Nama Syaikh Syihabuddin Abu al-Abbas
Ahmad al-Tijaniy (1150-1230 H, 1737-1815 M) dikenal di dunia Islam melalui
ajaran tarekat yang dikembangkannya yakni Tarekat Tijaniyah. Untuk mengetahui
kehidupan Syaikh Ahmad Ibn Muhammad al-Tijani, penulis menelusurinya melalui
Kitab-kitab yang memuat kehidupan dan ajaran Syekh Ahmad al-Tijani terutama
kitab-kitab yang di tulis Khalifah Syaikh Ahmad al-Tijani diantaranya kitab Jawahir
al-Ma`ani Wa Bulugh al-Amaniy Fi Faidh Sayyidi Abi al_Abbas al-Tijaniy
(Mutiara-mutiara Ilmu Dan Tergapainya Cita-cita Dalam Menjelaskan Limpahan
Karunia Sayyid Ahmad al-Tijaniy). Tulisan Syaikh Ali Harazim al-Maghribiy.
Dalam
kitab-kitab yang menulis kehidupan Syaikh Ahmad al-Tijani, disepakati bahwa
Syaikh Ahmad al-Tijani, dilahirkan pada tahun 1150 H. (1737 M.) di `Ain Madi,
sebuah desa di al-Jazair.
Secara
geneologis Syaikh Ahmad al-Tijani memiliki nasab sampai kepada Rasulullah.
lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn Mukhtar Ibn Ahmad Ibn
Muhammad Ibn Salam Ibn Abi al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad al-`Alawi Ibn Ali Ibn
Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn
Ahmad Ibn Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah al-Kamil Ibn Hasan
al-Musana Ibn Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari Sayyidah Fatimah al-Zahra
putri Rasulullah.
Nama
al-Tijani diambil dari suku Tijanah yaitu suatu suku yang hidup di sekitar
Tilimsan, Aljazair; dari pihak ibu, dan Syaikh Ahmad al-Tijani berasal dari
suku tersebut. Keluarga Syaikh Ahmad al-Tijaniy adalah keluarga yang dibentuk
dengan tradisi taat beragama. Dikatakan, bahwa ayah Syaikh Ahmad al-Tijaniy
adalah seorang ulama yang disiplin menjalankan ajaran agama. Ketika Syaikh
Ahmad al-Tijaniy memasuki usia balig dinikahkan oleh ayahnya. Sejak usia berapa
tahun beliau menikah? Dalam kitab-kitab yang menulis riwayat hidup Syaikh Ahmad
al-Tijani tidak dijelaskan. Namun apabila dihubungkan dengan tahun meninggal
kedua orang tuanya, mereka meninggal berturut-turut pada tahun yang sama yakni
tahun 1166 H. Diduga beliau nikah antara usia 15-16 tahun, sebab beliau lahir
pada tahun 1150 H. Dari hasil pernikahannya beliau mempunyai dua orang putra
yakni Muhammad al-Habib dan Muhammad al-Kabir yang kelak secara berturut-turut
memimpin zawiyah (corner Sufi yang beliau dirikan).
Mengenai tempat wafatnya, dalam
kitab-kitab yang menulis Syaikh Ahmad al-Tijani, disepakati bahwa beliau wafat
di kota Fez Maroko. Hal ini bisa dimengerti karena sebagaimana akan dilihat
nanti, di kota ini Syaikh Ahmad al-Tijani mempunyai kesempatan untuk
mengembangkan ajarannya dengan dukungan penguasa. Dengan demikian tidak ada
alasan bagi beliau untuk meninggalkan Maroko. Sebagaimana tempat wafatnya,
tahun wafatnyapun disepakati, yakni beliau wafat pada tahun 1230 H. Dengan
demikian beliau wafat dalam usia 80 tahun, karena beliau lahir pada tahun 1150
H. Demikian juga mengenai hari dan tanggal wafatnya, disepakati bahwa beliau
wafat pada hari Kamis, tanggal 17 Syawal dan dimakamkan di kota Fez Maroko.
Dalam
melihat kehidupan Syekh Ahmad al-Tijani penulis membagi kedalam empat fase :
Pertama
: Fase menuntut Ilmu-ilmu syari’at mulai usia 7 tahun sampai 20 tahun
Kedua :
Fase menuntut Teori-teori ilmu Tasawuf mulai 21 sampai 31 tahun
Ketiga : Fase
Pengidentifilasian Diri mulai usia 31 tahun sampai 46 tahun dan atau sampai
diberi karunia al-Fath al-Akbar (pembukaan besar), maqam al-Quthbaniyat
al-‘Udzma dan maqam wali khatm oleh Allah swt.
Keempat
: Fase pengembangan dakwah[1]
1. Fase menuntut Ilmu Syari’at
Sejak umur tujuh tahun
Syekh Ahmad al-Tijani telah hafal al-Qur’an[2] dan
sejak kecil beliau telah mempelajari berbagai cabang ilmu seperti ilmu Usul,
Fiqh, dan sastra. Dikatakan, sejak usia remaja, Syekh Ahmad al-Tijani telah
menguasai dengan mahir berbagai cabang ilmu agama Islam, sehingga pada usia
dibawah 20 tahun beliau telah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai
masalah agama[3].
Dalam al-A’lam dikatakan bahwa Syekh Ahmad al-Tijani adalah
seorang ahli fiqih (faqih) Mazhab Maliki[4] yang
menguasai berbagai disiplin ilmu seperti ilmu usul, fiqh, sastra
dan tasawuf [5].
2. Fase Menuntut Ilmu
Tasawuf
Pada usia 21 tahun,
tepatnya pada tahun 1171 H. Syekh Ahmad al-Tijani pindah ke kota Fez
Maroko. Tidak dijelaskan mengenai motif kepindahannya, diduga kepindahannya
untuk memperdalam ilmu tasawuf; ilmu ini sepertinya merupakan bidang yang
diminati oleh Syekh Ahmad al-Tijani, bidang ini menjadi spesialisasinya, dan
kemudian Beliau terkenal dengan bidang ini. Kecenderungannya kearah ilmu
tasawuf nampaknya dari pembinaan yang dilakukan oleh orang tua dan
guru-gurunya, hal ini dimungkinkan karena saat itu kecenderungan ilmu agama
yang berkembang di dunia islam bercorak sufistik. Pada waktu itu, untuk bagian
barat dunia Islam, kota Fezmerupakan pusat studi ilmu agama yang
terpenting yang tidak kalah harumnya dengan Kairo. Banyak ulama-ulama besar
menetap disana. Selama di Fez beliau menekuni ilmu tasawuf melalui kitab Futuhat
al-Makiyah[6] dari
Ibn Arabi[7] (w.
638/1240 H.), di bawah bimbingan al-Tayyib Ibn Muhammad al-Yamhali (w. 1180 H.)
dan Muhammad Ibn al-Hasan al-Wanjali (w. 1185 H.). Al-Wanjali mengatakan kepada
Syekh Ahmad al-Tijani : اَنَّكَ تُدْرِكَ مَقَامَ الشَّاذِلِى “Engkau
akan mencapai maqam kewalian sebagaimanamaqam al-Syazili”[8]” . Selanjutnya beliau menjumpai Syekh Abdullah Ibn Arabi
al-Andalusia, dan kepadanya dikatakan : اَلله ُ يَأخُذُ بِـيَدِكَ. (Allah yang membimbingmu); “Kata-kata ini
di ulang sampai tiga kali”. Kemudian beliau berguru kepada Syekh Ahmad
al-Tawwasi, dan mendapat bimbingan untuk persiapan masa lanjut. Ia menyarankan
kepada Syekh Ahmad al-Tijani untuk berkhalwat(bersunyi diri) dan
berzikir (zikr) sampai Allah memberi keterbukaan (futuh).
Kemudian ia mengatakan : “Engkau akan memperoleh kedudukan yang agung (maqam
‘azim)”. Anjuran ini tidak dilaksanakan oleh Syekh Muhammad al-Tijani.
Diduga tidak ditaatinya anjuran tersebut karena ada hal yang memberatkan
terutama hal yang menyangkut keharusan menyendiri dan menyepi. Melihat sikap
Syekh Ahmad al-Tijani demikian, al-Tawwasi memberikan kelonggaran dan beliau
mengatakan :”Tetaplah berzikr tanpa harus berkhalwat(bersunyi
diri)”, nanti Allah akan memberi futuh (keterbukaan)
kepadamu”. Pada masa itu tampaknya Syekh Ahmad al-Tijani sedang mengkhususkan
diri untuk mendalami teori-teori ilmu tasawuf, sehingga tampak beliau belum
tertarik untuk melakukan amalan wirid dengan metode khalwat, dengan
kata lain beliau belum tertarik melakukan hal-hal yang mengikat dirinya. Pada
fase ini, bisa dikatakan sebagai fase menuntut ilmu tasawuf. Pada fase ini KH.
Fauzan[9] menyebutnya
masa sufi tahap awal yakni ketika beliau berumur 21-31 tahun atau antara tahun
1171-1181 H.
3. Fase Pengidentifikasian
Diri
Ketika Syekh Ahmad
al-Tijani memasuki usia 31 tahun, beliau mendekatkan diri (taqarrub)
kepada Allah swt., melalui amalan beberapa thariqat. Thariqat pertama yang
beliau amalkan adalah thariqat Qadiriyah[10],
kemudian pindah mengamalkan thariqat Nasiriyah yang diambil dari Abi Abdillah
Muhammad Ibn Abdillah, selanjutnya mengamalkan thariqat Ahmad al-Habib Ibn
Muhammad[11] dan
kemudian mengamalkan thariqat Tawwasiyah[12].
Setelah beliau
mengamalkan beberapa thariqat tadi, kemudian beliau pindah ke zawiyah (pesantren
sufi) Syekh Abd al-Qadir Ibn Muhammad al-Abyadh. Diduga kepindahannya dari satu
thariqat ke thariqat lainnya, karena beliau belum merasa puas terhadap
amalan-amalan yang terdapat dalam thariqat-thariqat tadi. Disini dapat dilihat,
pada masa ini Syekh Ahmad al-Tijani masih dalam perjalanan tahap pengidentifikasian
diri, oleh sebab itu beliau mudah terpengaruh oleh amalan-amalan dzikir yang
terdapat dalam thariqat yang berbeda. Pada tahapan ini bisa dikatakan sebagai
tahapan disiplin mendekatkan diri pada Allah (taqarrub). KH. Fauzan
menyebutnya sebagai masa sufi kedua yakni masa penuh ibadah antara umur 31-46
tahun atau dari tahun 1181 – 1196 H.
Pada tahun 1186 H. Beliau
berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Dapat diduga, pada
jaman itu perjalanan ke Makkah masih merupakan perjalanan berat dan memakan
waktu yang cukup lama. Para calon haji biasanya memanfaatkan
perjalanan ini untuk menuntut ilmu dibeberapa tempat yang dilewati. Demikian
juga halnya dengan Syekh Ahmad al-Tijani, karena beliau seorang peminat ilmu
tasawuf, maka ilmu-ilmu yang beliau caripun yang berkaitan dengan tasawuf,
dengan demikian beliau memerlukan perjumpaan dengan tokoh-tokoh Sufi. Ketika
beliau tiba di Aljazair, beliau menjumpai Sayyid Ahmad Ibn Abd al-Rahman
al-Azhari (w. 1198 H) seorang tokoh thariqat Khalwatiah[13],
dan beliau mendalami ajaran thariqat ini. Kemudian beliau berangkat ke Tunise
dan menjumpai seorang Wali bernama Syekh Abd al-Samad al-Rahawi (w. 1196 H.).
Di kota ini beliau belajar thariqat sambil mengajar ilmu tasawuf,
diantara kitab yang diajarkannya adalah kitab al-Hikam[14].
Kemudian beliau pergi ke Mesir, di negeri ini beliau menjumpai seorang sufi
yang sangat terkenal pada waktu itu yakni Syekh Mahmud al-Kurdi (w. 1208 H.),
ia seorang tokoh thariqat khalwatiyah, dari tokoh ini Syekh Ahmad al-Tijani
menyempurnakan ajaran thariqat Khalwatiyahnya. Dalam perjumpaan pertama dengan
Syekh Mahmud al-Kurdi, kepada Syekh ahmad al-Tijani dikatakan:
أنت محبوب عندالله في الدنيا والاخرة
“(Engkau kekasih
Allah di dunia dan di akherat)”
lalu Syekh Ahmad al-Tijani bertanya من اين لك هدا “(Dari mana pengetahuan ini ?)” Jawab syekh al-Kurdi من الله “(Dari Allah)”.
Pada kesempatan lain Syekh Mahmud al-Kurdi bertanya kepada Syekh
Ahmad : مامطلبك ؟ “(apa
cita-citamu ?)” Jawab Syekh Ahmad al-Tijani : مطلبي
القطبانـية العظمى “(Cita-cita
saya menduduki maqam al-Quthbaniyah al-‘Udzma)”[15]. Jawab
al-Kurdi : لك اكثرمنها ”(Bagimu
lebih dari itu)” Berkata
Syekh Ahmad al-Tijani : عليك”(Engkau
yang menanggungnya ?)” Jawab
al-Kurdi : نعم “(Ya)”
Dialog di atas,
menunjukan bahwa seorang Wali bisa melihat maqam kewalian
seseorang. Dalam tradisi tasawuf diyakini bahwa seorang wali dengan kekuatan ma’rifathnya
bisa mengetahui maqam sesama wali.
Pada bulan Syawal tahun
1187 H. Sampailah beliau ke Makkah. Pada waktu itu di Makkah ada seorang wali
bernama Syekh al-Imam Abi al-Abbas Sayyid Muhammad Ibn Abdillah al-Hindi (w.
1187 H.). Sewaktu Syekh Ahmad al-Tijani berkunjung kepadanya, ia mengungkapkan
kepada Syekh Ahmad al-Tijani melalui surat lewat khadamnya yang
berbunyi :
أنت وارث علمي واسرارى
وموا هبي وانوارى
Artinya : “Engkau pewaris
ilmuku, rahasia-rahasiaku, karunia-karuniaku dan cahaya-cahayaku”
Pernyataan di atas,
menunjukan bahwa dalam tradisi tasawuf/kewalian transformasi ilmu batin bisa
dilakukan seorang wali kepada yang lainnya tanpa harus melalui bimbingan
langsung secara fisik.
Selesai melaksanakan
ibadah haji, Syekh Ahmad al-Tijani terus berziarah ke makam Rasulullah saw., di
Madinah. Di kota ini beliau menjumpai seorang wali Quthb Syekh
Muhammad Ibn Abd al-Karim al-Saman[16] (w.
1775 M.), seorang tokoh thariqat Khalwatiyah dengan maksud untuk mendapatkan
ajaran-ajaran sebagai persiapan masa lanjut. Dalam salah satu pertemuannya,
dikatakan bahwa Syekh Ahmad al-Tijani akan mencapai maqam kewalian al-Quthb’
al-Jami[17]’.
Pengembaraan tasawuf
Syekh Ahmad al-Tijani melalui pertemuan dengan para wali sebagaimana
disebutkan, menunjukan hampir semua wali yang dikunjunginya melihat dan
meyakini bahwa Syekh Ahmad al-Tijani akan mencapai maqam kewalian yang tinggi
lebih dari apa yang dicita-citakannya.
Dalam perjalanan pulang
ke Aljazair, beliau menyempatkan diri menjumpai gurunya yaitu Syekh Mahmud
al-Kurdi, dengan maksud mendiskusikan persoalan-persoalan tasawuf yang masih
dianggap rumit (musykil). Dalam waktu relatif lama, beliau tiap hari
melakukan dialog dengan Syekh al-Kurdi, sampai akhirnya, Syekh Ahmad al-Tijani
diangkat menjadi khalifah thariqat Khalwatiyah untuk daerah Mahgrib (maroko). Hal ini
menunjukan bahwa pada masa ini Syekh Ahmad al-Tijani dianggap telah memenuhi
persyaratan untuk memberikan bimbingan ruhani.
Melihat guru-guru tasawuf
Syekh Ahmad al-Tijani, tampaknya beliau lebih banyak mendalami ajaran tasawuf
dari tokoh-tokoh Thariqat Khalwatiyah, seperti Sayyid Ahmad Ibn Abdurrahman
al-Azhari, Syekh Mahmud al-Kurdi, dan Syekh Muhammad Ibn Abd al-Karim al-Saman.
Hal ini dikarenakan thariqat terakhir yang beliau amalkan adalah thariqat
Khalwatiyah.
Pada tahun 1196 H.,
tepatnya ketika Syekh Ahmad al-Tijani berusia 46 tahun, beliau pergi ke
pedalaman Aljazair, yaitu Abu Samghun, yang terletak padang Sahara. Tempat ini
dijadikan tempat domisilinya yang baru dan disini beliau melakukan kehidupan
menyendiri (khalwat). Di tempat inilah beliau mengalami pembukaan besar
(al-fath al-akbar), beliau bertemu dengan Rasulullah saw., dalam keadaan
jaga (yaqzhah); selanjutnya Syekh Ahmad al-Tijani mengaku ditalqin (dibimbing) istighfar 100
kali dan shalawat 100 kali, selanjutnya Rasulullah saw.
bersabda kepada Syekh Ahmad Al-Tijani :
لامنة لمخلوق عليك من مشايخ الطريق فانا واسطتك
وممدك على التحقيق. فاترك عنك جميع ما احذت من جميع الطريق. الزم هذه الطريقة من
غير خلوة ولااعتزال عن الخلق حتى تصل مقامك الذى وعدت به وانت على حالك من غير ضيق
ولاحرج ولاكثرة مجاهدة واترك عنك جميع الاولياء[18].
Artinya : “Tak ada karunia bagi seorang makhlukpun dari
guru-guru thariqat atas kamu. Maka akulah wasithah (perantaramu) dan pemberi
dan atau pembimbingmu dengan sebenar-benarnya (oleh karena itu), tinggalkanlah
apa yang kamu telah ambil dari semua thariqat. Tekunilah thariqat ini tanpa khalwat dan
tidak menjauh dari manusia sampai kamu mencapai kedudukan yang telah
dijanjikannya padamu, dan kamu tetap di atas perihalmu ini tanpa kesempitan,
tanpa susah-susah dan tidak banyak berpayah-payah, dan tinggalkanlah semua para
Wali.”
Dalam deskripsi KH.
Fauzan, semenjak itu Syekh Ahmad al-Tijani :
Beliau tidak menjauh dari
manusia; Thariqat-Thariqat yang pernah diambilnya ditinggalkan semua dan pindah
kepada thariqat yang ditalqinnya oleh Saiyidul-wujud saw.; semua
guru-gurunya juga ditinggalkannya dan pindah berguru tunggal dan langsung Saiyidul-Wujud
Habibina wa-Qurrati A’yunina Muhammad saw.; semenjak itu kalau Saiyidi
Syekh Ahmad al-Tijani berkata selalu disandarkan kepada Rasulullah saw., dengan
kata-kata : “Rasulullah saw., berkata kepada saya”Atau : “Rasulullah saw.,
memberitahukan kepada saya”; karena dalam segala hal Sayyidi Syekh Ahmad
al-Tijani Ra. Guru dan pembimbing serta pendidiknya adalah Rasulullah saw., dan
Rasulullah saw., senantiasa mendampingi beliau dan tampak terlihat dengan mata
kepala oleh beliau[19].
Dua macam wirid
sebagaiman telah disebutkan di atas, yaitu : Istighfar 100
kali dan Shalawat 100 kali berjalan selama 4 tahun dan pada
tahun 1200 H., wirid itu disempurnakan Rasulullah saw., dengan ditambah Hailallah (la
Ilaha Illa Allah) 100 kali. Yang dikemudian hari tiga jenis amalan
dasar ini menjadi dasar pengembangan Thariqat Tijaniyah
Pada bulan Muharram tahun
1214 H. Syekh Ahmad al-Tijani mencapai maqam yang pernah dicita-citakannya
yakni maqam al-Quthbaniyyat al-‘Udzhma. Dan pada tanggal 18 Safar
pada tahun yang sama Syekh Ahmad al-Tijani mendapat karunia dari Allah swt.,
memperoleh maqam tertinggi kewalian ummat Nabi Muhammad yakni maqam
al-Khatm wal-Katm atau al-Quthb al-Maktum dan Khatm
al-Muhammadiyy al-Ma’lum[20].
Dan setiap tanggal dan bulan tersebut murid-murid Syekh Ahmad al-Tijani, di
Indonesia misalnya mensyukuri melalui peringatan ‘Idul Khatmi Lil
Quthbil Maktum wal khatmil Muhammadiyyil Ma’lum Syekh Ahmad al-Tijani Ra[21].
4. Fase Pengembangan Dakwah
Pada tahun 1789 M., Syekh
Ahmad al-Tijani pindah ke Maroko dan menetap di kota Fez. Mengenai
latar belakang kepindahannya tidak diketahui dengan jelas, diduga kepindahannya
bermotifkan pengembangan dakwah ajarannya, karena pada waktu itu, Maroko
merupakan pusat studi Islam yang banyak dikunjungi ulama-ulama besar. Di
Maroko, Syekh Ahmad al-Tijani dan Maulay Sulaiman[22](1793-1822
M.) bersekutu dalam memerangi khurafat yang menimbulkan kebodohan, kejumudan,
dan kemalasan, sampai beliau dilantik sebagai anggota “Dewan Ulama”.
Pada zaman itu Maulay
Sulaiman, Syekh Ahmad al-Tijani dan ulama-ulama besar lainnya sependapat bahwa
ummat Islam dalam keadaan sakit dan lemah. Kelemahan ini dalam pandangan mereka
dilatarbelakangi oleh kemerosotan bidang akidah dan ibadah, serta timbulnya
paham-paham dan aliran-aliran yang sesat. Kebanyakan diantara mereka
mengatasnamakan tasawuf dan thariqat. Khurafat merajalela, upacara ziarah
kekubur para wali yang sangat menonjol dalam kehidupan beragama rakyat Maroko
telah diwarnai oleh praktek klenik dan pemakaian obat bius yang tidak ada
sangkut pautnya dengan ajaran tasawuf[23].
Dalam keadaan masyarakat
yang demikian rusak baik secara moral maupun akidah Syekh Ahmad al-Tijani
menyatakan bahwa : “Pada umumnya masyarakat pada waktu itu melakukan ziarah
kepada wali-wali Allah hanyalah untuk tujuan yang rusak (agrad fasidat)
yakni hanya untuk mengharapkan kesenangan dan syahwat duniawi.”[24] Dalam
posisi inilah Syekh Ahmad al-Tijani menetapkan batasan yang sangat ketat kepada
murid-muridnya dalam melakukan ziarah kepada wali-wali Allah swt., hal ini
dimaksudkan untuk memelihara kemurnian akidah dan kelurusan ibadah.
Gambaran di atas
menunjukan, bahwa kerjasama antara Syekh Ahmad al-Tijani dengan Maulay Sulaiman
adalah upaya memerangi khurafat yang menimbulkan kebodohan, kejumudan dan
kemalasan. Dengan demikian sejak saat itu keberadaan Thariqat Tijaniyah
mendapat dukungan sepenuhnya dari pemerintah. Keadaan ini mengantarkan kepada
satu kesimpulan, bahwa tidak benar adanya anggapan yang mengatakan bahwa kaum
sufi dan kaum thariqat terlalu sibuk dengan ibadah zikir saja, sehingga mereka
meninggalkan kewajiban sosial atau mu’amalah. Bahkan menurut Harun Nasution
sejarah membuktikan, bahwa sufi besar yang menjadi perintis tasawuf bukan hanya
sekedar menjalankan perikemanusiaan saja, tetapi juga perikemakhlukan yang
terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis[25].
Selanjutnya, Harun Nasution menjelaskan bahwa tugas sufi adalah berdakwah,
mengajak orang kejalan yang benar. Sufi yang masih junior selalu disuruh sufi
yang senior untuk pergi berdakwah kemasyarakat ramai. Bahwa setelah berakhirnya
zaman futuhat(pembukaan daerah-daerah Islam oleh Khalifah dan
Sultan-sultan), agama Islam disiarkan ke Afrika Tengah, Selatan, dan ke Asia
Tenggara melalui pedagang-pedagang sufi dan thariqat-thariqat. Demikian juga
dalam mempertahankan tanah air Islam dari serangan kaum Penjajah Barat, kaum
sufi dan thariqat turut aktif dalam pertempuran, seperti Thariqat Tijaniyah
serta Sanusiyah di Afrika Utara dan Thariqat Mahdiyah di Sudan.
Upaya Syekh Ahmad
al-Tijani dalam melakukan dakwah-dakwah Islam, selain melaksanakan kerjasama
dengan Maulay Sulaiman, sebagaimana telah disebutkan di atas, beliau juga aktif
memimpin Zawiyah di kota Fez Maroko, sampai wafatnya pada Hari Kamis tanggal 17
bulan Syawwal tahun 1230 H.
Di Kota ini beliau sering
dikunjungi orang-orang dari seluruh Maroko ataupun negara-negara tetangganya,
dan membina orang yang berminat mendalami ajarannya, sampai melantiknya sebagai
pemuka Thariqat Tijaniyah (muqaddam)[26] di
daerah masing-masing. Dengan demikian, ketika Syekh Ahmad al-Tijani meninggal
sudah ada pusat-pusat penyebaran thariqat tijaniyah di beberapa negara, di
antaranya : Maroko, Aljazair, Tunisia dan Mauritania sebelah
selatan Maroko.
Sampai saat menjelang wafatnya
Syekh Ahmad al-Tijani tidak pernah lalai dalam melaksanakan tugas dakwahnya,
beliau selalu aktif memberi petunjuk dan bimbingan kepada ummat Islam, terutama
dalam membina dan mengarahkan murid melalui zawiyahnya maupun melalui
surat-surat yang dikirim keberbagai lapisan masyarakat (fukoro, masakin,
agniya, pedagang, fuqaha dan umaro);
Berikut sebagian kutipan surat dakwah
syekh Ahmad al-Tijani[27] :
“Saya berwasiat pada
sendiri dan kalian semua dengan perkara yang telah diwasiatkan dan
diperintahkan oleh Allah swt. Yaitu menjaga batas-batas agama, melaksanakan
perintah ilahiyah dengan segenap kemampuan dan kekuatan.
Sesungguhnya pada jaman sekarang, sendi-sendi pokok agama ilahi
telah rapuh dan ambruk. Baik secara langsung dan global ataupun secara
perlahan-lahan dan rici. Manusia lebih banyak tenggelam dalam urusan yang
mengkhawatirkan, secara ukhrawi dan duniawinya. Mereka tersesat tidak kembali
dan tertidur pulas tidak terjaga. Hal ini dikarenakan berbagai persoalan yang
telah memalingkan hati dari Allah swt., dan aturan-aturan (perintah dan
larangannya). Pada masa dan waktu kini sudah tidak ada seorangpun yang peduli
untuk mejalankan dan memenuhi perintah-perintah Allah dan persoalan-persoalan
agama yang lainnya. Kecuali orang yang benar-benar ma’rifat kepada-Nya paling
tidak orang yang mendekati sifat tersebut.
Wasiat ini
dilatarbelakangi atas keprihatinan terhadap kemunduran ummat Islam, baik secara
akidah maupun ibadah. Sikap ini menunjukan kepedulian Syekh Ahmad al-Tijani
sebagai shahibutthariqah terhadap problematika ummat Islam.
Pada bagian lain
dikatakan :
Hendaklah kamu sekalian berusaha membiasakan bersedekah setiap
hari jika mampu. Meskipun sekedar uang recehan ataupun sesuap makanan,
disamping tetap menjaga pelaksaan perkara-perkara fardu yang di wajibkan dalam
harta benda, seperti zakat. Sesungguhnya pertolongan Allah swt., lebih dekat
kepada mereka yang selalu mengerjakan dan menjaga kewajiban-kewajiban yang
bersifat umum/kemasyarakatan.
Pada bagian lain Syekh
Ahmad al-Tijani mengatakan :
“Hendaknya kamu sekalian
selalu menjaga silaturahim/menyambung tali persaudaraan dengan norma-norma yang
dapat membuat hati menjadi lapang dan menimbulkan rasa kasih sayang. Meskipun
hanya menyediakan waktu luang dan memberikan salam. Jauhilah sebab-sebab yang
menjadikan kebencian dan permusuhan di antara sanak saudara, atau perpecahan
orang tua dan segala hal yang menyulut api dendam dalam relung hati sanak
saudara”.
“Hendaklah menjauhi segala pembicaraan yang mengorek aib dan
kekurangan sesama muslim. Mereka yang gemar melakukan itu, Allah swt., akan
membuka aib/cacat kekurangannya dan mengoyak kekurangan-kekurangan generasi
setelahnya”.
Wasiat ini menegaskan
pentingnya membangun kepedulian sosial dan membangun persatuan dan kesatuan
dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Wasiat Syekh Ahmad
al-Tijani di atas menunjukan bahwa beliau senantiasa aktif memberikan tausiyah dan
bimbingan baik secara lisan ataupun tulisan kepada seluruh ummat Islam,
khususnya yang ada di Kota Fez, Maroko dan negara-negara tetangganya.
Selain itu beliau sendiri membina kedua putranya. Sepeninggal Syekh Ahmad
al-Tijani, dua orang putranya masing-masing bernama Sayyid Muhammad al-Kabir
dan Sayyid Muhammad al-Habib secara berturut-turut memimpin zawiyah yang
didirikan ayahnya.
Pada dasarnya, Syekh
Ahmad al-Tijani tidak menginginkan seorang sufi yang hanya memusatkan
perhatiannya pada kontemplasi dan zikir, dan mengabaikan masalah
kemasyarakatan. Sufi, sebagaimana ditegaskan dalam ajaran thariqat tijaniyah,
harus senantiasa aktif berjuang bersama masyarakat.
Sejalan dengan pendapat
di atas, Abu Sa’id Ibn Abi al-Khayr (w. 277 H.) mengatakan bahwa sufi yang
benar-benar dikasihi Tuhan, adalah sufi yang duduk ditengah ummatnya, bangun,
makan, dan tidur, membeli dan menjual; memberi dan meminta diantara masyarakat,
serta menikah dan bergaul dengan ummat, sekaligus tidak pernah melupakan Tuhan
sedikitpun. Demikian Imam al-Gazali, menegaskan bahwa seorang sufi, hendaknya
selalu turun dari puncak pengalaman ruhani ketingkat dunia yang paling rendah,
lantaran dengan demikian, seorang lemah dapat menemukan teman dan mendapatkan
cahaya ilahi melalui karamah yang disinarkan dari diri seorang wali.
Namun demikian Syekh
Ahmad al-Tijani menjelaskan lebih lanjut, bahwa meskipun seorang sufi telah
kembali menjalankan kehidupannya sebagaimana layaknya seorang muslim,
cahaya ma’rifah yang diperolehnya, akan tetap menyinari dirinya. Hal ini akan
nampak termanifestasikan dalam setiap gerakan dan ucapannya. Karena cahaya
ketuhanan yang didapatkannya, akan menyebabkan ia mempunyai keistimewaaan
(karamah). Sehingga dikatakan, salah satu tanda bahwa seseorang adalah sufi
yang sudah meraih cahaya ma’rifat, adalah ia dapat menunjukan rasa tanggung
jawabnya terhadap ummat, lemah lembut terhadap mereka, berjuang untuk mereka
dan bersama-sama mereka membangun kehidupan yang islami melalui pendekatan
hikmah, yakni melakukan pendekatan dakwah kepada ummat manusia sesuai dengan
tingkat kemampuan akalnya.
Demikian sekilas peran
dakwah Syekh Ahmad al-Tijani. Lewat ajarannya, dapat dilihat bagaimana beliau
memandang penting arti tampilnya seorang sufi/wali di tengah masyarakat, hal
ini merupakan bentuk lain dari ketaatannya pada Allah dan Rasul-Nya.
Dengan demikian, tampak
jelas bahwa peranan para sufi begitu penting dalam kehidupan masyarakat dalam
melakukan dakwah Islam. Oleh karena itu, tidak selayaknya jika para sufi hanya
mementingkan kontemplasi dan zikr, lantas mengabaikan masyarakat yang
memerlukan bimbingan.
Menurut Taftazani, pada
masa modern ini, murid thariqat tijaniyah terus aktif melakukan dakwah Islam,
di berbagai kawasan Afrika dan mereka mendirikan Zawiyah(Pesantren Sufi)[28].
Sampai sekarang mereka aktif mengembangkan dakwah Islam di Amerika, Perancis,
dan Cina.
Pada tahun 1987 M., Syekh
Idris al-‘Iraqi, (muqaddam zawiyah thariqat tijaniyah Fez,
Maroko) berkunjung ke Indonesia, menurut pengakuannya sampai saat ini di
Perancis, terdapat puluhan zawiyah (pesantren sufi) thariqat
tijaniyah.
Pada tahun 1985/1406 H.,
di Kota Fez, Maroko diselenggarakan muktamar thariqat tijaniyah dan dihadiri
utusan dari 18 negara, seperti : Kerajaan Maroko, Pakistan, Tunisia, Mali,
Mesir, Mauritania, Nigeria, Gana, Gambia, Gina, Pantai Gading, Sudan Senegal,
Cina, Amerika Serikat, Perancis dan Indonesia. Utusan dari Indonesia adalah
KH. Umar Baidhowi dan KH. Badri Masduqi. (masing-masingmuqaddam/shahibulmasyikhakh thariqat
tijaniyah Surabaya dan Probolinggo). Pada pembukaan muktamar
tersebut, Raja Hasan II (Raja Maroko) berkenan memberikan sambutan.
Dalam kaitan dengan
efektifitas dakwah Islam melalui ajaran thariqat, Muhammad Abduh (w. 1905 M.)
misalnya, seorang pembaharu Islam yang mempunyai pengaruh besar di dunia
Islam, mengakui efektifitas metode dakwah yang dikembangkan sufi; ia mengatakan
:
“Metode thariqat begitu efektif dalam pembinaan spiritual maupun
moral. Muhammad Abduh (w. 1905 M.) meyakini keefektipan metode tersebut dalam
pendidikan maupun keagamaan dan sosial sebagaimana dikatakan kepada Rasyd Ridha
(1865-1935) : Seandainya usahaku memperbaiki al-Azhar tidak berhasil, aku akan
memilih sepuluh orang diantara murid-muridku lalu diantara mereka akan aku
tempatkan dirumahku di Ain Syams, dan akan di didik dengan metode pendidikan
yang dilakukan para sufi disertai peningkatan pengetahuan mereka[29]”.
Dalam mengomentari
pendapat di atas, Rasyid Ridla mengatakan :
“Seandainya apa yang dihasratkan guruku itu benar-benar
terlaksana niscaya ini merupakan amalan yang bermanfaat”.
Pendapat di atas
menunjukan pengakuan secara langsung terhadap efektifitas metoda thariqat dalam
pembinaan spiritual maupun moral.
[1] Dalam melihat
kehidupan Syekh Ahmad al-Tijani KH. Fauzan membagi kedalam tiga fase :
- Masa Kanak-kanak dari
kelahiran sampai usia 7 (tujuh) tahun.
- Masa menuntut Ilmu dari
mulai usia 7 (tujuh) tahun sampai usia 20 (dua puluh) tahun.
- Masa Sufi dari mulai usia
21 (dua puluh satu) tahun sampai 46 (empat puluh enam) tahun dan atau sampai
meninggal. Lihat : Fathullah, A. Fauzan, Syyidul Suliya; Biografi Syekh
Ahmad Al-Tijani dan Thariqat Al-Tijaniyah, Pasuruan :
t.pn. 1985.
[2] Di antara
orang-orang soleh yang hafal al-Qur’an sejak usia tujuh tahun adalah : Imam
Syafi’i pendiri madzhab Syafi’iah dalam bidang Fikih. Lihat Muhammad Ibn
Abdulqadir Manaqib al-Imam al-Syafi’i (Kediri : Usmaniah,
1411 H.) hlm. 4.
[3] Ali Harazim, op.
cit. Juz I. hlm. 37
[4] Madzhab Maliki
didirikan Imam Malik Ibn Anas (93-197 H. Ia Lahir dan wafat di Kota Madinah).
Lihat : Al-Qadi Iyad, Tartib al-Madariq wa Taqrib al-Mamalik, (Rabat:
Wuzarat al-Awqaf, t.t.), Juz I, hlm. 118-119. Dikatakan bahwa ia
adalah Faqih al-Madinah yang meriwayatkan hadis dari Nafi
sebanyak 80 hadis dalam karyanya al-Muawatta’. Lihat : Ibn Hajar
al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib (Heiderabad : Da’irot al-Ma’arif
Al-Nizamiah, 1325 H.), Juz X, hlm. 413.
[5] Khair al-Din
al-Zirakly, al-‘Alam, (Beirut : Dar al-Fikr, t. th), Juz I,
hlm. 17.
[6] Kitab ini merupakan
karya monumental Ibn ‘Arabi diantarnya mengupas tentang teori kewalian dan
termasuk maqam “wali Khatam”.
[7] Ia seorang sufi
filosof dari Andalusia yang terkenal dengan konsep wahdatul
wujudnya.
[8] Ia adalah muasis
tarekat Syadziliyah yang mengaku mencapai maqam kewalian
al-Qutb, ia juga salah seorang wali yang produktif menulis hizb diantaranya hizb
al-bahr dan hizb al-nashr.
[9] Ia adalah Muqaddam Thariqat
Tijaniyah Pasuruan. Martin Van Bruinessen menyebutnya sebagai Intelektual
Thariqat Tijaniyah.
[10] Thariqat ini
dikembangkan oleh Syekh Abd. Qadir Bin Musa Bin Abdullah al-Hasani Abu Muhammad
Muhyiddin al-Jilani ( 471 – 561 H.). Ia lahir di Jilan, kemudian ia hijrah ke Bagdad pada
tahun 448 H. diantara karya imiyahnya adalah : al-Gunyat al-Thariq
al-Haqq, Fath al-Rabbani Futh al-Gaib. Lihat : Khairuddin al-Ziraqi
op. cit., hlm. 171.
[11] Ia adalah Abu
al-Abbas Ahmad al-Habib Bin Muhammad (w. 1165 H.).
[12] Thariqat ini di
nisbahkan kepada Abu Ahmad al-Thawwasi (w. 1204 H.).
[13] Thariqat ini
dinisbahkan kepada nama pendirinya yaitu Syekh Muhammad al-Khalwati yang
mempunyai dasar amalan membaca zdikir : Laailaahaillallah dan
asma Allah sbb : Hayy, Qahhar, Wahhab, Fattah, Wahid, Ahad, Samad, dan Qayyum.
[14] Kitab ini sangat
popular di kalangan peminat tasawwuf di Indonesia, di susun oleh : Ahmad Ibn
Muhammad Ibn ‘Ataillah al-Sakandari, yang membicarakan berbagai macam suluk seperti ikhlas, uzlah,
dan Zuhd. Kemudian diberi sarah oleh Ibn ‘Ajibah, dengan nama ‘Iqadz
al-Himam fi Syarh al-Hikam.
[15] Qutbaniat
al-’udzma adalah maqam untuk pembesar wali Qutb dan
diantara nama pembesar wali Qutb adalah Qutb al-Jami’ dan Qutb
al-Kamil, lihat : Abd Al-Razaq al-Kasyani, Istilah
al-Sufiyah, (Mesir : Dar al-Ma’arif, 1984), hlm, 153.
[16] Di antara murid
Syekh Saman di Indonesia adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan
Syekh Abd. Somad Al-Palimbani, lihat : Abd. Somad al-Palimbani,Sair
al-Salikin ila ‘ibadah Rab al-‘Alamin, (Kairo : tp. 1953), Juz III,
hlm. 39.
[17] Al-Qutb al-Jami adalah
: Maqam Pembesar Wali Qutb.
[18] Ali Harazim, op.cit.
hlm. 43.
[19] KH. Fauzan, op.
cit., hlm. 61.
[20] Pejelasan maqam
wali ini bisa dilihat dalam pembahasan “Wali Khatm”.
[21] Lihat : Pembahasan
“Tradisi Ritual Thariqat Tijaniyah”.
[22] Ia adalah amir di
Maroko yang memerintah dari tahun1793-1822. Lihat : Trimingham, The
Shfi Orders in islam, (London : Oxford University Press, 1973), hlm.
111.
[23] Martin Van
Bruinessen, “Syekh Ahmad al-Tijani sebagai Tokoh kebangkitan Islam dan
Tarekat Tijaniyah sebagai Penyebar Agama”, hlm. 8, makalah disampaikan pada
peringatan Id al-Khatm Syekh Ahmad al-Tijani di Pondok
Pesatren Buntet Cirebon, Tahun 1987.
[24] Ali Harazim, op.
cit., hlm. 136
[25] Harun Nasution,
(ed), Thoriqat Qadariyah Naqsabandiyah :Sejarah asal-usul dan perkembangannya,
(Tasikmalaya : IAILM, 1990), hlm. 70.
[26] Muqaddam adalah
murid yang dilantik oleh Syekh (Guru tarekat) karena dianggap telah memenuhi pesyaratan untuk memberikan
talqin tarekat.
[27] Wasiat Syekh Ahmad
al-Tijani secara lengkap, lihat : Ali Harazim, op.cit. Juz II. hlm. 151-184.
Terjemahan bahasa Indonesianya bisa dilihat dalam Drs. Misbahul Anam dan
Miftahuddin, MA., Mutiara Terpendam : Jakarta, Darul Ulum
Press. 2003.
[28] Al-Taftazani, Abu
al-Wafa al-, Sufi dari zaman ke zaman, (Bandung : Pustaka Salman,
1985), hlm. 244.
[29] Taftazani, op.
cit., hlm. 245.