Hayyul Qoyyumu Atau Hayyal Qoyyuma
Oleh; H. Rizqi Dzulqornain
al-Batawiy
بسم الله الرحمن الرحيم
حمدا
له أظهر في الوجود *** نور حقيقة النبي المحمود
وصل يا رب على محمد *** الفاتح الخاتم طه الأمجد
وناصر الحق وهادينا الى *** صراطك القويم نهج الفضلا
وآله بحق قدره الفخيم *** وجاه مقدار مقامه العظيم.
أما بعد:
Pertanyaan Saudara Muhammad Zabih at-Tijaniy dari Kampung baru Jakarta Timur:
أَسْتَغْفِرُ
اللَّهَ العظيمَ الَّذِي لَا إِله إِلا هوَ الحيَّ القيومَ
Redaksi istighfar di atas merupakan dzikir yang datang dari
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan menjadi salah satu menu bacaan
wazhifah Thoriqoh Tijaniyah. Sebagian orang membaca dengan “Hayyul Qayyum” dan
ada juga membaca dengan “Hayyal Qayyum”.
Pertanyaan saya, bagaimana bacaan yang benar mengenai dua redaksi
di atas Huwa al-Hayyul Qayyumu” atau Huwa al-Hayya al-Qayyuma”? mengapa
dalam redaksi bacaan wazhifah thoriqoh Tijaniyah tidak menggunakan kalimat Wa
Atubu Ilaihi sebagai mana pada redaksi hadis Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam:
أستَغْفِر الله العظيم الذي لَا إلهَ إلَّا هُوَ الحَي القَيُّومُ
وَأتُوبُ إلَيهِ
(Aku
memohon ampun kepada Allah, Yang tiada tuhan yang berhak diibadahi dengan benar
selain Dia, Yang Maha Hidup, Yang Maha Mengurus, dan aku bertobat kepada-Nya).
Jawaban:
Mengenai cara membaca dua redaksi di atas, baik dibaca dengan “al-Hayyul
Qoyyumu” dan “al-Hayyal Qoyyuma”, keduanya boleh dan benar. Yang membaca “al-Hayyul
Qoyyumu” (dirafa’kan) memiliki alasan kata al-Qayyumu menjadi Khabar dari Huwa
yang ada di depannya. Sedangkan yang membaca al-Hayyal Qoyyuma (dinashabkan)
karena menjadi sifat dari lafazh Allah yang dibaca Nasab. Dan kalimat (الَّذِي
لَا إِله إِلا هوَ) menjadi
jumlah al-Mu’taridhah (kalimat sisipan).
Kedua bentuk bacaan di atas telah disinyalir oleh Imam Ibn Malik
dalam Alfiyahnya:
وارفع او انصب
إن قطعت مضمرا * مبتدأ أو ناصباً لن يظهرا
Artinya: “Rafa’kan dan Nashabkanlah. Dibaca Rafa’, jika kau
putuskan itu karena menyimpan Dhamir yang menjadi mubtada. Dibaca Nashab, tanpa
menampakkan amilnya."
Para ulama dalam kitab-kitab Syarh Hadis juga memberikan komentar
terkait dua bacaan tersebut di antaranya:
Imam Syarafuddin al-Husain Bin Abdullah at-Thibiy (wafat tahun 743
Hijriyah) dalam kitab Syarh Misykah al-Mashabih jilid 6 halaman 1855, menyebutakan:
قوله: ((الحي القيوم))
يجوز فيهما النصبُ صفةً لـ ((اللهَ))، أَوْ مَدْحًا، وَالرَّفْعُ بَدَلًا مِنَ
الضَّمِيرِ، أَوْ عَلَى الْمَدْحِ، أَوْ عَلَى أَنَّهُ خَبَرُ مُبْتَدَأٍ
مَحْذُوفٍ.
Artinya: “Perkataan (al-Hay dan al-Qoyyum), keduanya boleh
dibaca nashab (al-Hayyal Qoyyuma) karena menjadi sifat dari lafazh Allah
(Allaha, yang dibaca Nashab) Atau karena menjadi Madh (pujian). Dibaca Rafa’
karena menjadi Badal dari isim Dhamir (Huwa, yang menempati posisi Rafa’), bisa
juga menjadi Madh (pujian) atau menjadi Khabar dari Mubtada yang dibuang.”
Imam Jalaluddin al-Suyuthiy dalam kitab Qut al-Mughtadziy Ala
al-Jami’ at-Tirmidziy jilid 2 halaman 965, menegaskan:
يجوز في الحي القيوم النصب، صفة
الله تعالى أو مدحًا، وَالرفع بدلاً من الضّمير، أو خبر مبتدأ محذوف على المدح
".
Artinya: “Redaksi al-Hayy dan al-Qoyyum boleh dibaca Nashab
karena menjadi shifat dari lafazh Allah atau juga menjadi Madh. Redaksi al-Hayy
dan al-Qoyyum juga boleh dibaca Rafa’ dengan alasan menjadi Badal atau khabar
dari mubtada yang dibuang atas dasar Madh (pujian).”
Syekh Mula Ali al-Qariy (wafat tahun 1014 Hijriyah) dalam kitab
Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih jilid 4 halaman 1631, menyatakan:
(الْحَيَّ الْقَيُّومَ» ) : رُوِيَ بِالنَّصْبِ عَلَى الْوَصْفِ
لِلَفْظِ اللَّهِ، وَبِالرَّفْعِ لِكَوْنِهِمَا بَدَلَيْنِ، أَوْ بَيَانَيْنِ
لِقَوْلِهِ هُوَ، وَالْأَوَّلُ هُوَ الْأَكْثَرُ وَالْأَشْهَرُ.
Artinya: “Al-Hayyal Qoyyum diriwayatkan dengan dibaca Nashab,
sebab menjadi sifat dari lafazh Allah. Dibaca al-Hayyul Qoyyuma dengan Rafa’
karena menjadi Badal atau Bayan dari kata Huwa. Bacaan nashab (al-Hayyal
Qoyyum) itu lebih sering, banyak diucapkan dan sangat familier.”
Beliau menambahkan keterangannya masih pada jilid 4 halaman 1667:
وَقَالَ
ابْنُ حَجَرٍ: رَفْعُهُمَا عَلَى أَنَّهُ نَعْتٌ لِهُوَ وَاقْتَصَرَ عَلَيْهِ
وَهُوَ قَوْلٌ مَرْجُوحٌ نُسِبَ إِلَى الْكِسَائِيِّ، وَالْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ
الضَّمِيرَ لَا يُوصَفُ
Artinya: “Ibn Hajar mengatakan bahwa merofa’kan keduanya (al-Hayyul
Qoyyum) atas dasar menjadi naat bagi lafaz Huwa dan menyederhanakannya
merupakan pendapat lemah yang dihubungkan kepada Imam al-Kisa’iy. Sedangkan Menurut
mayoritas ulama bahwasanya Isim Dhamir tidak boleh dishifati.”
Syekh Muhammad Allan as-Shiddiqiy al-Makkiy (wafat tahun 1057
Hijriyah) dalam kitab al-Futuhat ar-Rabbaniyyah jilid 7 halaman 288,
menjelaskan:
قوله: (الحي القيوم) بنصبهما
صفة الله أو لهو بناء على المرجوح أنه في محل النصب أو مدحاً ورفعهما بدلاً من
الضمير بناء على الأفصح أنه في محل رفع أو على المدح أو على أنه خبر لمبتدأ محذوف
Artinya: “Kata al-Hayya al-Qoyyuma” keduanya dibaca nashab,
menjadi sifat dari lafaz Allah atau sifat bagi lafaz Huwa. Uraian tersebut didasarkan
atas pendapat yang lemah yakni Huwa dalam kondisi Nashab. Atau boleh juga
sebagai Madh. Sedangkan membaca dengan redaksi al-Hayyul Qoyyum, sebagai Badal
dari isim Dhamir (Huwa). Bacaan al-Hayyul Qayyum ini bacaan yang afshah (paling
fasih) karena Huwa dalam kondisi Rafa’. kata al-Hayyu dan al-Qoyyum juga sebagai
Madh atau Khabar bagi mubtada yang dibuang.
Syekh Ibrahim al-Bajuriy (wafat tahun 1277 Hijriyah) dalam Hasyiyah
Ibn Qasim jilid 1 halaman 233, melaporkan:
استغفر الله اي اطلب
منه المغفرة فالسين والتاء للطلب . وقوله العظيم ضفة أولى للفظ الشريف . وقوله
الذي صفة ثانية له . وقوله لا اله الا هو صلة للذي . وقوله الحي اي ذا الحياة
القديمة صفة ثالثة للفظ الشريف . وقوله القيوم اي القائم بتدبير عباده صفة رابعة
Artinya: “Astaghfirullaha” maknanya saya minta ampunan dari
Allah. Huruf sin dan ta menunjukan arti permohonan. Kata al-Azhima, menjadi
sifat pertama dari lafaz Allah yang mulia. Kata Alladzi, menjadi sifat kedua. Kalimat
La Ilaha Illa Huwa menjadi silat bagi Alladzi. Kata al-Hayya, berarti yang maha
hidup (terdahulu), menjadi sifat ketiga dari lafaz mulia. Kata al-Qoyyuma,
berarti yang mengatur seluruh hambaNya, menjadi sifat keempat.
Kesimpulannya, Ulama berbeda pendapat dalam mentahqiq bacaan yang
paling fasih dari bacaan al-Hayy dan al-Qoyyum pada istighfar di atas. Membaca
dengan “al-Hayyul Qayyum” kudu banyak mengeluarkan ongkos karena I’rabnya midi (mulai)
dari awal dengan menjadikan Huwa menjadi Mubtada dan al-Hayyu menjadi Khabar. Sedangkan
membaca dengan bacaan “al-Hayyal Qoyyum” lebih simple karena langsung
menjadikannya sebagai sifat. Ya silahkan, bagi yang punya kelebihan financial
untuk membaca al-Hayyul Qoyyum. Tafaddhol juga, buat yang mau simple membaca
al-Hayyal Qayyuma. Keduanya cuma masalah siapa yang mau Long Time dan Short
time?
Adapun dalam bacaan wazhifah Thoriqoh Tijaniyah kita kudu baca sesuai talqin para muqaddam thariqah tijaniyah. Di zawiyah kubro Fes Maroko dibaca dengan “Huwal
Hayyul Qoyyum” . Adapun di tempat lain ada yang membaca Hayyal Qoyyum.
Redaksi istighfar dalam bacaan Wazhifah Thariqah Tijaniyah tidak
menggunakan wa atubu ialihi, sebagaimana dinyatakan oleh al-Arif Billah
al-Arabiy Bin Saih al-Umariy rahimahullah dalam kitab Bughyah al-Mustafid Syarh
Munyatul Murid halaman 361: Bahwasanya redaksi istighfar yang memakai tambahan
wa atubu ilaihi ataupun tidak, keduanya disebutkan dalam riwayat hadis
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Hanya saja khusu dalam bacan wazhifah
Thoriqah Tijaniyah mencukupkan sampai redaksi Huwal Hayyul Qoyyum tanpa Wa
atubu ilahi. Dengan alasan, bila seseorang membaca istighfar tanpa Wa atubu
ilaihi itu sekedar sebuah pengakuan terhadap dosa dan ia mohon diampuni dosa
tersebut. jika disatu saat ia kembali mengerjakan dosa, maka ia tidak kena
pasal dan tidak disebut sebagai pendusta. Sedangkan pernyataan Wa atubu ilaihi berarti
“Aku konsisten bertaubat kepadaNya” Kalimat taubat mencakup makna kembali kepada
Allah, penyesalan sedalam-dalamnya atas dosa, tidak akan pernah lagi kembali
mengerjakan dosa. Apabila pernyataan tersebut dia ucapkan dan di satu saat ia
mengerjakan dosa lagi, maka ia kena pasal berlapis dan disebut pendusta karena
adanya istihza (maen-maen dalam bertaubat).
Imam an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar halaman 404 menyebutkan:
عَنْ الرَّبِيع بْن
خَيْثَمٍ أَنَّهُ قَالَ: لَا تَقُلْ: أَسْتَغْفِر الله وَأَتُوب إِلَيْهِ ,
فَيَكُون ذَنْبًا وَكَذِبًا إِنْ لَمْ تَفْعَل
Artinya: “Dari ar-Rabi’ Bin Khaitsam ia berkata: Jangan kau
ucapkan kalimat istighfar (astaghfirullah) dengan menambahkan wa atubu ilaihi,
karena akan mendatangkan dosa dan mengandung kebohongan bila ia tidak
benar-benar amalkan taubatnya.”
Syekh Ibn Allan as-Shiddiqiy berkata dalam al-Futuhat ar-Rabbaniyah
jilid 7 halaman 288:
ينبغي
ألا يتلفظ بهذا إلا إذا كان صادقاً فيه في باطن الأمر كظاهره وإلا كان كاذباً بين
يدي الله تعالى فيخشى عليه مقته
Artinya: “Semestinya seseorang
dalam beristighfar mencukupkan dengan redaksi Astaghfirullahal azhim al-Ladzi
La Ilaha Illa Huwal Hayyul Qoyyum (tanpa menyebut wa atubu ilaihi), kecuali
bila memang kondisi dirinya secara batin telah benar-benar yakin dan mantap
dalam taubatnya sama dengan zhahirnya. Bila ia baca dengan tambahan wa atubu
ialaihi padahal tidak sama antara kondisi zhohir dan batinnya, maka ia adalah
pendusta dalam pandangan Allah Taala dan dikhwatirkan dirinya mendapat la’nat
Allah.
Ibn Hajar al-Asqalaniy dalam Fathul
Bari Syarh Shahih al-Bukhari jilid 13 halaman 472 menyebutkan:
هَذَا
فِي لَفْظ أَسْتَغْفِر الله الَّذِي لَا إِلَه إِلَّا هُوَ الْحَيّ الْقَيُّوم،
وَأَمَّا أَتُوب إِلَيْهِ فَهُوَ الَّذِي عَنَى الرَّبِيع رَحِمَهُ الله أَنَّهُ
كَذِب , وَهُوَ كَذَلِكَ إِذَا قَالَهُ وَلَمْ يَفْعَل التَّوْبَة كَمَا قَالَ .
Lafaz astaghfirullah dan seterusnya
sampai Huwal hayyul Qoyyum. Adapun tambahan Wa atubu ilaihi yang dimaksudkan
oleh ar-Rabi Bin Khaitsam rahimahullah sebagai sebuah kedustaan kepada Allah
memang benar adanya seperti itu apabila diucapkan tetapi tidak bertaubat dengan
benar sebagaimana ucapannya.
Dikutip ulang dari kitab ittihaful
amajid bi nafaisil fawaid karya al-Qadhi Abu Mun'yah as-Sakunjiy at-Tijaniy
jilid 2 halaman 253.
Khadimul Majlis al-Mu'afah
H. Rizqi Dzulqornain al-Batawiy
instagram.com/rizkialbatawi
instagram.com/Zulqornain_Muafiy
********* ******** ********
يا فالق الحب والنوى، أعط كل واحد من الخير ما نوى، وارفع عنا كل
شكوى، واكشف عنا كل بلوى، وتقبل منا كل نجوى، وألبسنا لباس التقوى، واجعل الجنة
لنا مأوى .
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا
أُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ، نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ وَالْهَادِي
إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ، وَعَلىَ آلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ
العَظِيْمِ.
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلامٌ
عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Alamat Yayasan al-Muafah
Jalan Tipar Cakung Rt: 05 Rw 08 NO:
5 Kampung Baru, Cakung Barat 13910
16 komentar:
Alhamdulillah...jadi faham dah
رب زدنا علما وارزقنا فهما
Alhamdulillah Kyai
Wassyukru lillah
Aye udah lama pake nyeng Long Time baginda, kan enak rada panjangan.....
Gentaaaq
Alhamdulillah sudah jelas baginda, terima kasih atas ilmunya.
syukron atas pencerahannya
Jadi paham...yg tadinya masih kurang paham....
Terima kasih guru
Nambah ilmu nahwunya...jazakalloh khoir baginda
Alhamdulillah paham ana kyai penjelasan, jadi tau skrng syukron kyai
Jazakallahu khairan kyai...
Berarti selama ini istigfar saya ini wajib untuk diistigfari lagi karena belum bisa konsisten dalam bertaubat
Ikuti:
Instagram; @rizkialbatawi
Pagefacebook: Rizqi Zulqornain Albatawi
توجكم الله بتاج العز والقبول وبلغكم كل سول ومأمول
آمين
Syukron Ustadz... Jazakumulloh Khoiran Katsiran
qobiltu ijazah fahamah yai..
alhamdulillah jelas sekali yi 👍
Posting Komentar