Senin, 13 November 2017

Hayyul Qoyyumu Atau Hayyal Qoyyuma

Hayyul Qoyyumu Atau Hayyal Qoyyuma

Oleh; H. Rizqi Dzulqornain al-Batawiy

بسم الله الرحمن الرحيم

 حمدا له أظهر في الوجود *** نور حقيقة النبي المحمود
وصل يا رب على محمد *** الفاتح الخاتم طه الأمجد
وناصر الحق وهادينا الى *** صراطك القويم نهج الفضلا
وآله بحق قدره الفخيم *** وجاه مقدار مقامه العظيم.

أما بعد:

Pertanyaan Saudara Muhammad Zabih at-Tijaniy dari Kampung baru Jakarta Timur:

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ العظيمَ الَّذِي لَا إِله إِلا هوَ الحيَّ القيومَ

Redaksi istighfar di atas merupakan dzikir yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan menjadi salah satu menu bacaan wazhifah Thoriqoh Tijaniyah. Sebagian orang membaca dengan “Hayyul Qayyum” dan ada juga membaca dengan “Hayyal Qayyum”.

Pertanyaan saya, bagaimana bacaan yang benar mengenai dua redaksi di atas Huwa al-Hayyul Qayyumu” atau Huwa al-Hayya al-Qayyuma”? mengapa dalam redaksi bacaan wazhifah thoriqoh Tijaniyah tidak menggunakan kalimat Wa Atubu Ilaihi sebagai mana pada redaksi hadis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

أستَغْفِر الله العظيم الذي لَا إلهَ إلَّا هُوَ الحَي القَيُّومُ وَأتُوبُ إلَيهِ

(Aku memohon ampun kepada Allah, Yang tiada tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, Yang Maha Hidup, Yang Maha Mengurus, dan aku bertobat kepada-Nya).

Jawaban:

Mengenai cara membaca dua redaksi di atas, baik dibaca dengan “al-Hayyul Qoyyumu” dan “al-Hayyal Qoyyuma”, keduanya boleh dan benar. Yang membaca “al-Hayyul Qoyyumu” (dirafa’kan) memiliki alasan kata al-Qayyumu menjadi Khabar dari Huwa yang ada di depannya. Sedangkan yang membaca al-Hayyal Qoyyuma (dinashabkan) karena menjadi sifat dari lafazh Allah yang dibaca Nasab.  Dan kalimat (الَّذِي لَا إِله إِلا هوَ) menjadi jumlah al-Mu’taridhah (kalimat sisipan).

Kedua bentuk bacaan di atas telah disinyalir oleh Imam Ibn Malik dalam Alfiyahnya:

وارفع او انصب إن قطعت مضمرا * مبتدأ أو ناصباً لن يظهرا

Artinya: “Rafa’kan dan Nashabkanlah. Dibaca Rafa’, jika kau putuskan itu karena menyimpan Dhamir yang menjadi mubtada. Dibaca Nashab, tanpa menampakkan amilnya."

Para ulama dalam kitab-kitab Syarh Hadis juga memberikan komentar terkait dua bacaan tersebut di antaranya:

Imam Syarafuddin al-Husain Bin Abdullah at-Thibiy (wafat tahun 743 Hijriyah) dalam kitab Syarh Misykah al-Mashabih jilid 6 halaman 1855, menyebutakan:

قوله: ((الحي القيوم)) يجوز فيهما النصبُ صفةً لـ ((اللهَ))، أَوْ مَدْحًا، وَالرَّفْعُ بَدَلًا مِنَ الضَّمِيرِ، أَوْ عَلَى الْمَدْحِ، أَوْ عَلَى أَنَّهُ خَبَرُ مُبْتَدَأٍ مَحْذُوفٍ.

Artinya: “Perkataan (al-Hay dan al-Qoyyum), keduanya boleh dibaca nashab (al-Hayyal Qoyyuma) karena menjadi sifat dari lafazh Allah (Allaha, yang dibaca Nashab) Atau karena menjadi Madh (pujian). Dibaca Rafa’ karena menjadi Badal dari isim Dhamir (Huwa, yang menempati posisi Rafa’), bisa juga menjadi Madh (pujian) atau menjadi Khabar dari Mubtada yang dibuang.”

Imam Jalaluddin al-Suyuthiy dalam kitab Qut al-Mughtadziy Ala al-Jami’ at-Tirmidziy jilid 2 halaman 965, menegaskan:

يجوز في الحي القيوم النصب، صفة الله تعالى أو مدحًا، وَالرفع بدلاً من الضّمير، أو خبر مبتدأ محذوف على المدح ".

Artinya: “Redaksi al-Hayy dan al-Qoyyum boleh dibaca Nashab karena menjadi shifat dari lafazh Allah atau juga menjadi Madh. Redaksi al-Hayy dan al-Qoyyum juga boleh dibaca Rafa’ dengan alasan menjadi Badal atau khabar dari mubtada yang dibuang atas dasar Madh (pujian).”

Syekh Mula Ali al-Qariy (wafat tahun 1014 Hijriyah) dalam kitab Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih jilid 4 halaman 1631, menyatakan:

(الْحَيَّ الْقَيُّومَ» ) : رُوِيَ بِالنَّصْبِ عَلَى الْوَصْفِ لِلَفْظِ اللَّهِ، وَبِالرَّفْعِ لِكَوْنِهِمَا بَدَلَيْنِ، أَوْ بَيَانَيْنِ لِقَوْلِهِ هُوَ، وَالْأَوَّلُ هُوَ الْأَكْثَرُ وَالْأَشْهَرُ.

Artinya: “Al-Hayyal Qoyyum diriwayatkan dengan dibaca Nashab, sebab menjadi sifat dari lafazh Allah. Dibaca al-Hayyul Qoyyuma dengan Rafa’ karena menjadi Badal atau Bayan dari kata Huwa. Bacaan nashab (al-Hayyal Qoyyum) itu lebih sering, banyak diucapkan dan sangat familier.”

Beliau menambahkan keterangannya masih pada jilid 4 halaman 1667:

وَقَالَ ابْنُ حَجَرٍ: رَفْعُهُمَا عَلَى أَنَّهُ نَعْتٌ لِهُوَ وَاقْتَصَرَ عَلَيْهِ وَهُوَ قَوْلٌ مَرْجُوحٌ نُسِبَ إِلَى الْكِسَائِيِّ، وَالْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ الضَّمِيرَ لَا يُوصَفُ

Artinya: “Ibn Hajar mengatakan bahwa merofa’kan keduanya (al-Hayyul Qoyyum) atas dasar menjadi naat bagi lafaz Huwa dan menyederhanakannya merupakan pendapat lemah yang dihubungkan kepada Imam al-Kisa’iy. Sedangkan Menurut mayoritas ulama bahwasanya Isim Dhamir tidak boleh dishifati.”

Syekh Muhammad Allan as-Shiddiqiy al-Makkiy (wafat tahun 1057 Hijriyah) dalam kitab al-Futuhat ar-Rabbaniyyah jilid 7 halaman 288, menjelaskan:

قوله: (الحي القيوم) بنصبهما صفة الله أو لهو بناء على المرجوح أنه في محل النصب أو مدحاً ورفعهما بدلاً من الضمير بناء على الأفصح أنه في محل رفع أو على المدح أو على أنه خبر لمبتدأ محذوف

Artinya: “Kata al-Hayya al-Qoyyuma” keduanya dibaca nashab, menjadi sifat dari lafaz Allah atau sifat bagi lafaz Huwa. Uraian tersebut didasarkan atas pendapat yang lemah yakni Huwa dalam kondisi Nashab. Atau boleh juga sebagai Madh. Sedangkan membaca dengan redaksi al-Hayyul Qoyyum, sebagai Badal dari isim Dhamir (Huwa). Bacaan al-Hayyul Qayyum ini bacaan yang afshah (paling fasih) karena Huwa dalam kondisi Rafa’. kata al-Hayyu dan al-Qoyyum juga sebagai Madh atau Khabar bagi mubtada yang dibuang.

Syekh Ibrahim al-Bajuriy (wafat tahun 1277 Hijriyah) dalam Hasyiyah Ibn Qasim jilid 1 halaman 233, melaporkan:

استغفر الله اي اطلب منه المغفرة فالسين والتاء للطلب . وقوله العظيم ضفة أولى للفظ الشريف . وقوله الذي صفة ثانية له . وقوله لا اله الا هو صلة للذي . وقوله الحي اي ذا الحياة القديمة صفة ثالثة للفظ الشريف . وقوله القيوم اي القائم بتدبير عباده صفة رابعة

Artinya: “Astaghfirullaha” maknanya saya minta ampunan dari Allah. Huruf sin dan ta menunjukan arti permohonan. Kata al-Azhima, menjadi sifat pertama dari lafaz Allah yang mulia. Kata Alladzi, menjadi sifat kedua. Kalimat La Ilaha Illa Huwa menjadi silat bagi Alladzi. Kata al-Hayya, berarti yang maha hidup (terdahulu), menjadi sifat ketiga dari lafaz mulia. Kata al-Qoyyuma, berarti yang mengatur seluruh hambaNya, menjadi sifat keempat.

Kesimpulannya, Ulama berbeda pendapat dalam mentahqiq bacaan yang paling fasih dari bacaan al-Hayy dan al-Qoyyum pada istighfar di atas. Membaca dengan “al-Hayyul Qayyum” kudu banyak mengeluarkan ongkos karena I’rabnya midi (mulai) dari awal dengan menjadikan Huwa menjadi Mubtada dan al-Hayyu menjadi Khabar. Sedangkan membaca dengan bacaan “al-Hayyal Qoyyum” lebih simple karena langsung menjadikannya sebagai sifat. Ya silahkan, bagi yang punya kelebihan financial untuk membaca al-Hayyul Qoyyum. Tafaddhol juga, buat yang mau simple membaca al-Hayyal Qayyuma. Keduanya cuma masalah siapa yang mau Long Time dan Short time?

Adapun dalam bacaan wazhifah Thoriqoh Tijaniyah kita kudu baca sesuai talqin para muqaddam thariqah tijaniyah. Di zawiyah kubro Fes Maroko dibaca dengan “Huwal Hayyul Qoyyum” . Adapun di tempat lain ada yang membaca Hayyal Qoyyum.

Redaksi istighfar dalam bacaan Wazhifah Thariqah Tijaniyah tidak menggunakan wa atubu ialihi, sebagaimana dinyatakan oleh al-Arif Billah al-Arabiy Bin Saih al-Umariy rahimahullah dalam kitab Bughyah al-Mustafid Syarh Munyatul Murid halaman 361: Bahwasanya redaksi istighfar yang memakai tambahan wa atubu ilaihi ataupun tidak, keduanya disebutkan dalam riwayat hadis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Hanya saja khusu dalam bacan wazhifah Thoriqah Tijaniyah mencukupkan sampai redaksi Huwal Hayyul Qoyyum tanpa Wa atubu ilahi. Dengan alasan, bila seseorang membaca istighfar tanpa Wa atubu ilaihi itu sekedar sebuah pengakuan terhadap dosa dan ia mohon diampuni dosa tersebut. jika disatu saat ia kembali mengerjakan dosa, maka ia tidak kena pasal dan tidak disebut sebagai pendusta. Sedangkan pernyataan Wa atubu ilaihi berarti “Aku konsisten bertaubat kepadaNya” Kalimat taubat mencakup makna kembali kepada Allah, penyesalan sedalam-dalamnya atas dosa, tidak akan pernah lagi kembali mengerjakan dosa. Apabila pernyataan tersebut dia ucapkan dan di satu saat ia mengerjakan dosa lagi, maka ia kena pasal berlapis dan disebut pendusta karena adanya istihza (maen-maen dalam bertaubat).

Imam an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar halaman 404 menyebutkan:

عَنْ الرَّبِيع بْن خَيْثَمٍ أَنَّهُ قَالَ: لَا تَقُلْ: أَسْتَغْفِر الله وَأَتُوب إِلَيْهِ , فَيَكُون ذَنْبًا وَكَذِبًا إِنْ لَمْ تَفْعَل

Artinya: “Dari ar-Rabi’ Bin Khaitsam ia berkata: Jangan kau ucapkan kalimat istighfar (astaghfirullah) dengan menambahkan wa atubu ilaihi, karena akan mendatangkan dosa dan mengandung kebohongan bila ia tidak benar-benar amalkan taubatnya.”

Syekh Ibn Allan as-Shiddiqiy berkata dalam al-Futuhat ar-Rabbaniyah jilid 7 halaman 288:

ينبغي ألا يتلفظ بهذا إلا إذا كان صادقاً فيه في باطن الأمر كظاهره وإلا كان كاذباً بين يدي الله تعالى فيخشى عليه مقته

Artinya: “Semestinya seseorang dalam beristighfar mencukupkan dengan redaksi Astaghfirullahal azhim al-Ladzi La Ilaha Illa Huwal Hayyul Qoyyum (tanpa menyebut wa atubu ilaihi), kecuali bila memang kondisi dirinya secara batin telah benar-benar yakin dan mantap dalam taubatnya sama dengan zhahirnya. Bila ia baca dengan tambahan wa atubu ialaihi padahal tidak sama antara kondisi zhohir dan batinnya, maka ia adalah pendusta dalam pandangan Allah Taala dan dikhwatirkan dirinya mendapat la’nat Allah.

Ibn Hajar al-Asqalaniy dalam Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari jilid 13 halaman 472 menyebutkan:

هَذَا فِي لَفْظ أَسْتَغْفِر الله الَّذِي لَا إِلَه إِلَّا هُوَ الْحَيّ الْقَيُّوم، وَأَمَّا أَتُوب إِلَيْهِ فَهُوَ الَّذِي عَنَى الرَّبِيع رَحِمَهُ الله أَنَّهُ كَذِب , وَهُوَ كَذَلِكَ إِذَا قَالَهُ وَلَمْ يَفْعَل التَّوْبَة كَمَا قَالَ  .

Lafaz astaghfirullah dan seterusnya sampai Huwal hayyul Qoyyum. Adapun tambahan Wa atubu ilaihi yang dimaksudkan oleh ar-Rabi Bin Khaitsam rahimahullah sebagai sebuah kedustaan kepada Allah memang benar adanya seperti itu apabila diucapkan tetapi tidak bertaubat dengan benar sebagaimana ucapannya.


Dikutip ulang dari kitab ittihaful amajid bi nafaisil fawaid karya al-Qadhi Abu Mun'yah as-Sakunjiy at-Tijaniy jilid 2 halaman 253.




Khadimul Majlis al-Mu'afah
H. Rizqi Dzulqornain al-Batawiy


instagram.com/rizkialbatawi


instagram.com/Zulqornain_Muafiy



 ********* ******** ********

يا فالق الحب والنوى، أعط كل واحد من الخير ما نوى، وارفع عنا كل شكوى، واكشف عنا كل بلوى، وتقبل منا كل نجوى، وألبسنا لباس التقوى، واجعل الجنة لنا مأوى .

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ، نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ وَالْهَادِي إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ، وَعَلىَ آلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ العَظِيْمِ.
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.


Alamat Yayasan al-Muafah


Jalan Tipar Cakung Rt: 05 Rw 08 NO: 5 Kampung Baru, Cakung Barat 13910

16 komentar:

Ali fikri mengatakan...

Alhamdulillah...jadi faham dah

Unknown mengatakan...

رب زدنا علما وارزقنا فهما

Adi Putra mengatakan...

Alhamdulillah Kyai

Unknown mengatakan...

Wassyukru lillah

Abdul Kodir mengatakan...

Aye udah lama pake nyeng Long Time baginda, kan enak rada panjangan.....



Gentaaaq

dede akhadiyat mengatakan...

Alhamdulillah sudah jelas baginda, terima kasih atas ilmunya.

Unknown mengatakan...

syukron atas pencerahannya

baonSinamur mengatakan...

Jadi paham...yg tadinya masih kurang paham....
Terima kasih guru

baonSinamur mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Opan Sopian mengatakan...

Nambah ilmu nahwunya...jazakalloh khoir baginda

Abdul khodir - al betawie mengatakan...

Alhamdulillah paham ana kyai penjelasan, jadi tau skrng syukron kyai

Unknown mengatakan...

Jazakallahu khairan kyai...
Berarti selama ini istigfar saya ini wajib untuk diistigfari lagi karena belum bisa konsisten dalam bertaubat

Unknown mengatakan...

Ikuti:

Instagram; @rizkialbatawi

Pagefacebook: Rizqi Zulqornain Albatawi


توجكم الله بتاج العز والقبول وبلغكم كل سول ومأمول

آمين

Unknown mengatakan...

Syukron Ustadz... Jazakumulloh Khoiran Katsiran

Galih mengatakan...

qobiltu ijazah fahamah yai..

Anonim mengatakan...

alhamdulillah jelas sekali yi 👍