karena pendapat itu hanya sebuah kemungkinan. Sesuatu yang mengandung
kemungkinan dinyatakan gugur manakala ada dalil yang lebih jelas. Hadits Nabi
yang menyatakan shalat malam dilakukan dengan 2 rakaat, 2 rakaat sangat cocok
untuk mengkompromikan dan memahami hadits Siti A’isyah tersebut. Dalam redaksi
lain dikatakan: “Apabila beberapa kemungkinan itu saling bertentangan maka
gugurlah istidlal tersebut.” (Lihat Muhammad ibn Abdullah az-Zarkasyiy, al-Bahr
al-Muhith fi al-Ushul, juz 3 halaman 452).
Saya berharap agar kaum muslimin dapat membaca
risalah ini secara tuntas. Disamping itu juga harus banyak mengkaji serta
bertanya kepada para ulama yang memiliki ilmu yang syamil (menyeluruh).
Sehingga tidak gampang terkecoh dan terprovokasi (terhasut) oleh
tulisan-tulisan atau pendapat sekelompok orang yang menyalahkan praktek/amaliah
yang selama ini dilakukan oleh masyarakat berdasarkan tuntunan ulama. Shalat
Tarawih 20 rakaat dengan 10 salam memiliki dalil yang kuat dan jelas. Jangan
terkecoh dengan pendapat orang yang mengatakan shalat Tarawih hanya 8 rakaat
dikerjakan dengan 4 rakaat, 4 rakaat sekali salam dengan berdalil hadits riwayat
Siti Aisyah.
Menurut para ulama, hadis tersebut berbicara
tentang dalil shalat Witir Rasulullah, bukan dalil shalat Tarawih. 11 rakaat
adalah jumlah maksimal shalat Witir. Sedangkan minimal shalat Witir adalah satu
rakaat. Betapa batilnya tuduhan-tuduhan orang yang tidak menyetujui shalat
Tarawih 20 rakaat dengan menggunakan dalil, satu hadits Siti Aisyah yang
menerangkan satu paket shalat Witir, mereka pecah menjadi dua dalil sekaligus,
8 rakaat untuk shalat Tarawih dan 3 rakaat untuk shalat Witir. Semoga kelompok
yang tidak suka dengan shalat Tarawih 20 rakaat dapat merenungkan hal ini.
Saya sangat menyambut baik dan gembira atas
terbitnya risalah ini yang disusun oleh orang yang memiliki ilmu dan menimba
ilmu dengan bertemu langsung kepada para Masyaikh (guru) serta mempunyai
kerajinan yang luar biasa dalam mengumpulkan literatur pembahasan yang ia
tekuni. Kajian di dalamnya sangat dibutuhkan umat yang selalu ingin berjalan di
jalan yang benar dalam memahami shalat Tarawih. Semoga penulis diberikan
balasan yang berlanjut atas jerih payahnya mengukir karya berharga ini, dan
mudah-mudahan banyak manfaat fiddunya wal akhirah. Amin.
B. PRAKATA PENYUSUN
Tulisan ini, tidak cukup representatif (tepat)
untuk dikatakan sebagai sebuah karangan, apalagi disebut sebagai ijtihad dari
penulis. Yang penulis lakukan dalam tulisan ini hanyalah mengumpulkan,
mengutip, menyusun dan menghimpun berbagai pendapat para ulama Mu’tabar
(pendapatnya dapat dipertanggungjawabkan) yang bertebaran dalam karya-karya
mereka.
Risalah sederhana ini, merupakan buah dari
keberkahan ilmu para guru kami. Kami mengumpulkan risalah sederhana ini sebagai
ilmu dasar untuk memahami ibadah shalat qiyam Ramadhan sesuai dengan tuntunan
Rasulullah yang diamalkan oleh para Sahabat dan para Salafus Shalih (ulama
terdahulu). Risalah ini, penulis telah usahakan pentahqikannya (kajian ulang)
kepada para guru kami diantaranya adalah: Allah Yarhamuh Hadratus Syaikh
Muallim KH. Muhammad Syafi’i Hadzami, Abuya KH. Saifuddin Amsir, KH. Maulana
Kamal Yusuf, KH. Shalih Rahmani Tegal Parang, KH. Mahfudz Asirun, KH. Abdul
Jawad Dasuki Pangkalan Jati, KH. Ahmad Syafi’i Abdul Hamid, KH. Ahmad
Hifdzillah Badruddin. Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan umur panjang,
sehat Afiat, serta keberkahan dan perhatian beliau-beliau yang luar biasa
kepada penulis, Allah akan balas dengan tumpukan-tumpukan kebaikan di dunia dan
akhirat. Aamiin
(H. Rizki Zulkarnain Asmat, MA)
C. KRITIK TERHADAP PELAKSANAAN 4 RAKAAT SEKALI
SALAM DALAM SHALAT TARAWIH
1. Pendahuluan
Bulan Ramadhan adalah salah satu dari dua belas
bulan yang ada sebagai bulan istimewa, penuh berkah, rahmat dan ampunan. Yakni,
bulan Ramadhan memiliki beberapa keistimewaan yang luar biasa dibandingkan
dengan bulan-bulan lainnya, diantaranya adalah sebagai bulan dimana al-Quran
diturunkan, juga bulan yang di dalamnya terdapat Lailatul Qadr. Selain di
dalamnya terkandung nilai-nilai ubudiyyah yang bersifat uhkrawi, juga
mengandung nilai-nilai hidup duniawi. Banyak hikmah yang bisa kita raih pada
bulan tersebut, yang semuanya mengarah kepada peningkatan makna kehidupan,
peningkatan nilai diri, spritual dan pensucian jiwa. Oleh sebab itu, Rasulullah
menganjurkan umatnya untuk meningkatkan dan memperbanyak ibadah untuk
bertaqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah) dalam menyambutnya.
Diantara kegiatan keagamaan yang umumnya dilakukan umat Islam pada bulan
Ramadhan adalah qiyam Ramadhan, atau yang biasa disebut dengan shalat Tarawih.
Sesungguhnya masalah shalat Tarawih adalah masalah
yang sudah tuntas dan sudah selesai dibahas oleh para ulama pada masa klasik.
Akan tetapi ada gejala atau fenomena yang mengkhawatirkan serta mengejutkan
karena muncul sebagian kelompok yang membid’ahkan dan menyalahkan pelaksanaan
shalat Tarawih 20 rakaat. Mereka berpendapat bahwa shalat Tarawih itu hanya 8
rakaat dilakukan dengan 4 rakaat sekali salam, 4 rakaat sekali salam. Mereka
juga mengatakan: “Manakah yang lebih afdhal mengerjakan Tarawih dengan sunnah
Nabi atau mengerjakan Tarawih hasil ijtihad Umar ibn Khathab?”
Sebuah pertanyaan sederhana, yang memerlukan
jawaban yang tidak sesederhana pertanyaannya, karena dikhawatirkan dengan
jawaban sederhana akan menimbulkan jawaban yang justru menjerumuskan. Berawal
dari sinilah, penulis mengetengahkan sebuah tulisan yang mencoba mencari
haqiqat qiyam Ramadhan dari hadits Rasulullah, atsar para sahabat dan juga
pendapat para ulama Salafus Shalih dengan harapan dapat mengetahui bagaimana
sebenarnya shalat Tarawih itu menurut tuntunan yang diajarkan Rasulullah,
bagaimanakah menurut yang diamalkan oleh para sahabat dan tabi’in, juga
bagaimanakah menurut pendapat para ulama Salafus Shalih?
Dengan demikian, kita dapat mengetahui jawaban yang
sebenarnya dan pada gilirannya nanti kita dapat mengamalkan shalat Tarawih
dengan penuh ketenangan dan kekhusyu’an.
2. Pengertian Tarawih Secara Etimologi
Lafadz Tarawih adalah bentuk jama’ (plural) dari
kata tunggal tarwîhah yang berarti istirahat. Menurut etimologi berasal dari
kata murâwahah yang berarti saling menyenangkan, dengan wazan mufâ’alahnya
ar-râhah yang berarti merasa senang. Term ini merupakan bentuk lawan kata dari
at-ta’ab yang berarti letih atau payah.
3. Pengertian Tarawih Secara Terminologi
Shalat Tarawih adalah shalat sunnah yang khusus
dilaksanakan hanya pada malam-malam bulan Ramadhan. Dinamakan Tarawih karena
orang yang melaksanakan shalat sunnah di malam bulan Ramadhan beristirahat
sejenak di antara dua kali salam atau setiap empat rakaat. Sebab dengan duduk
tersebut, mereka beristirahat karena lamanya melakukan Qiyam Ramadhan. Bahkan,
dikatakan bahwa mereka bertumpu pada tongkat karena lamanya berdiri. Dari situ
kemudian, setiap empat rakaat (dengan 2 salam) disebut Tarwihah, dan semuanya
disebut Tarawih.
Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafidz Ahmad
ibn Ali ibn Hajar al-‘Asqallâniy dalam kitab Fath al-Bâri Syarh al-Bukhâri juz
4 halaman 778: “Shalat jamaah yang dilaksanakan pada setiap malam bulan
Ramadhan dinamai Tarawih karena para sahabat pertama kali melaksanakannya,
beristirahat pada setiap dua kali salam.”
Shalat Tarawih disebut juga shalat Qiyam Ramadhan
yaitu shalat yang bertujuan menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan. Shalat
Tarawih termasuk salah satu ibadah yang utama dan efektif guna mendekatkan diri
kepada Allah. Imam Abu Zakariyyâ Yahyâ ibn Syarf an-Nawawi ad-Dimasyqiy dalam
kitab al-Minhâj fi Syarh Muslim ibn Hajjâj juz 6 halaman 34 mengatakan: “Yang
dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat Tarawih.”
Maksud dari perkataan Imam an-Nawawi ad-Dimasyqiy
dijelaskan oleh al-Hafidz Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-‘Asqallâniy dalam kitab
Fath al-Bâri Syarh al-Bukhâri juz 4 halaman 779 sebagai berikut: “Qiyam
Ramadhan dapat dilakukan dengan shalat apa saja termasuk shalat Tarawih. Namun,
ini bukan berarti Qiyam Ramadhan hanya sebatas shalat Tarawih saja”. Maksud dari
perkataan Imam Ibn Hajar al-‘Asqallâniy adalah shalat Tarawih itu merupakan
bagian dari qiyam Ramadhan.
Pada zaman Rasulullah, istilah Tarawih belum
dikenal. Rasulullah dalam hadits-haditsnya juga tidak pernah menyebut kata-kata
Tarawih. Semua bentuk ibadah sunnah yang dilaksanakan pada malam hari, lebih
familiar disebut Qiyam Ramadhan, tidak disebut shalat Tarawih sebagaimana
banyak ditemukan dalam teks-teks hadits. Seperti sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut: “Siapa saja yang melaksanakan
ibadah pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ridha Allah, niscaya
diampuni dosanya yang telah lalu.”
Dalam riwayat hadits shahih mengatakan shalat Qiyam
Ramadhan secara berjamaah di zaman Rasulullah hanya beberapa malam saja. Beliau
melaksanakan shalat Qiyam Ramadhan secara berjamaah hanya dalam 2 atau 3 kali
kesempatan. Kemudian, beliau tidak melanjutkan shalat tersebut pada malam-malam
berikutnya karena khawatir ia akan menjadi ibadah yang diwajibkan. Seperti yang
terdapat pada keterangan hadits sebagai berikut: “Dari Siti ‘Aisyah
sesungguhnya Rasulullah pada satu malam shalat di masjid, maka para sahabat
mengikuti beliau shalat. Kemudian beliau shalat pada malam berikutnya, para
sahabat yang ikut berjamaah menjadi semakin banyak. Selanjutnya pada malam
ketiga atau keempat para sahabat berkumpul ternyata Rasullah tidak keluar
menemui mereka. Keesokan harinya beliau berkata: “Aku mengetahui apa yang
kalian lakukan tadi malam. Tidak ada yang menghalangiku keluar menemui kalian
selain dari kekhawatiranku kalau-kalau shalat itu diwajibkan atas kalian”. Yang
demikian itu terjadi di bulan Ramadhan.”
Sedangkan menurut Syaikh Muhammad ibn Ismâîl
ash-Shan’âniy (w.1182 H/1768M), dalam kitab Subul as-Salâm Syarh Bulûgh
al-Marâm juz 2 halaman 22 mengatakan: “Penamaan shalat Tarawih itu seolah-olah
yang menjadi dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqiy
dari Siti ‘Aisyah sebagai berikut: “Siti ‘Aisyah berkata: “Seringkali
Rasulullah mengerjakan shalat 4 rakaat pada malam hari, lalu beliau yatarawwah
(beristirahat) dan beliau melamakan istirahatnya hingga aku merasa iba.”
Menurut Imam al-Baihaqiy, bahwa hadits ini diriwayatkan melalui sanad
al-Mughirah dan ia bukan orang yang kuat. Jika hadits ini memang jelas
ketetapannya, maka hadits inilah yang menjadi landasan Tarwihah (istirahat)
imam pada waktu shalat Tarawih tersebut.”
Dari keterangan hadits-hadits shahih di atas, jelas
bahwa tidak ada ketentuan yang baku dari Rasulullah tentang jumlah rakaat
shalat Qiyam Ramadhan. Hadits-hadits shahih yang marfu’ (bersumber dari
Rasulullah) tidak pernah menjelaskan berapa rakaat beliau melakukan Qiyam
Ramadhan.
Kesimpulannya, dalam konteks shalat Qiyam Ramadhan
tidak ada batasan yang signifikan (berarti penting) dalam bilangan rakaatnya. Semakin
banyak rakaat shalat Qiyam Ramadhan yang dikerjakan, maka semakin banyak
pahalanya. Sedangkan dalam konteks shalat Tarawih maksimalnya adalah 20 rakaat.
4. Hukum Shalat Tarawih
Shalat Tarawih hukumnya sunnah muakkadah (sunah
yang sangat dianjurkan) bagi setiap laki-laki dan wanita yang dilaksanakan pada
tiap malam bulan Ramadhan.
5. Waktu shalat Tarawih
Waktu pelaksanaan shalat Tarawih dimulai setelah
shalat Isya, berakhir sampai terbit fajar. Bagi yang belum melaksanakan shalat
Isya, tidak diperkenankan melakukan shalat Tarawih. Bahkan shalat Tarawihnya
menjadi tidak sah. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Yusuf ibn Ibrahim
al-Ardabiliy dalam kitab al-Anwar li A’mal al-Abrar juz 1 halaman 80: “Shalat
Tarawih dikerjakan 20 rakaat dengan 10 salam. Seandainya seseorang shalat 4
rakaat dengan satu salam, atau ia shalat Tartawih sebelum shalat fardhu Isya
maka batal shalat Tarawihnya.”
Tata cara yang afdhal dalam shalat Tarawih adalah
dikerjakan setelah melakukan shalat fardu Isya dan Ba’diyah Isya. Lebih utama
lagi apabila shalat Tarawih dikerjakan di akhir malam. Syaikh Umar ibn
Mudzaffar ibn Wardiy (w. 749 H) mengatakan dalam Nadzamnya halaman 31 yang
terkenal dengan sebutan Bahjah al-Hâwiy yang terdiri dari 5000 bait sebagai
berikut: “Begitu juga (shalat yang disunahkan antara shalat fardhu Isya sampai
Fajar) adalah shalat Tarawih sekira difashalkan dan dilakukan setelah shalat
sunah malam (Tahajjud) itu lebih afdhal.”
6. Hikmah Shalat Tarawih
Adapun hikmah shalat Tarawih menurut Muhammad Ilyas
Marwal dalam bukunya “Kritik Atas Pembid’ahan Shalat Tarawih 20 rakaat” halaman
24 ialah menguatkan, merilekskan dan menyegarkan jiwa serta raga guna melakukan
ketaatan. Selain itu, untuk memudahkan pencernaan makanan setelah makan malam.
Sebab, apabila setelah berbuka puasa lalu tidur, maka makanan yang ada dalam
perut besarnya tidak tercerna, sehingga dapat mengganggu kesehatannya dan
membuat jasmani menjadi lesu dan rusak.
Yang harus diperhatikan ada jeda yang cukup setelah
makan besar, baik setelah berbuka puasa atau setelah sahur dengan tidur.
Karenanya, Rasulullah menganjurkan ta’khir sahur yakni makan sahur dilakukan
mendekati waktu Shubuh, agar setelah sahur langsung shalat Shubuh tidak tidur
lagi. Jadi, bukan santap sahur pukul 02:00, lalu tidur lagi. Alasannya, sewaktu
tidur tubuh menjadi sangat rileks, sehingga gerakan usus menjadi lambat sekali,
sedangkan kita makan sampai perut penuh. Jadi, metabolism (proses perputaran)
pencernaan terganggu, karena makanan terus-menerus berada di dalam usus.
Penulis teringat ungkapan ulama yang pernah
disebutkan oleh orang tua kami, Abuya KH. Saifuddin Amsir ketika beliau
memberikan penjelasan taqrir kitab Ta’lîm al-Muta’allim karya Syaikh
Burhanuddin az-Zarnûjiy sebagai berikut: “Apabila engkau makan siang maka boleh
engkau tidur setelahnya sekalipun di atas kepala kambing, dan apabila engkau
makan malam maka berjalan/berkelilinglah sekalipun di atas tembok (jangan
langsung tidur).”
Syaikh Ali ibn Ahmad al-Jurjâwiy (w. 1340 H/1922 M)
salah seorang tokoh ulama al-Azhar Kairo, Mesir, dalam sebuah kitabnya yang
bernama Hikmah at-Tasyrî’ wa Falsafatuhu juz 1 halaman 150 mengatakan: “Telah
banyak doktor dari negara barat yang mengatakan bahwa umat Islam yang menjalani
ibadah puasa dengan shalat-shalat yang biasa mereka kerjakan setelah shalat
Isya telah membuat mereka terhindar dari aneka penyakit yang hampir
membahayakan mereka. Mr. Edwar Leeny mengatakan: “Suatu hari saya diundang
makan dalam acara buka puasa oleh salah seorang saudagar muslim yang sukses.
Saya melihat banyak di antara mereka menyantap hidangan yang tersedia dengan
lahap dan sangat banyak, sehingga saya berkeyakinan bahwa mereka pasti akan
mengalami gangguan pencernaan pada perut mereka. Kemudian waktu datang waktu
Isya mereka berbondong-bondong mengerjakan shalat Isya dan dilanjutkan dengan
shalat Tarawih. Seketika melihat itu, saya menyimpulkan dan berkeyakinan bahwa
gerakan-gerakan yang mereka lakukan di saat mengerjakan shalat sangat
bermanfaat dalam mengembalikan tenaga dan semangat serta menghindari mereka
dari berbagai macam penyakit yang mengancam mereka. Dari situlah saya yakin
bahwa agama Islam memang benar-benar bijaksana dalam Syariatnya.”
7. Keutamaan Shalat Tarawih
Keutamaan shalat Tarawih dari malam pertama hingga
malam terakhir telah disebutkan dalam salah satu hadits Nabi riwayat Sayyidina
Ali dalam kitab Durrat an-Nashihin karya Syeikh Utsman ibn Hasan ibn Ahmad
Syakir al-Khubuwiy ar-Rumiy al-Hanafiy halaman 19:
“Diriwayatkan dari Sayidina Ali, ia berkata:
“Rasulullah ditanya tentang keutamaan shalat Tarawih pada bulan Ramadhan,
beliau menjawab:
• Malam ke-1: “Keluar seorang mu’min dari dosanya
seperti ia dilahirkan oleh ibunya.”
• Malam ke-2: “Diampuni baginya dan kedua
orangtuanya jika keduanya beriman.”
• Malam ke-3: “Malaikat berseru kepada makhluk yang
berada di bawah Arsy: “Mulailah kalian beramal, Allah akan menganpuni
dosa-dosamu yang terdahulu.”
• Malam ke-4: “Baginya dari bagian pahala seperti
membaca kitab Taurat, Injil, Zabur dan al-Qur’an.”
• Malam ke-5: “Allah berikan pahala seperti orang
yang shalat di Masjid al-Haram, Masjid Madinah dan Masjid al-Aqsha.”
• Malam ke-6: “Allah berikan kepadanya pahala orang
yang melakukan thawaf di Baitul Ma’mur, dan membacakan istighfar oleh setiap
bebatuan dan lumpur kepadanya.”
• Malam ke-7: “Seakan-akan ia berjumpa dengan Nabi
Musa dan dia menolongnya dalam melawan Fir’aun dan Haman.”
• Malam ke-8: “Allah berikan kepadanya sesuatu yang
Allah kepada Nabi Ibrahim.”
• Malam ke-9: “Seakan-akan dia menyembah Allah
seperti ibadahnya Nabi.”
• Malam ke-10: “Allah berikan kepadanya dua
kebaikan dunia dan Akhirat.”
• Malam ke-11: “Dia keluar dari dunia seperti hari
pada hari dilahirkan ibunya.”
• Malam ke-12: “Dia datang pada hari qiyamat
sedangkan wajahnya laksana bulan di malam empat belas.”
• Malam ke-13: “Dia datang di hari qiyamat dalam
keadaan aman dari setiap kejahatan.”
• Malam ke-14: “Para malaikat datang menyaksikannya
bahwa dia telah melakukan shalat Tarawih, maka Allah tidak menghisabnya di hari
qiyamat.”
• Malam ke-15: “Para malaikat dan pemikul ‘Arsy
bershalawat (memohonkan ampun) untuknya.”
• Malam ke-16: “Allah catatkan baginya kebebasan
selamat dari api neraka dan kebebasan dari masuk surga.”
• Malam ke-17: “Dia diberikan pahala seperti para
Nabi.”
• Malam ke-18: “Malaikat berseru: “Wahai hamba
Allah sesungguhnya Allah telah meridhoimu dan kedua orangtuamu.”
• Malam ke-19: “Allah angkat derajatnya pada surga
Firdaus.”
• Malam ke-20: “Allah berikan pahala pahala orang-orang
yang syahid dan para orang shalih.”
• Malam ke-21: “Allah bangunkan baginya rumah di
surga dari cahaya.”
• Malam ke-22: “Dia datang pada hari qiyamat dalam
keadaan aman dari segala keluh kesah dan duka cita.”
• Malam ke-23: “Allah bangunkan baginya sebuah kota
di dalam surga.”
• Malam ke-24: “Dia akan memiliki doa mustajab.”
• Malam ke-25: “Allah angkat (jauhkan) dirinya dari
adzab kubur.”
• Malam ke-26: “Allah angkat (berikan) baginya
pahala 40 tahun.”
• Malam ke-27: “Dia akan lewat pada hari qiamat di
atas shirath secepat kilat yang menyambar.”
• Malam ke-28: “Allah angkat baginya 1000 derajat
di surga.”
• Malam ke-29: “Allah berikan pahala 1000 haji yang
diterima.”
• Malam ke-30: “Allah berfirman: “Whai hambaKu
makanlah buah-buahan Surga dan mandilah dari air Salsabil (mata air surga) dan
minumlah dari telaga Kautsar. Aku Tuhanmu dan engkau adalah hambaKu.”
Sebagian ulama memberikan komentar hadits di atas
sebagai hadits maudhu’ (hadits palsu). Syaikh al-Baiquniy mengatakan:
“Kedustaan yang diada-adakan, yang dibuat orang atas Nabi, maka itulah yang
disebut maudhu’ (palsu).”
8. Jumlah Rakaat dan Tata Cara Mengerjakan Shalat
Tarawih
Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah rakaat
shalat Tarawih. Dalam kitab at-Taqrirat as-Sadidah fi Masail al-Mufidah susunan
al-Habib Hasan ibn Ahmad al-Kaf juz 1 halaman 287 disebutkan: “Al-Habib Zain
ibn Ibrahim ibn Sumath berpendapat bahwa jumlah rakaat shalat Tarawih minimal 2
rakaat, maksimalnya 20 rakaat. Dikerjakan khusus pada setiap malam bulan Ramadhan,
baik secara sendiri-sendiri ataupun berjamaah, tetapi lebih afdhal shalat
Tarawih dikerjakan secara berjamaah.”
Sedangkan menurut al-Hafidz Syaikh Abdullah
al-Harariy dalam kitab Bughyat ath-Thâlib li Ma’rifah al-‘Ilm ad-Diniy al-Wajib
juz 1 halaman 281 berpendapat bahwa: “Shalat Tarawih adalah bagian dari Qiyam
Ramadhan. Siapa yang berniat mengerjakan shalat Tarawih tidak boleh kurang atau
lebih dari 20 rakaat. Dengan alasan Tarawih merupakan sebuah istilah yang telah
terdefinisi dengan jelas, sebagai shalat yang dikerjakan oleh para sahabat di
zaman Sayidina Umar ibn Khatthab khusus pada bulan Ramadhan dengan 20 rakaat 10
kali salam. Adapun bila seseorang berniat mengerjakan shalat Qiyam Ramadhan,
maka tidak ada batasan rakaatnya. Artinya, boleh kurang atau lebih dari 20
rakaat.”
Khusus bagi penduduk kota Madinah boleh mengerjakan
shalat Tarawih lebih dari 20 rakaat. Sedangkan jumlah rakaat shalat Qiyam
Ramadhan tidak ada batasan yang signifikan (berarti penting) dalam bilangan
rakaatnya. Semakin banyak rakaat shalat Qiyam Ramadhan yang dikerjakan, maka
semakin banyak pahalanya. Tetapi yang paling afdhal mengerjakan shalat Tarawih
dengan 20 rakaat. Karena sesuai dengan amalan yang telah dikerjakan oleh para
sahabat, tabi’in dan para Salafus Shâlih.
Kalau kita mau jujur, dengan menelusuri dan
mencermati pendapat para ulama yang telah dikemukakan di atas, hampir semua
sependapat dan sepakat bahwa mengerjakan shalat Tarawih dengan 20 rakaat itu
adalah jumlah rakaat yang paling banyak dikerjakan oleh banyak umat Islam
termasuk di Masjid al-Haram Makkah sejak zaman Khalifah Umar Ibn Khatthab
sampai saat sekarang ini, dan hal itu tidak pernah berubah. Sebagaimana telah
ditegaskan oleh para imam Mujtahid; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i,
Imam Ahmad Ibn Hanbal dan hampir semua ulama termasuk Syaikh Islam Ibn
Taymiyyah.
Siapa lagi yang pantas dan patut kita teladani
dalam mengamalkan suatu ibadah kalau bukan para ulama Salafus Shalih, merekalah
yang lebih utama dari pada kita, karena mereka hidup dalam masa yang lebih baik
dari masa kita. Rasulullah Saw. bersabda: “Manusia terbaik adalah mereka yang
hidup pada masa aku hidup (para sahabat) kemudian generasi selanjutnya (para
tabi’in), kemudian generasi selanjutnya (pengikut tabi’in).” (HR. Imam Bukhari,
Muslim, Tirmidzi, Ahmad, Ibn Abi Syaibah, al-Baihaqi, Hakim, ath-Thabarani, Ibn
Hibban dan lain-lain).
Adapun hukum orang yang mengerjakan shalat Tarawih
kurang dari 20 rakaat, seperti 8 rakaat, maka ia tetap mendapat pahala shalat
Tarawih. Dengan catatan, 8 rakaat tersebut dikerjakan dengan salam pada tiap 2
rakaatnya. Namun pahala yang ia dapat tidak seperti orang yang mengerjakan
shalat Tarawih dengan 20 rakaat.
Apabila shalat Tarawih 8 rakaat itu dikerjakan
dengan cara 4 rakaat sekali salam, 4 rakaat sekali salam, maka shalat
Tarawihnya tidak sah. Bagi mereka yang mengerjakan di masjid atau di mushalla shalat
Tarawih dengan 8 rakaat dan ditambah 3 rakaat shalat Witir, mereka pun masih
bisa mendapatkan keafdholan pahala shalat Tarawih dengan cara menyempurnakan
bilangan rakaat shalat Tarawih di rumah dengan menambahkan 12 rakaat, agar
jumlah rakaat shalat Tarawih mereka menjadi 20 rakaat.
Para Ulama bersepakat mengatakan bahwa berapapun
bilangan rakaat shalat Tarawih yang dikerjakan, setiap 2 rakaat harus diakhiri
dengan salam. Adapun pendapat sekelompok orang yang mengajarkan dan mengamalkan
shalat Tarawih dengan cara 4 rakat sekali salam, 4 rakaat sekali salam, yang
semarak dikerjakan banyak orang dan sudah terlanjur mengakar, sehingga muncul
kesan bahwa praktek seperti itulah yang benar dan perlu ditradisikan. Padahal
fakta ilmiah mengatakan cara seperti itu tidak benar dan tidak sejalan dengan
ajaran para ulama Salafus Shalih. Sia-sia mengerjakan shalat Tarawih sebulan
penuh, kalau ternyata praktek ibadah yang dikerjakan menyalahi aturan Syariat.
Para ulama Madzhab Imam Malik dan Madzhab Imam
Ahmad Ibn Hanbal berpendapat: “Shalat Tarawih yang dikerjakan 4 rakaat sekali
salam itu hukumnya makruh. Karena telah meninggalkan kesunahan bertasyahhud dan
memberi salam pada setiap 2 rakaat.” (Lihat Hasyiyah al-Fawâkih ad-Dawâniy ‘alâ
Risâlah Abi Zayd al-Qayrawâniy juz 3 halaman 464, Hasyiyah al-Adawiy ‘ala Syarh
Kifâyah ath-Thâlib ar-Rabbâniy juz 3 halaman 442, al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib
al-Arba’ah oleh Abdurrahman al-Jazîriy juz 1 halaman 290, al-Fiqh al-Islam wa
Adillatuh oleh Wahbah az-Zuhayliy juz 2 halaman 65-73).
Sedangkan para ulama Madzhab Imam Syafi’i
mengatakan: “Shalat Tarawih yang dikerjakan 4 rakaat sekali salam, hukumnya
tidak sah”. Dengan alasan telah menyalahi istilah dan prosedur shalat Tarawih
yang sudah jelas definisinya.
Memang secara umum, pelaksanaan shalat sunnah ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai jumlah rakaat setiap kali
salamnya. Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, shalat sunah, baik di waktu
malam maupun siang, dilakukan dengan cara dua-dua yakni; setiap 2 rakaat salam.
Menurut Imam Abu Hanifah, boleh melakukannya dua-dua, tiga-tiga, empat-empat,
enam-enam, delapan-delapan, dengan sekali salam (tanpa salam tiap 2 rakaatnya).
Ada juga yang membedakan antara shalat sunnah malam dan siang, kalau shalat
sunnah malam dikerjakan dua-dua, kalau shalat sunnah siang boleh empat-empat
sekali salam. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan hadits yang dating dalam
masalah ini. Sebagaimana disebutkan oleh Imam Muhammad ibn Abdurrahman
ad-Dimasyqiy dalam kitab Rahmah al-Ummah fi Ikhtilâf al-Aimmah: “Disunahkan
mengerjakan shalat sunnah yang dilaksanakan di waktu malam dan siang hari
dengan salam tiap 2 rakaat. Jika seseorang salam pada tiap 1 rakaat hukumnya
boleh menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad. Imam Abu Hanifah berkata tidak
boleh. Beliau juga mengatakan shalat malam boleh dikerjakan 2-2, 4-4, 6-6, 8-8
dengan sekali salam, shalat sunnah yang dilakukan siang hari boleh dengan 4
rakaat 1 salam.”
Dalam menyikapi perbedaan masalah ibadah, kita
tidak perlu bingung, alergi ataupun antipati (menolak atau tidak suka atau
menentangnya). Sebab masing-masing di antara pendapat-pendapat ulama tersebut
mempunyai landasan dalil.
Solusi yang tepat untuk menyikapi perbedaan
pendapat tersebut adalah dengan menerapkan kaidah ushul fiqh berikut ini: “Keluar
dari perbedaan pendapat adalah suatu hal yang dianjurkan.” Tetapi dengan
catatan harus dengan mengambil pendapat yang paling sesuai dengan prinsip hukum
atau yang paling benar di antara keduanya.
Yang dimaksud dengan keluar dari perbedaan pendapat
dalam konteks ini adalah mengerjakan shalat Tarawih dengan cara 2 rakaat, 2
rakaat. Sebab, bila kita kerjakan shalat Tarawih dengan cara 4 rakaat satu
salam akan bertabrakan dengan 2 qaul ulama. Pertama, qaul dalam Madzhab Imam
Malik dan Mazhab Imam Ahmad Ibn Hanbal yang berpendapat ”Shalat Tarawih yang
dikerjakan 4 rakaat sekali salam itu hukumnya makruh.” Kedua, qaul dalam
Madzhab Imam Syafi’i yang mengatakan: “Shalat Tarawih yang dikerjakan 4 rakaat
1 salam tidak sah.”
Tidak enak rasanya, bila di satu sisi kita
mengerjakan ibadah bertujuan mencari ridha Allah, mengharapkan pahala dan
kekhusyu’an di dalamnya, sedangkan di sisi lain para ulama mengatakan ibadah
yang kita kerjakan hukumnya makruh atau tidak sah.
Perlu diketahui, meskipun dalam madzhab Imam Abu
Hanifah ada pendapat yang mengatakan boleh shalat sunnah malam hari dikerjakan
dengan 2-2, 4-4, 6-6, 8-8 dengan sekali salam, tapi pendapat 4 rakaat, 6
rakaat, dan 8 rakaat yang dikerjakan dengan sekali salam tidak dijadikan hujjah
(argumen) dan juga tidak diamalkan dalam madzhab Imam Abu Hanifah. Tetap saja
shalat dengan cara 2 rakaat, 2 rakaat yang mereka amalkan sebagai tindakan
keluar dari perbedaan pendapat para ulama. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh
Syaikh Muhammad Anwâr Syâh al-Kasymîriy al-Hindiy dalam kitabnya al-‘Arf
asy-Syadziy Syarh Sunan at-Tirmidziy juz 1 halaman 488 sebagai berikut:
“Tidak ada keterangan nas hadits shalat malam
dikerjakan 4 rakaat dengan satu salam. Para ulama yang berafiliasi dalam
madzhab Abi Hanifah berpegang pada hadits Siti Aisyah riwayat Imam Bukhari dan
Muslim: “Beliau shalat 4 rakaat maka jangan engkau tanyakan betapa elok dan
lamanya.” Menurutku hadits ini bukan sebagai dalil dalam madzhab kami, karena
hadits ini tidak jelas dan juga hadits ini bukan sebagai dalil 4 rakaat
dikerjakan dengan satu salam, akan tetapi menurutku 4 rakaat tersebut
dikandungkan atas bentuk shalat Tarawih yang dikerjakan pada zaman ini dengan
memberi salam pada tiap 2 rakaat, 2 rakaat, 1 tarwihah (istirahat) itu terdiri
dari 4 rakaat. Inilah yang dijelaskan oleh Syaikh Abu Umar dalam kitab
at-Tamhîd, beliau mengatakan komentar hadits seperti yang aku sebutkan.
Penyebutan 4 rakaat adalah gabungan (2 rakaat, 2 rakaat) karena tidak ada
perhentian dan istirahat atas 2 rakaat pertama. Aku temukan dalam kitab
as-Sunan al-Kubrâ dengan sanad yang marfû’ bahwa Rasulullah shalat 4 rakaat
kemudian beliau beristirahat, menjadi dalil member salam pada tiap 2 rakaat,
dari Siti Aisyah riwayat Imam Muslim: “Beliau shalat lalu salam pada tiap 2
rakaat.” Riwayat Imam Nasâiy dari Ummi Salamah: “Beliau salam pada tiap 2
rakaat.” Maka hal itu tidak bisa menjadi dalil yang tegak lantaran setiap
perawi hadits telah mengungkapkan maksud yang masih mujmal (global). Sebagian
mereka menjelaskan yang dimaksud dan menyebutkan bahwa beliau memberi salam
pada tiap 2 rakaat. Sedangkan kelompok pertama tidak menyebutkan salam pada
tiap 2 rakaat, maka tidak mungkin bisa dijadikan dalil sesuatu yang masih
bersifat global (umum).”
Sangat banyak jumlahnya para ulama Ahlussunnah
dalam kitab-kitabnya yang menyatakan bahwa shalat Tarawih yang dikerjakan
dengan 4 rakaat sekali salam itu tidak sah. Diantaranya adalah:
Al-Imam an-Nawawiy ad-Dimasyqiy: “Masuk waktu
shalat Tarawih itu setelah melaksanakan shalat Isya. Imam al-Baghawi dan
lainnya menyebutkan: “Waktu tarawih masih ada sampai terbit fajar.” Hendaklah
seseorang mengerjakan shalat Tarawih dengan dua rakaat dua rakaat, sebagaimana
kebiasaan shalat sunnah lainnya. Seandainya ia shalat dengan 4 rakaat dengan
satu salam, maka shalatnya tidak sah. Hal ini telah dikatakan oleh al-Qâdhi
Husain dalam fatwanya, dengan alasan hal demikian menyalahi aturan yang telah
disyariatkan. Al-Qâdhi juga berpendapat seorang dalam shalat Tarawih ia tidak
boleh berniat mutlak, tetapi ia berniat dengan niat shalat sunnah Tarawih,
shalat Tarawih atau shalat Qiyam Ramadhan. Maka ia berniat pada setiap 2 rakaat
dari shalat Tarawih.”
Al-Imam Ahmad ibn Hajar al-Haitamiy: “Shalat
Tarawih itu 20 rakaat, wajib dalam pelaksanaanya dua-dua, dikerjakan dua rakaat
dua rakaat. Bila seseorang mengerjakan 4 rakaat dengan satu salam, maka
shalatnya tidak sah karena hal tersebut menyerupai shalat fardhu dalam menuntut
berjamaah, maka jangan dirubah keterangan sesuatu yang telah warid (datang).
Lain halnya dengan shalat sunah Dzuhur dan Ashar (boleh dikerjakan empat rakaat
satu salam) atas qaul mu’tamad.”
Al-Imam Muhammad ibn Ahmad ar-Ramliy: “Tidak sah
shalat Tarawih dengan niat shalat Mutlak, seharusnya seseorang berniat Tarawih
atau Qiyam Ramadhan dengan mengerjakan salam pada setiap 2 rakaat. Seandainya
seseorang shalat Tarawih dengan 4 rakaat satu salam, jika ia sengaja dan
mengetahui maka shalatnya tidak sah. Kalau tidak demikian maka shalat itu
menjadi shalat sunnah Mutlak, karena menyalahi aturan yang disyariatkan.”
Al-Imam Ahmad ibn Muhammad al-Qasthallaniy:
“Dipahami dari ungkapan yang lalu sesungguhnya shalat Tarawih itu
pelaksanaannya dengan 10 kali salam. Seandainya seseorang shalat Tarawih dengan
4 rakaat sekali salam, maka shalat Tarawihnya tidak sah. Seperti inilah
keterangan yang telah dijelaskan oleh Imam Nawawiy dalam kitab ar-Raudhah,
karena shalat Tarawih menyerupai shalat fardhu dalam menuntut berjamaah (tiap 2
rakaat melakukan tasyahhud), maka jangan dirubah keterangan sesuatu yang telah
warid (datang).”
Al-Imam Zakariya al-Anshariy: “Pada setiap 4 rakaat
dinamai satu Tarwihah karena para sahabat bersantaisantai setelahnya artinya
beristirahat. Jika seseorang shalat Tarawih 4 rakaat dengan satu salam maka
tidak sah, karena anjuran berjamaah pada shalat Tarawih menyerupai shalat
fardhu, maka jangan diubah aturan yang telah ada keterangannya.”
Al-Imam Jalaluddin Muhammad al-Mahalliy: “Makna
Syar’i itu dinamakan sesuatu yang berbetulan dengan hakikat syara’ adalah
sesuatu yang tidak dipahami namanya melainkan dari syara’ seperti bentuk
shalat. Digunakan juga makna syar’i itu atas perbuatan yang mandub dan mubah.
Dari definisi pertama para ulama berpendapat shalat sunnah yang disyari’atkan
berjamaah artinya disunahkan berjamaah seperti shalat dua hari raya Idul Fitri
dan Idul Adha. Dari definisi kedua ini perkataan al-Qadhi Husein yang
mengatakan: “Seandainya ia mengerjakan shalat Tarawih dengan 4 rakaat dengan
satu salam, maka shalat Tarawihnya tidak sah.”
Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthiy:
“Seseorang mengerjakan shalat Tarawih pada tiap malam bulan Ramadhan dengan 10
kali salam pada tiap malam antara shalat Isya sampai terbit fajar. Jika
seseorang shalat Tarawih 4 rakaat dengan satu salam maka hukumnya tidak sah.
Sebagaimana Imam an-Nawawi menukilkannya dalam kitab Raudhah dari al-Qadhi
Husain dan beliau menetapkan hal itu karena menyalahi aturan yang
disyariatkan.”
Al-Imam Zainuddin al-Malibariy: “Shalat Tarawih 20
rakaat dengan 10 kali salam pada setiap malam di bulan Ramadhan. Karena ada
hadits: “Siapa saja melaksanakan Qiyam Ramadhan karena iman dan mengharap
pahala, maka dosanya yang terdahulu diampuni.” Wajib setiap 2 rakaat
mengucapkan salam. Jika seseorang shalat Tarawih 4 rakaat dengan satu salam
maka hukum shalat Tarawihnya tidak sah. Berbeda dengan shalat sunnah Dzuhur,
Ashar, Dhuha dan Witir. Seharusnya bagi yang mengerjakan shalat Tarawih, ia
berniat dengan niat Tarawih atau Qiyam Ramadhan.”
Al-Imam Taqiyuddin al-Hasaniy: “Dinamakan Tarawih
karena para sahabat melakukan istirahat pada setiap 2 kali salam (4 rakaat).
Seseorang yang melaksanakannya berniat pada tiap 2 rakaat dengan niat Tarawih
atau Qiyam Ramadhan. Bila ia shalat Tarawih dengan 4 rakaat satu salam maka
shalatnya tidak sah.”
Al-Imam Muhammad Ibn Qasim: “Shalat Tarawih
dikerjakan 20 rakaat, terdiri dari 10 salam pada tiap malam bulan Ramadhan.
Jumlahnya 5 tarwihah (istirahat). Seseorang yang mengerjakannya ia berniat tiap
2 rakaat akan shalat Tarawih atau Qiyam Ramadhan. Jika ia shalat Tarawih dengan
4 rakaat satu salam maka shalat Tarawihnya tidak sah.”
Al-Imam Murtadha Muhammad az-Zabidiy: “Shalat
Tarawih itu 20 rakaat dengan 10 kali salam. Tata caranya telah diketahui banyak
orang. Imam an-Nawawi berkata “Seandainya seseorang shalat Tarawih 4 rakaat
dengan sekali salam, maka shalat Tarawihnya tidak sah.”
Al-Imam Muhammad Amin Kurdiy: “Shalat Tarawih itu
dikerjakan 20 rakaat dengan 10 salam. Bila seseorang shalat setiap 4 rakaat
dengan satu salam maka shalatnya tidak sah. Disunnahkan pelaksanaannya
berjamaah.”
As-Sayyid Muhammad ibn Abdullah al-Jurdaniy:
“Seharusnya shalat Tarawih itu dikerjakan dengan cara 2 rakaat (satu salam)
karena telah datang keterangannya. Seandainya seseorang melakukan takbiratul
ihram lebih dari 2 rakaat atau kurang dari 2 rakaat dalam mengerjakan shalat
Tarawih maka shalat Tarawihnya tidak jadi (tidak sah).”
Asy-Syaikh Ibrahim ibn Muhammad al-Baijuriy:
“Ungkapan dzahir hadits menguatkan hal itu, sesungguhnya 4 rakaat dikerjakan
dengan sekali salam. Apabila shalat tersebut adalah shalat Tarawih menjadi
keharusan 4 rakaat dikerjakan dengan 2 salam, karena pelaksanaan shalat Tarawih
hukumnya wajib salam pada tiap 2 rakaat. Tidak sah shalat Tarawih dikerjakan 4
rakaat sekali salam.”
Asy-Syaikh Muhammad Nawawiy al-Bantaniy: “Shalat
Tarawih tidak sah bila dilakukan dengan niat shalat Mutlak, tetapi seseorang
yang mengerjakannya berniat shalat Tarawih, shalat Qiyam Ramadhan atau shalat
sunah Tarawih. Tidak sah bila ia melakukan shalat Tarawih dengan 4 rakaat satu
salam, bahkan semestinya yang ia lakukan adalah mengucapkan salam pada tiap 2
rakaat karena begitulah keterangan yang datang.”
Asy-Syaikh Muhammad Mahfudz at-Termasiy: “Perkataan
Ibn Hajar: “Bila seseorang mengerjakan 4 rakaat seumpamanya, maka yang dimaksud
adalah lebih dari 2 rakaat, dengan satu salam, maka hokum shalatnya tidak sah
yakni batal.”
Asy-Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Kediriy:
“Ketahuilah sesungguhnya shalat Tarawih 20 rakaat dengan 10 salam pada tiap
malam bulan Ramadhan. Tata caranya telah diketahui banyak orang. Imam an-Nawawi
berkata: “Seandainya ia shalat dengan 4 rakaat dengan satu salam, maka
shalatnya tidak sah”. Hal ini telah dikatakan oleh al-Qâdhi Husain dalam
fatwanya, dengan alasan hal demikian menyalahi aturan yang telah disyariatkan.”
Al-Habib Ahmad ibn Umar asy-Syathiriy: “Shalat
Tarawih dilaksanakan 20 rakaat pada setiap malam bulan Ramadhan. Dalam
pelaksanaannya wajib 2 rakaat, 2 rakaat. Waktunya dari selesai mengerjakan
shalat Isya sampai terbit fajar. Seseorang dipastikan memberi salam pada tiap 2
rakaatnya. Jika ia shalat lebih dari 2 rakaat sengaja dan tahu (itu tidak sah)
maka shalat Tarawihnya rusak. Tetapi bila ia tidak sengaja atau lantaran
ketidaktahuannya maka Tarawih yang dikerjakan dengan 4 rakaat sekali salam itu
menjadi shalat sunah Mutlak.”
Asy-Syaikh Abdul Hamid ibn Muhammad Ali Qudus:
“Wajib salam pada setiap 2 rakaat. Bila seseorang shalat 4 rakaat atau lebih
dengan sekali salam maka shalat Tarawihnya tidak sah sama sekali, jika ia
sengaja atau mengetahui itu. Jika tidak, maka shalatnya sah menjadi shalat
Mutlak.”
Asy-Syaikh Ali Ma’shum al-Jogjawiy Krapyak:
“Ketahuilah sesungguhnya shalat Tarawih itu dikerjakan dengan 2 rakaat, 2
rakaat menurut pandangan Ahlussunah wal Jama’ah. Ulama madzhab Syafi’i berkata:
”Wajib, seseorang salam pada tiap 2 rakaat. Jika ia mengerjakan shalat Tarawih
4 rakaat dengan 1 salam, maka hukum shalatnya tidak sah.”
Asy-Syaikh Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi:
“Perkataan (Nabi shalat 4 rakaat, maka jangan kau tanya bagaimana bagus dan
panjangnya) shalat Nabi 4 rakaat mengandung kemungkinan 4 rakaat, itu dengan
cara 2 salam dan 2 tasyahhud. Dengan adanya perbuatan dan perkataan Nabi:
“Shalat malam itu 2 rakaat 2 rakaat.” Ulama madzhab Syafi’i telah mentahqiq
sesungguhnya siapa saja yang shalat 4 rakaat sekali salam dengan niat Tarawih
maka tidak sah. Karena menyalahi hadits Rasulullah: “Shalat malam itu dua dua”
dan juga menyalahi amalan para sahabat mulia yang Allah telah berikan
keridhaanNya kepada mereka.”
Asy-Syaikh Mu’allim Muhammad Syafi’i Hadzami dalam
Risalah Shalat Tarawih halaman 6: “Tidak dikenal ikhtilaf (perbedaan) antara
Imam-imam mujtahid yang empat mengenai bilangan atau jumlah rakaat Qiyam
Ramadhan (Shalat Tarawih) melainkan sebagai berikut: 1) 20 rakaat menurut
madzhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibn Hanbal.
2) 36 rakaat merupakan salah satu riwayat Imam Malik bagi penduduk Madinah.
Syaikh Abdul Wahhab asy-Sya’râniy pun menyebutkan hal ini dalam kitab al-Mîzân
al-Kubrâ sebagai berikut: “Sebagian dari yang demikian adalah Qaul Imam Abi
Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bahwa Shalat Tarawih di dalam bulan
Ramadhan adalah 20 rakaat, dansesungguhnya berjamaah itu lebih utama disertai
qaul Imam Malik dalam satu riwayat darinya adalah 36 rakaat.” Kaifiyyah 20
rakaat yaitu dikerjakan dengan sepuluh salam dan memberi salam pada tiap dua
rakaat. Kata Imam an-Nawawi dalam kitab Raudhah: “Jika seseorang shalat Tarawih
4 rakaat dengan satu salam niscaya tidak sah, karena menyalahi yang
disyariatkan.”
Asy-Syaikh Utsman ibn Muhammad Askar dalam
at-Tadzkirah an-Nafi’ah juz 5 halaman 118: “Jumlah rakaat shalat Tarawih.
Bapak: “Berapakah rakaat sempurna shalat Tarawih itu?” Anak: “20 rakaat. Namun
bagi penduduk Madinah, mereka boleh mengerjakannya lebih dari 20 rakaat hingga
36 rakaat. Cara mengerjakannya tip-tiap 2 rakaat diakhiri dengan salam. Setelah
selesai shalat Tarawih hendaknya ditutup dengan shalat Witir.” Bapak:
“Bagaimana hukumnya jika shalat Tarawih dilaksanakan kurang dari 20 rakaat?”
Anak: “Tetap mendapat pahala. Namun tidak seperti pahala shalat Tarawih 20
rakaat.” Bapak: “Bolehkah shalat Tarawih dikerjakan 4 rakaat, 4 rakaat dengan
satu tasyahhud (salam)?” Anak: “Hukumnya tidak sah, sesuai dengan yang
dijelaskan para ulama dalam kitab fiqh.”
Prof. Dr. Syifa Hasan Hito: “Shalat Tarawih juga
dinamakan Qiyam Ramadhan. Shalat Tarawih itu 20 rakaat dengan 10 kali salam
dengan adanya ijma’. Tidak sah bila menggabung 4 rakaat dengan satu salam.”
KH. Abdurrahman Nawi Tebet dalam Kitab 7 Kaifiyyat
Shalat Sunnah halaman 11: “Shalat Tarawih hukumnya sunnah muakkadah. Bilangan
rakaatnya yaitu: 1) Bagi kita 20 rakaat (ijma’ para sahabat). 2) Bagi Ahli
Madinah 36 rakaat. Waktunya ba’da shalat Isya hingga fajar shodiq. Perhatian!
1) Dilakukan dengan 10 salam. 2) Tidak sah dilakukan 4 rakaat satu salam. 3)
Sunnah dijama’ahkan.”
Demikianlah sebagian nash (redaksi) kitab-kitab
para ulama yang menjelaskan shalat Tarawih yang dikerjakan 4 rakaat sekali
salam, hukumnya tidak sah. Masih banyak kitab-kitab para ulama yang belum
sempat penulis membaca dan menelitinya. Kitab-kitab tersebut sangat perlu
dibaca dan ditekuni dengan benar dan hasil talaqqiy (berhadapan langsung)
dengan para ulama dan bukan dengan pendapat sendiri, agar kita terhindar dari
kesalahan.
Ya Allah berilah kami petunjuk seperti orang yang
Kau telah berikan petunjuk. Sebagaimana ungkapan sebuah syair: “Siapa saja yang
mengambil ilmu dari seorang guru dengan cara langsung berhadapan, maka dia akan
terhindar dari kesalahan dan kekeliruan. Dan siapa saja mengambil ilmu dari buku-buku,
maka ilmunya di kalangan ahli ilmu seperti tidak ada.”
Pendapat yang mengatakan bahwa shalat Tarawih
dikerjakan dengan 4 rakaat sekali salam, hukumya tidak sah memiliki dalil yang
kuat dan tidak bisa ditolak. Dalil-dalilnya sangat jelas dapat ditemukan dalam
kitab-kitab yang kredibel (mu’tabar). Bagaikan sinar matahari yang terlihat
begitu jelas, tidak ada manusia yang memungkiri jelasnya sinar matahari itu,
kecuali orang matanya sakit. Barang yang sangat jelas menjadi tidak kelihatan
karena ada penyakit pada matanya. Makanan yang enak dan lezat yang semua orang
berselera menikmatinya menjadi tidak enak karena ada penyakit pada mulutnya.
Sebagaimana Imam Muhammad ibn Said al-Bushiriy mengatakan: “Terkadang mata
seseorang mengingkari cahaya matahari karena matanya sakit (rebekan), dan mulut
seseorang akan mengingkari ni’matnya air dari sebab mulutnya sakit (sariawan).”
Begitu juga karena sangat jelas keterangan yang
para ulama berikan, tidak ada orang yang menolak pendapat tersebut, kecuali
orang-orang yang ada penyakit dalam dirinya. Nama penyakitnya adalah kebodohan
yang dibungkus oleh kain hasud (dengki). Menyikapi hal ini, kita wajib hindari
pelaksanaan shalat Tarawih yang dikerjakan dengan cara 4 rakaat sekali salam, 4
rakaat sekali salam. Apabila ada masjid atau mushalla dalam pelaksanaan shalat
Tarawih dikerjakan dengan cara seperti itu, maka wajib bagi kita memberi tahu
kepada mereka bahwa perbuatan mereka menyalahi aturan Syariat. Jika mereka
tidak mau merubahnya maka kita wajib mencari tempat yang mengerjakan shalat
Tarawih dengan tiap 2 rakaat salam, atau kita mengerjakan shalat Tarawih di
rumah saja.
Kita jangan merasa tersinggung atau sakit hati,
apabila nasehat atau ilmu yang kita sampaikan mereka tolak. Kewajiban kita
hanya menyampaikan kebenaran. Jika kita sudah menyampaikannya maka kewajiban
kita menjadi gugur. Diterima atau tidaknya ilmu/nasehat tersebut semua
tergantung keikhlasan mereka. Tak ubahnya kita memberi tahu kepada saudara kita
yang akan melakukan shalat bahwa kain yang dia pakai itu sudah terkena air
kencing. Kita jangan marah, kesal dan jengkel bila nasehat kita tidak dia
terima. Karena kewajiban diri kita hanya sekedar menyampaikan. Adapun shalat
saudara kita yang tidak sah bukan tanggung jawab kita lagi.
Ada orang yang berkata: “Jangan disalahkan orang
yang mengerjakan shalat Tarawih dengan 4 rakaat sekali salam, apa salahnya
orang mengerjakan ibadah? Yang pantas disalahkan adalah orang-orang yang tidak
melakukan shalat Tarawih, orang yang main judi dan mabuk-mabukkan.”
Perlu diketahui, bahwa bukan hanya orang yang
melakukan maksiyat saja seperti mabuk dan main judi itu salah dan berdosa dalam
pandangan syariat agama kita. Bahkan orang yang beribadah juga bisa salah,
manakala ia mengerjakan ibadah hanya menurut seleranya, bukan mengikuti syariat
agama. Contohnya: Seseorang mengerjakan shalat Maghrib dengan 4 rakaat, shalat
Dzuhur 5 rakaat, mengerjakan puasa di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha atau
melakukan shalat memakai pakaian hasil curian. Walaupun semua itu termasuk
perbuatan ibadah, tetapi karena cara mengerjakannya salah tidak sesuai syariat
maka bukan pahala yang ia dapat justru salah dan dosa.
Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam Abu Hamid
Muhammad al-Ghazaliy dalam Majmu’ah ar-Rasail al-Ghazali halaman 105 dan dalam
Ayyuhal Walad: “Sesungguhnya perbuatan taat dan ibadah itu mengikuti perintah
syariat dalam perintah dan larangannya baik perbuatan dan perkataan. Maksudnya
apa yang kau ucapkan, apa yang kau lakukan dan kau tinggalkan, semuanya harus
mengikuti tuntunan syariat.”
Mereka juga mengatakan: “Anda kok berani mengatakan
shalat Tarawih dengan 4 rakaat sekali salam tidak sah. Padahal Rasulullah tidak
pernah mengatakan satu ibadah itu tidak sah.”
Untuk menjawabnya, perlu diketahui bahwa yang
mengatakan bahwa shalat Tarawih dengan cara 4 rakaat sekali salam hukumnya
tidak sah adalah para ulama, bukan kita sendiri. Adapun pernyataan mereka
Rasulullah tidak pernah mengatakan tidak sah dalam satu ibadah adalah pendapat
orang bodoh yang merasa lebih pintar dari para ulama. Ini orang termasuk
rombongan “Gado-Gado Gandasturi, Udah Bodoh Kaga Tau Diri”. Makanya kalau ingin
mengetauhi hadits-hadits Rasulullah secara luas Anda harus baca kitab-kitab
hadits. Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa saja yang mengerjakan perbuatan yang
tidak ada padanya perintah kami, maka perbuatan itu tertolak/tidak sah.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Tidak ada alasan yang mendasar untuk saling
berselisih karena persoalan jumlah bilangan rakaat shalat Tarawih. Apalagi hal
itu menjadi sebab perpecahan umat. Jika kita perhatikan dengan cermat, maka
yang menjadi konsensus (kesepakatan ulama) dalam shalat Tarawih adalah yang
berkaitan dengan kualitas pelaksanaannya dan tata caranya. Berapapun jumlah
rakaat Shalat Tarawih yang dikerjakan seseorang, baik 8 rakaat atau 20 rakaat,
ia harus melakukan salam pada setiap 2 rakaat karena sesuai dengan sunnah
Rasulullah dan tuntunan para ulama, sehingga shalat Tarawih benar-benar akan
menjadi komunikasi antara seorang hamba dengan Tuhannya.
Ya Allah jadikanlah kami termasuk orang-orang yang
bahagia, yang ibadahnya diterima. Jangan Engkau jadikan kami orang-orang celaka
yang ibadahnya tertolak, dengan kasih sayangMu, wahai Yang Maha Menyayangi.
Adapun cara pelaksanaan shalat Tarawih secara
berjamaah dilakukan setelah melaksanakan shalat Isya dan ba’diyah Isya hingga
terbit fajar.
Teknis pelaksanaan shalat sunnah Tarawih adalah
sebagai berikut:
1) Bilal menyerukan bacaan: “Sholluu sunnata
at-Tarawiihi rak’ataini aajarakumullah.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan
dzikir: “Laa Ilaaha illallaahu Muhammadun Rasulullaahi shallallahu ‘alaihi
wasallam.” Kemudian berdiri mengerjakan shalat Tarawih berjamaah. Lafadz niat
shalat Tarawih untuk setiap 2 rakaat yaitu: “Ushollii sunnata at-Tarawiihi
rak’ataini imaaman/ma’muuman lillaahi ta’ala.” Artinya: ”Aku niat shalat sunnah
Tarawih 2 rakaat menjadi imam/ ma’mum karena Allah ta’ala.” Rakaat pertama
membaca surat: at-Takatsur. Rakaat kedua membaca surat: al-Ikhlas.
2) Bilal menyerukan bacaan: “Fadhlun minallaahi
ta’aala wani’mah.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir:
“Wamaghfiratun warahmah, yaa Tawwaabu yaa Waasi’al Maghfirah, yaa Arhaman
Raahimiin.” Rakaat pertama membaca surat: al-‘Ashr. Rakaat kedua membaca surat:
al-Ikhlas.
3) Bilal menyerukan bacaan: “Nabiyyukum Muhammad,
shalluu ‘alaih.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir: “Allaahumma
shalli wasallim ‘alaih.” Rakaat pertama membaca surat: al-Humazah. Rakaat kedua
membaca surat: al-Ikhlas.
4) Bilal menyerukan bacaan: “Fadhlun minallaahi
ta’aala wani’mah.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir:
“Wamaghfiratun warahmah, yaa Tawwaabu yaa Waasi’al Maghfirah, yaa Arhaman
Raahimiin.” Rakaat pertama membaca surat: al-Fiil. Rakaat kedua membaca surat:
al-Ikhlas.
5) Bilal menyerukan bacaan: “Khaliifatu
Rasuulillaahi Sayyidunaa Abubakrin ash-Shiddiiq, taraadhdhau ‘anhu.” Dan para
jamaah menjawab dengan seruan dzikir: “Radhiyallaahu ‘anhu, wanafa’anaa bihii
fiddiini waddunyaa wal aakhirah.” Rakaat pertama membaca surat: al-Quraisy.
Rakaat kedua membaca surat: al-Ikhlas.
6) Bilal menyerukan bacaan: “Fadhlun minallaahi
ta’aala wani’mah.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir:
“Wamaghfiratun warahmah, yaa Tawwaabu yaa Waasi’al Maghfirah, yaa Arhaman
Raahimiin.” Rakaat pertama membaca surat: al-Ma’un. Rakaat kedua membaca surat:
al-Ikhlas.
7) Bilal menyerukan bacaan: “Khaliifatu
Rasuulillaahi Sayyidunaa ‘Umarubnu al-Khththaab, taraadhdhau ‘anhu.” Dan para
jamaah menjawab dengan seruan dzikir: “Radhiyallaahu ‘anhu, wanafa’anaa bihii
fiddiini waddunyaa wal aakhirah.” Rakaat pertama membaca surat: al-Kautsar.
Rakaat kedua membaca surat: al-Ikhlas.
Bilal menyerukan bacaan: “Fadhlun minallaahi
ta’aala wani’mah.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir:
“Wamaghfiratun warahmah, yaa Tawwaabu yaa Waasi’al Maghfirah, yaa Arhaman
Raahimiin.” Rakaat pertama membaca surat: al-Kafirun. Rakaat kedua membaca
surat: al-Ikhlas.
9) Bilal menyerukan bacaan: “Khaliifatu
Rasuulillaahi Sayyidunaa ‘Utsmaanubnu al-‘Affaan, taraadhdhau ‘anhu.” Dan para
jamaah menjawab dengan seruan dzikir: “Radhiyallaahu ‘anhu, wanafa’anaa bihii
fiddiini waddunyaa wal aakhirah.” Rakaat pertama membaca surat: an-Nashr.
Rakaat kedua membaca surat: al-Ikhlas.
10) Bilal menyerukan bacaan: “Aakhiru at-Taraawiihi
aajarakumullah.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir: “Laa Ilaaha
illallaahu Muhammadun Rasulullaahi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Bilal
menyerukan bacaan: “Khaliifatu Rasuulillaahi Sayyidunaa ‘Aliyyubnu Abii
Thaalib, taraadhdhau ‘anhu.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir:
“Radhiyallaahu ‘anhu, wanafa’anaa bihii fiddiini waddunyaa wal aakhirah.”
Rakaat pertama membaca surat: al-Lahab. Rakaat kedua membaca surat: al-Ikhlas.
Pada malam Nishfu al-Akhir yakni malam ke-16 sampai
akhir shalat Tarawih, bacaan suratnya diganti dengan:
1) Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: at-Takatsur.
2) Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: al-‘Ashr.
3) Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: al-Humazah.
4) Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: al-Fiil.
5) Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: al-Quraisy.
6) Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: al-Ma’un.
7) Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: al-Kautsar.
Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: al-Kafirun.
9) Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: an-Nashr.
10) Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: al-Lahab.
Teknis pelaksanaan shalat sunnah Witir adalah
sebagai berikut:
1) Bilal menyerukan bacaan: “Sholluu sunnatan minal
Witri rak’ataini aajarakumullah.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan
dzikir: “Laa Ilaaha illallaahu Muhammadun Rasulullaahi shallallahu ‘alaihi
wasallam.” Kemudian berdiri mengerjakan shalat Witir berjamaah. Lafadz niat
shalat Witir untuk 2 rakaat pertama yaitu: “Ushollii sunnatan minal Witri
rak’ataini imaaman/ma’muuman lillaahi ta’ala.” Artinya: “Aku niat shalat sunnah
2 rakaat sebagian dari Witir menjadi imam/ma’mum karena Allah ta’ala.” Rakaat
pertama membaca surat: al-A’la. Rakaat kedua membaca surat: al-Kafirun.
2) Untuk satu rakaat penutup shalat Witir, Bilal
menyerukan bacaan: “Autiruu wamajjiduu wa’adzdzimuu syahroshshiyaami
aajarakumullah.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir: “Laa Ilaaha
illallaahu Muhammadun Rasulullaahi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Kemudian
berdiri mengerjakan shalat Witir berjamaah. Lafadz niat shalat Witir untuk 2
rakaat pertama yaitu: “Ushollii sunnata al-Witri rak’atan imaaman/ma’muuman
lillaahi ta’ala.” Artinya: “Aku niat shalat sunnah Witir satu rakaat menjadi
imam/ma’mum karena Allah ta’ala.” Rakaat ketiga ini membaca surat: al-Ikhlas,
al-falaq dan an-Nas.
Apabila telah selesai shalat Witir, setelah salam
dibacakan dzikir-dzikir sebagai berikut:
1) Membaca dzikir secara berjamaah:
Subhaanal-Malikl-Quddus. 3X Subhaanal-Malikial-Ma’buud, Subhaana l-Malikil
Maujuud, Subhaanal-Malikil Hayyi Laa Yamuutu Walaa Yafuutu Abadan. Subbuuhun
Quddusun Rabbunaa waRabbul Malaaikati warRuuh. Subhaanallaahi Walhamdu Lillaahi
Walaa Ilaaha Illallahu Wallaahu Akbar. Walaa Haula Walaa Quwwata illaa
Billaahil ‘Aliyyil ‘Adziim.
2) Kemudian untuk menambah kesempurnaan ibadah,
selanjutnya dibacakan istigfar dan tahlil secara berjamaah sebagai berikut:
Astaghfirullahal-‘Adziim. 3X Afdhaludzdzikri Fa’lam Annahuu Laa Ilaaha
Illallaah. 3X Laa Ilaaha Illallaah. 25/50 X Laa Ilaaha Illallaahu
MuhammadurRasuulullaahi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, Kalimatu Haqqin ‘Alaihaa
Nahyaa Wa’alaihaa Namuutu Wa’alaihaa Nub’atsu Insya Allaahu Ta’aala Minal
Aaminiina Birahmatillaahi Wakaramihi. Innallaaha Wamalaaikatahuu Yushalluuna
‘AlanNabiyyi Yaa Ayyuhalladziina Aamanuu Shalluu ‘Alaihii Wasallimuu Tasliiman.
3) Kemudian membaca doa Witir:
Astaghfirullahal-‘Adziim (3X). Bismillaahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillahi
Rabbil ‘Aalamiin. Hamdan Yuwaafii Ni’amahuu Wayukaafi-u Maziidah. Yaa Rabbanaa
Lakal Hamdu Kamaa Yanbaghii Lijalaali Wajhika Wa’adziimi Sulthaanik. Allaahumma
Shalli Wasallim ‘Alaa Sayyidinaa Muhammadin Wa’alaa Aalihi Washahbihii
Ajma’iin. Allaahumma Innaa Nas-aluka Iimaanan Daaiman, Wanas-aluka Qalban
Khaasyi’an, Wanas-aluka Yaqiinan Shaadiqan, Wanas-aluka ‘Amalan Shaalihan,
Wanas-aluka Diinan Qayyiman, Wanas-alukal-‘Afwa Wal-‘Aafiyah, Wanas-aluka
Tamaamal-‘Aafiyah, Wanas-alukasySyukra ‘Alal-‘Aafiyah, Wanas-alukal-Ghinaa
‘Aninnaas. Allaahuma Innaa Nas-aluka Ridhaaka wal-Jannah, Wana’uudzu Bika Min
Sakhathika Wannaar (3X). Allaahumma Innaka ‘Afuwwun Kariim, Tuhibbul-‘Afwa
Fa’fu ‘Annaa (3X) Yaa Kariim. Allaahumma Rabbanaa Taqabbal Minnaa Shalaatanaa
Washiyaamanaa, Waqiyaamanaa, Watakhasysyu’anaa, Watadharru’anaa,
Wata’abbudanaa, Watammim Taqshiiranaa Yaa Allaahu, Yaa Allaahu, Yaa Allaahu Yaa
ArhamarRaahimiin. Washallallaahu ‘Alaa Sayyidinaa Muhammadin Wa’alaa Aailihii
Washahbihii Wasallam. Walhamdu Lillaahi Rabbil ‘Aalamiin.
Pada setiap 4 rakaat (2 salam) melakukan istirahat,
penduduk Makkah pada setiap selesai 4 rakaat tersebut, mereka melakukan Tawaf
di Ka’bah. Adapun kita (bukan penduduk Makkah) pada setiap selesai 2 rakaat,
dianjurkan membaca sholawat kepada Nabi, dzikir-dzikir dan membaca taraddhi
(Radhiyallaahu ‘anhu) kepada sahabat Nabi.
Sedangkan setiap selesai 4 rakaat (2 salam)
diiringi dengan pembacaan sholawat-sholawat dan doa-doa. Walaupun tergolong
perbuatan bid’ah, tetapi bid’ah hasanah (baik) yang mana kita akan diberikan
pahala bila mengerjakannya. Hal ini telah dilakukan dan diajarkan oleh para
ulama dan Habaib (keturunan Rasulullah) kepada kita.
Al-Habib Abdurrahman ibn Muhammad ibn Husain ibn
Umar al-Masyhur menjelaskan dalam kitabnya Bughyah al-Mustarsyidin halaman 36:
“Adapun pembacaan taraddhi (Radhiyallahu ‘anhu) kepada sahabat itu tidak ada
keterangan yang datang secara khusus pada masalah ini (adzan) seperti juga
dilakukan pada salam-salam shalat Tarawih. Pembacaan taraddhi dikatakan bid’ah
manakala seseorang mengerjakannya dengan maksud mengatakan itu adalah sunnah
pada tempat itu secara khusus. Tetapi tidak disebut bid’ah, jika seseorang mengerjakannya
dengan tujuan itu adalah sunnah secara umum karena ada ijma’ kaum muslimin yang
menganjurkan untuk membacakan taraddhi kepada mereka. Mungkin hikmah dari
pembacaan taraddhi kepada para sahabat, ulama dan orang shalih hal itu
merupakan sanjungan atas ketinggian derajat mereka dan juga sebagai peringatan
yang menunjukan besarnya kedudukan mereka.”
Hindari kesalahan fatal yang sering dilakukan
banyak orang pada saat mengerjakan shalat Tarawih, semisal tidak melakukan
thuma’ninah pada saat ruku’, i’tidal, sujud dan sebagainya atau melakukan
hal-hal yang dapat membatalkan shalat dan meninggalkan salah satu kefardhuan
shalat. Kesalahan ini wajib dicegah, dengan memberitahu dan membenarkan
kesalahan-kesalahan tersebut.
Shalat Tarawih dilaksanakan dengan thuma’ninah.
Maksud dari thuma’ninah adalah diam sebentar sebagai pemisah antara bangun dan
turun pada waktu ruku’, i’tidal, sujud dan duduk antara dua sujud. Hindari
ruku’, i’tidal, sujud yang terlalu cepat (kurang dari batas thuma’ninah)
sebagaimana banyak dilakukan orang. Saat i’tidal kedua tangan mereka masih
berayun-ayun, belum thuma’ninah mereka langsung sujud. Begitu juga dengan
sujud, belum thuma’ninah mereka sudah mengangkat kepala mereka.
Batasan thuma’ninah seperti yang dikatakan oleh
Syeikh Sulaiman Jamal dalam kitab Hasyiyah Futuhat al-Wahhab ‘ala Fath
al-Wahhab juz 1 halaman 433 adalah, diamnya anggota badan mushalli (orang yang
shalat) sekira antara rukun yang satu dengan rukun berikutnya ada diam sebentar
sebagai pemisah seukuran orang mengucapkan “Subhaanallaah.”
Al-Habib Abdullah ibn Alwiy al-Haddad memberikan
nasehat kepada kita dalam kitab an-Nashaih ad-Diniyyah wa al-Washaya
al-Imaniyyah halaman 38: ”Hindarilah pelaksanaan shalat dengan amat cepat
seperti yang biasa dilakukan orang bodoh dalam melakukan shalat Tarawih, yang
karena sangat cepatnya mungkin mereka melewatkan sebagian rukun, seperti
meninggalkan thuma’ninah pada saat ruku’ dan sujud atau membaca al-Fatihah
tidak dengan sebenarnya karena tergesagesa, sehingga shalat salah seorang
diantara mereka tidak dinilai oleh Allah sebagai shalat yang berpahala, tetapi
tidak dianggap meninggalkan shalat. Orang tersebut menutup shalat dengan salam
berbangga (karena shalatnya cepat). Hal itu dan sejenisnya termasuk salah satu
tipu daya syaithon yang paling besar kepada orang-orang beriman untuk merusak
amal ibadah yang ia kerjakan. Karena itu, berhati-hatilah dan waspadalah wahai
saudara-saudaraku. Apabila kalian melakukan shalat Tarawih dan shalat lain maka
sempurnakanlah berdirinya, bacaan fatihahnya, ruku’nya, sujudnya, khusyu’nya,
hudhurnya, rukun-rukunnya dan adab-adabnya. Jangan kalian menjadikan syaithon
sebagai penguasa diri kalian, karena syaithon tidak mampu menguasai orang-orang
beriman yang bertawakkal kepada Allah. Maka beradalah dalam kelompok mereka,
karena syaithon itu hanya mampu menguasai orang-orang yang berpaling dari Allah
dan menyekutukan Allah. Jangan kalian termasuk kelompok ini.”
Kesalahan bacaan ayat-ayat atau makhraj huruf-huruf
al-Quran yang dilakukan oleh para imam dalam shalat Tarawih, juga kerap terjadi
dan wajib ditanggulangi dengan memberitahukan dan mengajari bacaan/makhraj
huruf yang benar. Sebaiknya dalam memberitahu dan mengajarkan orang yang salah
bacaan/makhrajnya itu dilakukan dengan cara yang baik, santun dan jangan
langsung menyalahkan. Karena tujuan yang baik bila cara penyampainnya kurang
baik maka tidak akan berakibat baik. Sebaliknya pihak yang diberitahu jangan
merasa tersinggung atau marah.
D. MENYINGKAP BENCANA
Bagi yang mengamalkan hadits Witir dalam shalat
Tarawih. Di sini kita akan mengungkap kesalahan kelompok orang yang mengamalkan
shalat Tarawih dengan menggunakan dalil hadits shalat Witir. Mereka beralasan
dengan hadits Siti Aisyah yang menurut mereka telah memberikan sinyal bahwa shalat
Tarawih hanya 11 rakaat, dengan cara 4 rakaat sekali salam, 4 rakaat sekali
salam dan ditambah 3 rakaat.
Hadits Siti ‘Aisyah riwayat Imam Bukhâriy dan Imam
Muslim (Selain diriwayatkan keduanya, hadits ini juga diriwayatkan oleh banyak
elite ulama hadis, diantaranya:
• Imam Mâlik dalam al-Muwattha’ hadits no. 243
• Imam Abu Daud hadits no. 1143
• Imam at-Tirmidzi hadits no. 403
• Imam an-Nasâi hadits no. 1679
• Imam Ahmad Ibn Hanbal dalam kitab Musnadnya
hadits no. 22944
• Imam Abdurrazzaq dalam kitab Mushannafnya hadits
no. 4711
• Imam Abu Awânah dalam kitab Mustakhrajnya hadits
no. 2453
• Imam Ibn Khuzaimah dalam kitab Shahihnya hadits
no. 1104
• Imam Ibn Hibbân dalam kitab Shahihnya hadits no.
2665
• Imam al-Baihaqi dalam kitab as-Sunan al-Kubrâ dan
Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsâr
• Imam ath-Thahâwiy dalam kitab Musykil al-Atsâr
hadits no. 2915
• Imam Abu Ishâq Râhûyah dalam kitab Musnadnya
hadits no. 1003
• Imam Ibn Mundzir dalam kitab al-Aushath hadits
no. 3535.
“Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam
(sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat.
Beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya.
Kemudian beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan
panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. Kemudian aku bertanya: “Ya
Rasulullah apakah Engkau tidur sebelum shalat Witir?” Kemudian beliau menjawab:
“Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku tidaklah tidur.”
Para Fuqaha dan Muhadditsin sepakat bahwa hadits
Siti Aisyah di atas merupakan hadits yang menyatakan dalil shalat Witir, bukan
dalil shalat Tarawih. Apabila hadits Aisyah di atas sebagai dalil shalat
Tarawih, maka kita pantas mempertanyakan adakah shalat Tarawih selain di bulan
Ramadhan?
Para ulama sepakat bahwa pelaksanaan shalat Tarawih
itu tiap 2 rakaat salam. Sedangkan dalam pelaksanaan shalat Witir ada 3
kaifiyat:
1) Boleh dilakukan dengan cara fashl (memisahkan)
yakni salam pada tiap 2 rakaat kemudian ditutup dengan satu rakaat.
2) Boleh juga dikerjakan dengan cara washal
(menyambungkan) yakni dengan cara disambung tanpa salam dan tasyahhud kecuali
pada rakaat kedua terakhir sebelum satu rakaat penutup.
3) Atau disambung tanpa salam dan tasyahud kecuali
pada rakaat terakhir saja.
Bagi orang yang mengerjakan shalat Witir 3 rakaat,
maka yang paling afdhal adalah dengan cara 2 kali salam, dua rakaat salam
kemudian ditutup dengan satu rakaat salam.
Imam Abdul Karim ar-Rafi’i (w. 624 H) mengatakan
dalam kitab al-Muharrar fi Fiqh Imam asy-Syafi’iy halaman 48: “Apabila
seseorang mengerjakan shalat Witir lebih dari satu rakaat, 3 rakaat umpamanya,
maka boleh ia kerjakan secara terpisah dengan 2 salam atau 3 rakaat satu salam,
tetapi fashl lebih afdhal.”
Dari perkataan Siti Aisyah: “Pada bulan Ramadhan
dan di selain Ramadhan”, jadi apabila kita baca hadits Siti Aisyah secara utuh,
maka konteks hadits itu berbicara tentang sahalat Witir bukan shalat Tarawih.
Indikasi lain dari hadits Siti ‘Aisyah, yang
menunjukkan shalat itu adalah shalat Witir dilihat dari perkataan Siti ‘Aisyah:
“Ya Rasulullah apakah Engkau tidur dahulu sebelum mengerjakan shalat Witir?”
Imam Abu Zakariya Yahya ibn Syarf an-Nawawi
ad-Dimasyqiy dalam kitab Syarh Shahih Muslim juz 6 halaman 15 juga mencantumkam
hadits Siti ‘Aisyah ini dalam pembahasan shalat malam dan Witir, bukan dalam
pembahasan shalat Tarawih.
Imam Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqallaniy dalam
kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari juz 3 halaman 343 menyebutkan bahwa
konteks hadits Siti Aisyah adalah untuk shalat Witir: “Dalam hadits Siti Aisyah
menjadi dalil sesungguhnya shalat Rasulullah dalam sepanjang tahun itu sama.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa tidur sebelum melakukan shalat Witir itu
hukumnya makruh, karena pertanyaan Siti ‘Aisyah kepada Rasulullah tentang
shalat Witir.” Imam Ibn Hajar al-Asqallâniy tidak berkata: “Tidur sebelum
shalat Tarawih itu Makruh.”
Syaikh Khalîl Ibn Ahmad al-Sahâranfûriy dalam kitab
al-Badzl al-Majhûd fi Halli Abi Daûd juz 7 halaman 105 mengatakan sebagai
berikut: “Sesungguhnya hadits ini (Siti ‘Aisyah) tidak memiliki hubungan dengan
shalat Tarawih baik secara pengingkaran maupun penetapan seakan-akan itu shalat
yang lain. Menjadikan hadits di atas sebagai dalil shalat Tarawih dengan 8
rakaat merupakan kesia-siaan (batil). Begitulah yang telah dicatatkan oleh
Syaikh Muhammad Yahya al-Marhum dari statemen maha gurunya.”
Musnid ad-Dunyâ ‘Alamuddin (bendera Agama) Syaikh
Muhammad Yâsîn ibn Muhammad Isâ al-Fâdâniy telah memberikan komentar hadits
riwatat Siti ‘Aisyah tersebut dalam kitab al-Fawâid al-Janiyyah Hasyiyah
Mawâhib as-Saniyyah halaman 496, beliau berkata: “Paling minim jumlah rakaat
shalat Witir adalah satu rakaat, apabila lebih dari satu rakaat, yakni dengan
3,5,7,9 rakaat, maka termasuk jumlah rakaat akmal (sempurna) tetapi yang afdhalul
kamal (paling utama) adalah 11 rakaat karena keterangan hadits Siti Aisyah
tersebut.”
Imam al-Bukhâri menyebutkan hadits Siti ‘Aisyah
tersebut pada 3 tempat dalam kitab Shahihnya, yaitu no. 1079 pada bab
Qiyamullail fi Ramadhan wa Ghairihi, no. 1874 pada bab Fadhl Man Qama Ramadhan,
no. 3304 pada bab Kana an-Nabiy Tanamu ‘Ainuh Wala Yanamu Qalbuh.
Imam Muslim memasukkannya dalam kitab Shahihnya,
pada bab Shalat Lail hadits no. 1219. Imam Malik dalam kitab al-Muwattâ hadits
no. 243 pada bab perintah shalat Witir.
Imam Zakariyya al-Anshâriy menyebutkannya dalam
kitab-kitab beliau seperti al-Ghurar al-Bahiyyah Syarh Bahjah al-Wardiyyah,
Fath al-‘Allâm Syarh Ahâdits al-‘Alâm, Tuhfah al-Bâri Syarh Shahih al Bukhari
dan Asnâ al-Mathâlib Syarh Raudhat ath-Tâlib pada bab shalat Witir.
Imam as-Suyûtiy dalam Tanwîr al-Hawâlik pada bab
shalat Witir. Syaikh Zakariyya al-Kandahlawiy dalam kitab Aujaz al-Masâlik pada
bab shalat Tahajjud, Imam Ahmad az-Zabidiy dalam kitab at-Tajrid ash-Sharih
Mukhtashar al-Jami’ ash-Shahih dalam bab shalat Tahajjud.
Imam Ibn Hajar al-Haitamiy dalam kitab Tuhfah
al-Muhtâj pada bab shalat Witir. Imam Muhammad ar-Ramliy dalam kitab Nihayah
al-Muhtâj dan Ghayah al-Bayân pada bab shalat Witir. Imam Abubakr Syatâ dalam
I’ânah ath-Tâlibin pada bab shalat Witir.
Ibn Qudâmah al-Hanbaliy dalam kitab al-Mughniy pada
bab shalat Tahajjud. Imam Abu Ja’far ath-Tahâwiy dalam kitab Syarh Ma’ani
al-Atsar pada bab shalat Witir dan Imam Ali Ibn Sulthan Muhammad al-Qâriy dalam
kitab Jam’ al-Wasâil fi Syarh asy-Syamâil pada bab Witir.
Ada sebagian orang beranggapan, bahwa yang
diamalkan oleh mayoritas ulama dari zaman Sayidina Umar Ibn Khatthab sampai
sekarang, yaitu shalat Tarawih 20 rakaat ditambah shalat Witir 3 rakaat itu
merupakan hasil ijtihad Umar ibn Khatthab. Dengan demikian muncul pertanyaan:
“Lebih afdhal mana antara mengamalkan 20 rakaat, hasil ijtihad Umar Ibn
Khatthab dengan langsung mengamalkan tuntunan Nabi dengan 8 rakaat?”
Pertanyaan di atas, selalu menjadi senjata sakti
dan ampuh bagi orang yang mengerjakan shalat Tarawih 11 rakaat, untuk menggebuk
shalat Tarawih 20 rakaat. Pertanyaan tersebut, merupakan pertanyaan yang
sebenarnya tidak membutuhkan jawaban. Karena pertanyaan tersebut adalah
pertanyaan bodoh dan tidak nyambung dengan apa yang telah para ulama jelaskan.
Sudah kita ketahui bersama bahwa ittiba’ (ikut)
kepada Rasulullah, jelas lebih afdhol dari mengikuti ajaran siapapun. Tetapi,
kita perlu mempertanyakan kembali: “Apakah benar, shalat 11 rakaat dalam hadits
‘Aisyah itu, adalah shalat Tarawih Rasulullah, sedangkan istilah shalat Tarawih
belum ada pada masa Rasulullah?”
Kalau memang hadits Siti Aisyah di atas menjelaskan
praktek shalat Tarawih Rasulullah, mengapa Siti ‘Aisyah diam saja, tidak protes
waktu para sahabat di zaman Sayidina Umar mengerjakan shalat Tarawih dengan 20
rakaat? Bukankah Siti ‘Aisyah yang meriwayatkan hadits shalat malam Rasulullah
tidak lebih dari 11 rakaat baik di bulan Ramadhan dan bulan lainnya.
Apabila yang dilakukan para sahabat menyalahi
praktek shalat Tarawih Rasulullah, mengapa para sahabat semuanya diam. Bahkan
jumlah rakaat shalat Tarawih di zaman Sayidina Utsman Ibn Affan dan Sayidina
Ali Ibn Abi Thalib pun 20 rakaat. Padahal ketika Sayidina Umar Ibn Khatthab mau
membatasi besarnya mahar saja, beliau diprotes oleh seorang wanita karena hal
itu bertentangan dengan al-Qur’an.
Kalau 11 rakaat merupakan shalat Tarawih
Rasulullah, tentunya rakaat tersebut telah dikerjakan dan dilanggengkan oleh
para sahabat, para tabi’in dan para Salafus Shalih dan juga dapat berusia panjang
serta paling dahulu dilakukan para ulama di Masjidil Haram, Makkah
al-Mukarramah, Masjid Nabawi, Madinah al-Munawwarah, masjid al-Aqsha dan
masjid-masjid besar di dunia sampai sekarang.
Bandingkan misalnya pada masa Marwan ibn al-Hakam
dari dinasti Bani Umayyah, jauh setelah masa Sayidina Umar ibn Khatthab, Marwan
pernah mengubah tatanan Shalat ’Id (hari raya). Berdasarkan tuntunan
Rasulullah, shalat ‘Id itu dikerjakan sebelum khutbah, berbeda dengan shalat
Jum’at, yang mendahulukan khutbah baru kemudian shalat. Pada masa Marwan,
apabila shalat ‘Id itu shalat didahulukan baru kemudian khutbah, maka banyak
jamaah yang bubar tidak mau mendengarkan khutbah.
Karenanya, agar orang-orang itu mau mendengarkan
khutbah, Marwan mengubah tatanan shalat ‘Id menjadi khutbah terlebih dahulu
kemudian shalat. Apa yang terjadi kemudian? Marwan diprotes habis-habisan oleh
banyak orang. ”Wahai Marwan, kamu menentang sunah Rasulullah.” (Lihat dalam
kitabnya Abu Daud as-Sijistaniy, Sunan Abi Daud hadis no. 963)
Mereka keliru dalam mengikuti sunnah Nabi.
Bagaimana tidak keliru? dalil yang menyatakan shalat Witir Rasulullah mereka
amalkan dalam pelaksanaan shalat Tarawih. Mungkin ini yang dinamakan shalat
Tarawih blasteran, lantaran mereka mencoba mengawinkan dalil shalat Witir
dengan shalat Tarawih.
Permasalahan ini kemudian menjadi bertambah kusut,
disebabkan salah prosedur dari awal dalam memahami konteks hadits. Pada
akhirnya, terjadi kesalahan estafet yakni kesalahan selanjutnya dating
diakibatkan oleh kesalahan pertama. Hanya orang-orang yang telah diselimuti
kebodohan, yang mengatakan hadits ‘Aisyah di atas sebagai dalil shalat Tarawih.
Banyak orang yang mengajarkan ilmu agama, yang
sebenarnya mereka harus banyak belajar terlebih dahulu. Ayat al-Qur’an dan
hadits Rasulullah mana yang menjadi pijakan mereka. Dalam ketidaktahuan, mereka
telah membunuh ilmu dengan kejahilan. Mereka ingin menjadi pioneer, ingin
memandu dan menjadi lokomotif yang membawa umat, tetapi justru menyeret umat ke
jurang kesesatan. Naudzubillah.
Ini merupakan suatu fenomena yang bukan hanya telah
berkembang tetapi sudah menjalar sehingga sulit dibedakan secara jelas. Mereka
tampil dalam wajah serta penampilan yang sama dengan para ulama dan dalam
kelenturan kata yang sama, berbicara tentang ayat dan hadits. Tak ubahnya
mereka bagaikan lebah dan kumbang. Hanya saja, lebah sekalipun sengatannya
menyakitkan, tetapi madunya sangat banyak dimanfaatkan. Sungguh sangat beda
halnya dengan kumbang yang hanya bisa membuat lubang-lubang di tiang hingga
menimbulkan kerusakan.
Kalau mereka konsisten dengan hadits Siti ‘Aisyah
di atas. Maka shalat 11 rakaat dengan berjamaah, juga harus mereka kerjakan di
luar bulan Ramadhan sepanjang malam. Sebagaimana mereka kerjakan pada
malam-malam bulan Ramadhan secara berjamaah. Kenyataannya tidak. Tidak pernah
terlihat dan terdengar ada mushalla-mushalla atau masjid-masjid di luar bulan
Ramadhan yang mengerjakan shalat 11 rakaat.
Hadits Siti ‘Aisyah 11 rakaat selalu mereka sebut
pada bulan Ramadhan saja. Di luar bulan Ramadhan hadits itu tidak pernah mereka
sebut-sebut. Lagi pula, Rasulullah melakukan shalat malam sepanjang tahun, baik
di bulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan tidak terbatas hanya 11
rakaat. Bahkan dalam banyak riwayat hadits shahih, kita akan temukan bagaimana
panjang dan lamanya shalat malam yang beliau kerjakan. Salah satunya hadits
yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâriy dalam kitab Shahihnya dari Siti ‘Aisyah
menyebutkan karena banyak dan lama shalat yang beliau kerjakan sampai-sampai
kaki beliau pecah-pecah dan bengkak.
“Dari Aisyah berkata: “Sesungguhnya Nabi seringkali
melakukan shalat qiyamullail sampai 2 tumit beliau pecah-pecah”. Aisyah
bertanya: “Ya Rasulullah mengapa Engkau melakukan ibadah seperti itu bukankah
engkau telah diampuni dari segala dosa?” Beliau menjawab: “Tidakkah diriku
senang untuk menjadi hamba yang bersyukur.”
Keterangan demikian juga disebutkan oleh Syaikh
Muhammad ibn Said al-Bushiriy, seorang ulama besar yang hidup di kalangan para
penyair dan juga seorang penyair tekenal yang hidup di kalangan para ulama.
Beliau mengatakan dalam Qashidah al-Burdah al-Madîh yang terkenal itu: “Aku
mendzalimi ajaran seorang yang semalam suntuk melakukan shalat sunah (maksudnya
Rasulullah) sehingga kedua kaki beliau terasa sakit karena bengkak.”
Betapa batilnya tuduhan-tuduhan orang yang tidak
menyetujui shalat Tarawih 20 rakaat dengan menggunakan dalil, satu hadits Siti
‘Aisyah yang menerangkan satu paket shalat Witir, mereka pecah menjadi dua
dalil sekaligus, 8 rakaat untuk shalat Tarawih dan 3 rakaat untuk shalat Witir.
Bagi mereka yang mengatakan hadits Siti ‘Aisyah (4,4,3) sebagai dalil shalat
Tarawih adalah pendapat orang yang ilmunya masih cetek. Laksana buah masih
pentil belum matang, jadi masih sepet dan rada-rada getir.
Mereka hanya melihat dzahir satu hadits saja, tanpa
mempertimbangkan hadits-hadits lain untuk dikompromikan dan direkonsiliasikan
yang dalam istilah para pakar ulama hadis disebut “al-Jam’u wa at-Taufiq”.
Mereka juga mengabaikan penjelasan para ulama.
Sebuah kesalahan fatal, apabila mencoba memahami
al-Qur’an dan hadits secara langsung tanpa mengerti pandangan dari para ulama
terlebih dahulu. Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab, Syaikh Abdurrahman
as-Sa’adiy, Syaikh Abdul Azîz Ibn Abdullah Ibn Bâz, Syaikh Muhammad Ibn Shalih
‘Utsaimin, Syaikh Nur Ali ad-Darab, Syaikh Abdullah Ibn Qaud, Syaikh Abdullah
Bassam, Syaikh Saîd Ibn Ali al-Qahtâniy.
Mereka adalah para pentolan ulama Wahhabi, mereka
sepakat mengatakan bahwa: “Shalat Tarawih itu dilaksanakan dengan cara 2 rakaat,
2 rakaat.” Lihatlah kitab Muallafat Syaikh Ibn Abdil Wahhab juz 2 halaman 19,
Fatawa Syaikh Abdurrahman as-Sa’diy halaman 175, Kitab Syaikh Muhammad Utsaimin
Syarh Shahih al-Bukhariy juz 4 halaman 238 dan Syarh Riyadhus Shalihin juz 3
halaman 265, karya Syaikh Saîd ibn Ali al-Qahtâniy Kitab Shalatul Mu’min juz 1
halaman 347.
Begitu juga pendapat Syaikh Abdul Hamid Kisyik,
Syaikh Muhammad Syaltut, Sayyid Ali Fikri, Sayyid Sabiq dan ulama lainnya
mereka sepakat bahwa shalat Tarawih itu dilakukan dengan salam pada setiap 2
rakaat.
Menurut para ulama, shalat Tarawih dengan formasi 4
rakaat sekali salam itu menyalahi prosedur perkataan dan perbuatan Nabi
sebagaimana riwayat hadis Imam al-Bukhari dari sahabat Nabi, Abdullah ibn Umar:
“Sesungguhnya seorang lelaki bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana cara shalat
malam?” Rasulullah menjawab: “Shalat malam itu 2 rakaat, 2 rakaat. Maka apabila
engkau khawatir subuh maka shalat Witirlah engkau dengan satu rakaat.”
Lantas, Kenapa muncul pendapat yang mengatakan bahwa
shalat Tarawih cara shalatnya adalah dengan 4 rakaat, 4 rakaat.? Wahabi jilid
berapa mereka?
Mungkin pendapat seperti itu berpangkal pada
khayalan mereka saja. Padahal tidak ada satu pendapat ulamapun dalam
kitab-kitab mu’tabarah yang mengatakan Shalat Tarawih dikerjakan dengan cara 4
rakaat sekali salam, 4 rakaat sekali salam. Mereka telah menetapkan sesuatu
tanpa ada dalil. Maka yang memfatwakan atau mengajarkan shalat Tarawih
dilaksanakan dengan cara 4 rakaat sekali salam, merekalah yang bertanggung jawab
atas hal ini.
Banyak orang terkecoh dan terjebak dalam memahami
penjelasan Imam Muhammad ash-Shan’âniy dalam kitab Subul as-Salâm Syarh Bulûgh
al-Marâm, sehingga mereka mengatakan tata cara shalat Tarawih dengan 4 rakaat
sekali salam disebutkan dalam kitab itu.
Untuk menjawab tuduhan itu, mari kita lihat secara
langsung redaksi Imam Muhammad ash-Shan’âniy juz 2 halaman 27, sebagai berikut:
“Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan
Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Kemudian Siti ‘Aisyah
merincikan shalat Rasulullah dengan perkataannya: “Beliau shalat 4 rakaat.”
Redaksi ini memiliki kemungkinan 4 rakaat dilakukan sekaligus dengan 1 salam,
ini adalah yang dzahir, dan juga bisa dipahami 4 rakaat itu dilakukan secara
terpisah (2 rakaat, 2 rakaat), tetapi pemahaman ini jauh hanya saja ia sesuai
dengan hadits shalat malam itu dilakukan dengan 2 rakaat, 2 rakaat.”
Maksud perkataan Imam Muhammad ash-Shan’âniy: “4
rakaat dilakukan dengan sekali salam”, dipahami menurut dzahir/tekstual hadits.
Sedangkan pelaksanaan 4 rakaat dengan 2 salam menjadi jauh bila tidak ada
keterangan dari hadits lain. Tetapi 4 rakaat dengan cara 2 salam memiliki
kekuatan dengan adanya keterangan hadits shalat malam itu dilakukan dengan 2
rakaat, 2 rakaat.
Dalam hal ini Imam asy-Syafi’i mengatakan dalam
kitab ar-Risâlah halaman 148 sebagai berikut: “Setiap perkataan Rasulullah
dalam hadits yang bersifat umum/dzahir diberlakukan kepada arti dzahir dan
umumnya sehingga diketahui ada hadits lain yang tetap dari Rasulullah.”
Maksud dari perkataan Imam asy-Syafi’i adalah
redaksi hadits yang masih bersifat umum/dzahir, boleh-boleh saja dipahami
demikian adanya, dengan catatan selama tidak ada keterangan lain dari hadits
Rasulullah. Tetapi bila ditemukan hadits Rasulullah yang menjelaskan redaksi
dzahir dan umum satu hadits, maka hadits tersebut tidak boleh lagi dipahami
secara dzahir dan umum.
Jika hendak dipertentangkan, hadits tentang shalat
yang dikerjakan 2-2 lebih kuat dan lebih banyak diamalkan oleh umat sebab ia
merupakan hadits qauliy (perkataan Nabi) dalam riwayat lain dikatakan juga
sebagai hadits fi’liy (perbuatan Nabi), sedangkan hadits Siti ‘Aisyah 4-4 hanya
merupakan hadits fi’liy (perbuatan Nabi). Ketika terjadi perbedaan antara perkataan
Nabi dengan perbuatannya maka yang harus dilakukan umatnya adalah mengamalkan
apa yang diperintahkannya (perkataannya), sebabnya adalah lantaran perbuatan
Nabi bisa jadi merupakan kekhususan bagi beliau yang tidak berlaku bagi
umatnya.
Contohnya adalah tentang kandungan surat an-Nisa
ayat 3 sebagai perintah Nabi kepada para sahabat dan umatnya agar tidak
memiliki istri lebih dari 4 orang. Padahal beliau sendiri di akhir hayatnya
meninggalkan 9 orang istri. Dalam hal ini yang berlaku adalah kita tetap tidak
boleh memiliki istri lebih dari 4. Sementara beristri lebih dari 4 merupakan
kekhususan yang hanya boleh bagi Nabi. Dengan kaidah ini, maka mengerjakan
shalat malam dengan 2-2 rakaat lebih tepat ketimbang mengerjakannya dengan 4-4
rakaat sekali salam, sebab bisa jadi shalat 4-4 rakaat merupakan sesuatu yang
khusus bagi Nabi.
Masih ada cara lain yang paling mudah untuk
memahami hadits Siti Aisyah yakni dengan mencari ucapan ‘Aisyah sendiri pada
lain kesempatan. Kita tentu berhak mempertanyakan kembali apakah yang dimaksud
Siti ‘Aisyah 4 rakaat benar-benar sekali salam? Ternyata Siti ‘Aisyah sendiri
sebagai periwayat hadis 4-4 menjelaskan dalam hadits lain bahwa yang dimaksud
dengan 4 rakaat pelaksanaannya adalah dengan 2-2.
Perhatikanlah penjelasan Siti Aisyah pada hadits
berikut ini: “Dari ‘Aisyah berkata: “Seringkali Rasulullah melakukan shalat
antara selesai shalat Isya yang disebut orang dengan shalat ’Atamah sampai
Fajar beliau mengerjakan shalat 11 rakaat, beliau melakukan salam pada tiap 2 rakaat
dan melakukan 1 rakaat Witir. Apabila seorang muadzzin selesai dari adzan
shalat Shubuh yang menandakan fajar telah datang, muadzzin tersebut mendatangi
beliau, beliau pun melakukan shalat 2 rakaat ringan. Setelah itu beliau
berbaring (rebah-rabahan) di atas lambungnya yang kanan sampai muadzzin itu
mendatangi beliau untuk Iqamah.” (Hadits tersebut disebutkan oleh Imam Muslim
dalam kitab Shahihnya no. 1216, Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak no. 1671, Imam
ad-Darimiy dalam Sunannya no. 1447, Imam al-Baihaqiy dalam as-Sunan ash-Shughra
no. 600, as-Sunan al-Kubra no. 4865 dan Ma’rifah Sunan wa al-Atsar no. 1435).
Menurut ketentuan, jika seseorang telah menjelaskan
maksud dari ucapannya sendiri, maka tidak ada seorang pun berhak memberikan
penafsiran atau pemahaman yang menyalahinya. Nampak jelas, shalat dengan 2-2
rakaat lebih kuat ketimbang 4 rakaat sekali salam. Dengan kata lain shalat 2-2
rakaat terjamin kebenaran dan keabsahannya.
Dari sini dapat dipahami jika ada ulama yang
mengatakan shalat Tarawih dengan 4-4 sekali salam adalah tidak sah. Kalau
shalat Tarawih dengan cara 4 rakaat sekali salam telah menjadi sunnah,
dikerjakan dan dianjurkan oleh para ulama Salafus Shalih, maka kami sangat
berharap kepada siapa saja yang lebih banyak ilmu pengetahuannya untuk
mudzakaroh (berdiskusi) atau menunjukkan dalil kepada kami, kitab apa, juz
berapa dan halaman berapa? Artinya: “Siapa yang mengklaim tidak setuju dengan
pendapat kami, maka hendaknya ia mendatangkan dalil.”
Jika mereka memiliki sifat inshaf mau mengoreksi
diri dan punya jiwa besar serta keikhlasan untuk menerima, cukuplah sudah
keterangan di atas. Semua tergantung keikhlasan menerimanya. Apakah mereka akan
mengakui kesalahan yang selama ini mereka kerjakan, dengan merubah shalat
Tarawih 4 rakaat sekali salam, menjadi 2 rakaat setiap salamnya atau mereka
tetap mempertahankan gengsi (wibawa/prestise) untuk terus-menerus dalam
kesalahan.
Sayidina Umar ibn Khatthab pernah berkata: “Kembali
kepada sesuatu yang benar setelah mengetahui kebenaran tersebut, lebih utama
daripada tekun dalam kebathilan.” (Lihat dalam kitabnya Imam Abu Hayyan
at-Tauhidiy, al-Bashair wa adz-Dzakhair juz 1 halaman 81).
Karenanya Rasulullah bersabda: “Manusia semuanya
celaka kecuali orang yang berilmu. Orang berilmu pun akan celaka kecuali mereka
yang mengamalkan ilmunya. Orang yang mengamalkan ilmu pun akan celaka kecuali
mereka yang ikhlas. Mereka yang ikhlas itu berada dalam pangkat yang besar.”
(Hadits ini kualitasnya diperselisihkan oleh para ulama).
Sudah menjadi pengetahuan yang tak tersembunyi
lagi, bagi siapa saja yang tidak memiliki sifat ikhlas dan Syarhus Shudur
(lapang dada/ legowo), sampai lindung berbulu mereka tidak mau menerima.
Percuma bicara kepada mereka, dalil panjang seperti apapun tetap saja mereka
ingkari. Sebagaimana ungkapan para ulama: “Orang yang ingkar, tidak memberi
manfaat baginya keterangan yang panjang, walaupun dibacakan kepadanya Taurat
dan Injil.” (Lihat dalam kitabnya KH. Muhammad Syafi’i Hadzami, Taudhîh
al-Adillah juz 1 halaman 232).
Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan kepada
kita pemahaman agama yang benar, kesempurnaan ikhlas dan kemantapan yaqin.
Allah jadikan kita semua menjadi orang yang selalu ingin banyak tahu tentang
ilmu bukan menjadi orang yang sok tahu. Sebab dari rasa ingin tahu itulah yang
membuat kita selalu ingin mempelajari sesuatu. Bukan sifat sok tahu yang
membuat kita meremehkan dan tidak mau menerima nasehat/pendapat orang lain.
Kebenaran akan tertutup dan nasehat apapun tidak bermanfaat.
Perhatikan baik-baik nasehat ulama berikut ini:
“Apabila akal seseorang sudah menyimpang dari ilmu, maka apa lagi yang dapat
dikatakan oleh para penasehat (para penasehat tak akan mampu menasehatinya).”
(Lihat dalam kitabnya Al-Imam Muhammad ibn Saîd al-Bûshiriy, Dîwân al-Bûshiriy
halaman 19 dan dalam kitabnya al-Habib Alwi ibn Ahmad al-Haddâd, Syarh Râtib
al-Haddâd halaman 251).
Ya Allah, Janganlah Kau jadikan musibah dalam
perkara agama kami. Janganlah Kau jadikan dunia sebagai hal terbesar yang kami
inginkan dan puncak terakhir bagi pengetahuan kami.
E. NIAT PUASA RAMADHAN
Wajib bagi seseorang yang akan berpuasa Ramadhan,
untuk melakukan niat puasa pada setiap malam hari antara ghurub (terbenam
matahari) hingga terbit fajar. Meskipun setelah ia berniat lalu terjadi sesuatu
yang membatalkan puasa di malam hari sampai sebelum fajar, itu tidak apa-apa
sebab puasa itu dikerjakan dari terbit fajar sampai Maghrib. Pada saat berniat
puasa seseorang dituntut menentukan puasa yang hendak ia kerjakan.
Menurut pendapat yang mu’tamad dalam madzhab
Syafi’i, bila seseorang pada malam pertama berniat puasa Ramadhan untuk sebulan
penuh, maka ia tidak mendapat dari niat itu melainkan hari pertama saja,
lantaran ibadah puasa pada hari-hari bulan Ramadhan, merupakan ibadah yang
mustaqillah (independen) tidak cukup bila dilakukan dengan niat borongan untuk
sebulan penuh, ia wajib untuk memperbaharui niat itu setiap hari.
Berbeda dengan pendapat madzhab Imam Malik, yang
berpandangan tidak disyaratkan niat puasa setiap hari, cukup dengan sekali niat
saja dalam melaksanakan puasa Ramadhan sebulan penuh. Sedangkan menurut madzhab
Imam Abi Hanifah niat hukumnya wajib dilakukan setiap hari setelah matahari
terbenam hingga sebelum tengah siang. Jadi, seseorang boleh berniat puasa
Ramadhan pada awal siang, jika ia lupa berniat di malam hari. (Lihat dalam
kitabnya Sayyid Abubakr ibn Muhammad Syatha ad-Dimyathiy, Hasyiyah I’anah
ath-Thalibin juz 2 halaman 249).
Akan tetapi sebagai antisipasi, niat borongan itu
baik bila dikerjakan. Menurut para ulama, niat borongan memiliki 2 keutamaan:
Pertama, dianggap sah puasa seseorang pada hari dimana ia lupa berniat di
malamnya. Kedua, seseorang akan mendapat pahala puasa Ramadhan sebulan penuh
jika ia wafat, walaupun Ramadhan belum sempurna.
Pendapat mu’tamad dalam madzhab Syafi’i yang
mengatakan wajib meletakan atau memperbaharui niat setiap puasa pada malam
hari, berdasarkan keterangan hadits sebagai berikut: “Siapa yang tidak
menginapkan/meletakan niat sebelum fajar maka tidak sah puasanya.” (Hadis ini
termasuk hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasai dalam kitab
Sunannya, Imam ad-Darimiy dalam kitab Sunannya, Imam ad-Daraqutniy dalam kitab
Sunannya dan Imam al-Baihaqiy dalam kitab as-Sunan al-Kubra. Ad-Daruqutniy
berkata: “Periwayat hadis ini tsiqat (terpercaya).” Lihat dalam kitabnya
Abdullah Ibn Yusuf az-Zailaiy, Nashb ar-Râyah fî Takhrîj al-Ahâdits al-Hidâyah
juz 4 halaman 370).
Tabyit (meletakan niat pada malam hari) hukumnya
wajib pada kategori puasa fardhu seperti: puasa Ramadhan, puasa qadha’, puasa
kaffarat (dzihar, membunuh, jima’ pada siang bulan Ramadhan), puasa sebelum
melakukan shalat Istisqa (minta hujan) apabila diperintah oleh hakim, puasa
orang yang melaksanakan ibadah haji sebagai ganti dari dzabh (penyembelihan
hewan) atau bayar fidyah dan puasa nadzar. (Lihat dalam kitabnya al-Habib Hasan
bin Ahmad al-Kâf, at-Taqrîrât as-Sadîdah juz 1 halaman 435).
Adapun puasa sunnah, tidak wajib melakukan niat.
Hukumnya boleh bagi seseorang yang ingin berpuasa sunnah melakukan niat puasa
di siang hari dengan 2 syarat: Pertama, ia berniat sebelum zawal
(tergelincirnya matahari). Kedua, ia belum melakukan sesuatu yang membatalkan
puasa dari terbit fajar sampai ia berniat. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibn
Ruslan dalam Matn Zubadnya: “Syarat puasa sunnah adanya niat yang dilakukan
setiap hari sebelum zawal (condongnya matahari dari titik kulminasi). Jika
puasa Fardhu kami mensyaratkan niat yang dita’yinkan peletakan niat itu dari
malam hari.”
1. Niat Puasa Fardhu
a) Masuk waktu niatnya dari terbenam matahari
sampai terbit fajar. Tabyit niat hukumnya wajib sekalipun bagi anak kecil.
b) Wajib ta’yin (spesifikasi) penyebutan puasa yang
dikerjakan seperti: puasa Ramadhan, puasa kaffarat, puasa nadzar atau puasa
qadha.
c) Tidak boleh seseorang menggabung dua puasa
fardhu pada satu hari. Seperti ia gabung niat puasa qadha dan puasa kaffarat
atau seumpamanya.
2. Niat Puasa Sunnah
a) Masuk waktu niatnya dari terbenam matahari,
berlangsung sampai zawal (condong matahari ke barat). Tabyit niat hukumnya
tidak wajib.
b) Tidak wajib ta’yin (spesifikasi) penyebutan
puasa yang dikerjakan, kecuali apabila puasa sunnah tersebut termasuk puasa
sunnah muaqqat (ditentukan waktunya) seperti: puasa Tarwiyah, ‘Arafah, Syawwal,
Tasu’a, ‘Asyura dan lain sebagainya.
c) Boleh seseorang menggabung dua puasa sunnah atau
lebih dalam satu niat.
3. Tahqiq Lafadz Niat Puasa Ramadhan
“Nawaitu shauma ghodin ‘an adaa-i fardhi syahri
Ramadhaani haadzihissanati lillaahi ta’aalaa.” Artinya: Aku niat puasa esok
hari untuk menunaikan kefardhuan bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Taala.
Para ulama telah memberikan tahqiq dhabith
(catatan) pada lafadz “Ramadhaani” dalam bacaan niat di atas, untuk dibaca
dengan dijarkan/dikasrahkan lantaran kata “Ramadhaani” di sini telah
diidhofahkan (disandarkan) dengan kata “haadzihissanati” sebagai mudhaf ilaih.
Bagi para pecinta ilmu, tentunya penjelasan ini bukan perkara yang sulit untuk
diketahui. (kecuali bagi orang yang telah diselimuti oleh kebodohan).
Dalam ilmu Nahwu, kata “Ramadhani” termasuk salah
satu kalimat isim ghairu munsharif (nama yang tidak menerima tanwin). Hal ihwal
isim ghairu munsharif menurut pakar ulama Nahwu, jika ia dalam keadaan rafa’
maka ia dirafa’kan dengan dhammah, diwaktu nashab dinashabkan dengan fathah,
dan saat dikhafadhkan atau dijarkan dengan fathah, berbeda dengan isim
munsharif (yang menerima tanwin), ia dijarkan/dikhafadkan dengan kasrah. Kaidah
tersebut berlaku bila kalimat isim ghairu munsharif tidak diidhafahkan kepada
kata selanjutnya (mudhaf ilaih). Bila kalimat isim ghairu munsharif
diidhafahkan kepada kalimat selanjutnya (mudhaf ilaih) maka gugurlah hukum
ke-ghairumunsharifan-nya, dan kalimat tersebut dibaca dengan kasrah.
Sebagaimana Imam Ibn Malik berkata dalam
Alfiyyahnya: ”Kalimat isim ghairu munsharif dijarkan dengan fathah, selama ia
tidak diidhafahkan atau diiringi dengan alif dan lam.”
Kitab yang terkenal dengan nama Alfiyyah atau
sering juga disebut kitab al-Khulâsah. Sebuah kitab nadzam terdiri dari 1000
bait, dan 80 bab. Kitab Alfiyyah ini menampilkan teori-teori nahwiyyah dan
ash-Sharfiyyah yang dianggap penting, menerangkan hal-hal yang rumit dengan
bahasa yang singkat, tetapi sanggup menghimpun kaidah yang berbeda-beda,
sehingga dapat membangkitkan perasaan senang bagi orang yang ingin mempelajari
isinya. Kitab hasil karya Muhammad Ibn Abdullah ibn Mâlik al-Andalusiy (600-672
H).
Alfiyyah adalah kitab yang amat banyak dibantu oleh
ulama lain dengan menulis catatan kaki, syarah, dan hasyiyah. Dari sekian
banyak ulama yang memberikan komentar terhadap kitab Alfiyyah ini, muncullah
Imam ibn Aqil memberikan ulasan dalam kitabnya Syarh Ibn Aqil. Kitab Syarh Ibn
Aqil kemudian diberikan tahqiq oleh Syaikh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid
terdiri dari 2 jilid besar. Syaikh Ahmad ibn Umar al-Asqathiy dengan nama
al-Qaul al-Jamil. Dan juga diberikan hasyiyah oleh Syaikh Muhammad al-Khudhariy
dengan nama Hasyiyah al-Khudhariy dan Syaikh Ahmad as-Sujaiy dengan nama
Hasyiyah Fath al-Jalil.
Disamping itu, ada juga para ulama yang memiliki
konsentrasi khusus membahas Syawahid (Syair-sayir yang dijadikan saksi penguat)
kitab Syarh Ibn Aqil. Diantara mereka yaitu Syaikh Abdul Mun’im Awadh
al-Jurjawiy dan Syaikh Muhammad Qatthah al-Adawiy.
Perkataan Imam ibn Malik di atas dijelaskan oleh
Imam Bahauddin Abdullah ibn Aqil (698-769 H) dalam Syarh Ibnu Aqil juz 1
halaman 77 sebagai berikut: “Isim yang tidak menerima tanwin hukumnya
dirafa’kan dengan dhammah, contohnya “Jaa-a Ahmadu”, dinashabkan dengan fathah
contohnya “Roaitu Ahmada”, dijarkan dengan fathah contohnya “Roaitu bi Ahmada”,
fathah disini menggantikan kasrah. Ketentuan ini berlaku apabila kalimat isim
yang tidak menerima tanwin tidak diidhafahkan atau diiringi alif dan lam. Jika
ia diidhafahkan, maka ia dijarkan dengan kasrah, contohnya “marortu bi Ahmadikum”,
begitu juga bila ia dimasukan alif dan lam, contohnya “marortu bi al-Ahmadi”,
maka ia dijarkan dengan kasrah (bukan fathah).”
Apa yang penulis paparkan di atas bukan untuk
menyalahkan bacaan niat puasa yang telah dilakukan banyak orang, yaitu lafadz
Ramadhon yang dibaca fathah pada niat di atas tidak merusak niat puasa
seseorang, hanya saja bacaan tersebut dipandang salah menurut para pakar ulama
Nahwu (ahli kaidah bahasa Arab). Demikianlah tahqiq para ulama yang penulis
dengar langsung dari para guru mulia kami. Penjelasan tersebut, kita akan
temukan bila kita membaca langsung kitab-kitab mu’tabar para ulama dalam bab
yang menjelaskan niat puasa Ramadhan.
F. DAFTAR PUSTAKA
• Abdurrahman Nawi, Tujuh Kaifiyat Sembahyang
Sunah, tt. dan Tiga Kaifiyat Sembahyang Sunah, tt.
• Ali Mushtafa Ya’kub, Hadits-Hadits Palsu Seputar
Ramadhan, Pustaka Firdaus:Jakarta, 2003 dan Pengantar buku Otentitas Hadits
Shalat Tarawih 20 Rakaat, Pustaka Firdaus:Jakarta, 2003
• Muhammad Hanif Muslih, Kesahihan Dalil Shalat
Tarawih 20 Rakaat, Santri:Surabaya, 1997
• Muhammad Ilyas Marwal, Kritik atas Pembid’ahan
Shalat Tarawih 20 Rakaat, Pustaka Firdaus:Jakarta, 2008
• Muhammad Nur Ikhwan, Risalah Shalat Tarawih,
Menara Kudus:Yogyakarta, 2003
• Saifuddin Amsir, Pluralisme: Profanisasi
Kesakralan Islam, (Makalah ini dipresentasikan pada acara Halaqah Ulama dan
tokoh Masyarakat, Jakarta 1 Muharram 1427/31 Januari 2006)
• Sirojuddin Abbas, 40 Masalah Agama, vol. 1,
Pustaka Tarbiyah:Jakarta, 2004
• Syarif Rahmat. SQ, Menimbang Amalan Tradisional,
Cahaya Bintang Swara:Jakarta, 2006
• Utsman Ibn Ahmad Askar, Tadzkirah an-Nafiah, Rafi
Jaya Press, 1998
• Utsman Perak, ar-Ruud ash-Shaiqah fi Mahwi
al-Firaq az-Zaighah, kantor Haji Ibrahim:Jakarta, 1934
• H. Softwer dan CD; al-Maktabah asy-Syamilah.
(Softwer untuk kitab-kitab Khazanah Islam), al-Ishdar al-Awwal (edisi pertama),
Ishdar ats-Tsani (edisi kedua) dan Ishdar al-Khamis (edisi kelima), Maktabah
Fiqh wa Ushulih (softwer kitab-kitab Fiqh dan Ushul Fiqh).
Khadimul Janabin nabawiy
H. Rizqi Zulqornain al-Batawiy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar