Posisi Dua Tangan Saat I'tidal
(Sedakep Saat I'tidal)
Oleh: H. Rizqi Dzulqornain al-Batawiy
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين .
اللهم نسألك أن تصليا *** على حبيبك إمام الأنبيا
صل على الفاتح ما قد أغلق *** محمد الخاتم ما قد سبق
وناصر الحق العلي بالحق *** سيدنا الهادي لكل الخلق
الى صراطك القويم المستقيم *** والأل مقدر قدره العظيم
Dimana Posisi Kedua tangan saat I'tidal?
Pengertian I’tidal
A. Pengertian
Etimologi
I’tidal menurut etimologi (bahasa)
adalah
اَلْمُسَاوَاةُ وَ الِاسْتِقَامَةُ
Artinya:”Sama dan lurus“[1]
B. Pengertian
Terminologi
I’tidal menurut terminologi
(Istilah):
عَوْدُ الْمُصَلِّي إلَى مَا رَكَعَ مِنْهُ مِنْ قِيَامٍ أَوْ قُعُودٍ
Artinya : Kembalinya orang yang
shalat kepada keadaan sebelumnya ruku’, dari pada berdiri atau duduk.”[2]
Imam Zainuddin Ibnu Wardi mengatakan
dalam Nazham Bahjah al-Hawiy:
وَالِاعْتِدَالُ عَوْدُهُ إلَى مَا * مِنْ قَبْلِهِ قُعُودًا
أَوْ قِيَامَا .
Artinya:”I’tidal yaitu kembalinya
orang yang shalat kepada keadaan sebelum ruku’ baik ia shalat dengan duduk atau
berdiri.”[3]
Imam Ahmad Bin Husen yang terkenal
dengan sebutan Ibnu Ruslan atau Ibnu Arsalan mengatakan:
لِرُكْبَةٍ بِاْلاِنْحِنَا والاِعْتِدَالْ * عَوْدٌ إِلَى مَا كَانَ
قَبْلَهُ فَزَالْ
Artinya:”Ruku’ dengan cara menundukan
kepala sekira telapak tangan mencapai lutut. I’tidal yaitu kembalinya orang
yang ruku’ kepada keadaan sebelumnya.” [4]
I’tidal merupakan rukun shalat baik
shalat Fardhu ataupun shalat sunnah menurut Qaul Mu’tamad. Hal ini sebagaimana
dishahihkan oleh Imam Muhyiddin Yahya Bin Syaraf al-Nawawiy al-Dimasyqiy dalam
kitab al-Tahqiq. Sedang menurut Qaul Dhaif (pendapat lemah) I’tidal
hukumnya tidak wajib pada shalat sunnah.
Menurut Qaul Mu’tamad, I’tidal
merupakan salah satu Ruknul Qashir (rukun pendek) dimana seseorang
tidak boleh berlama-lama mengerjakannya melainkan dengan membaca dzikir yang
warid (disunnahkan) ditambah dengan kadar membaca surat al-Fatihah. Jika
seseorang melakukan I’tidal melebihi dari batas waktu tersebut, misalnya waktu
membaca dzikir I’tidal dan ditambah sekira-kira orang membaca al-Fatihah
selesai membutuhkan waktu satu menit kemudian ia perpanjang I’tidalnya lebih
dari satu menit, niscaya bathallah shalatnya jika ia lakukan dengan
sengaja-ngaja dan ia tahu akan kebathalannya.[5] Kecuali I’tidal pada rakaat terakhir, berlama-lama
padanya tidak membathalkan shalat dengan alasan I’tidal terakhir itu tempat
Qunut, baik Qunut Ratibah (Shalat Shubuh Dan shalat witir pada bulan
Ramadan mulai dari malam 16 hingga akhir) dan Qunut Nazilah (ada
mushibah). Menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitamiy, Qunut Nazilah tidak disunnahkan
pada shalat-shalat sunnah, shalat Nazar dan makruh bila dilakukan pada shalat
Janazah.[6]
Menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitamiy,
berlama-lama pada saat I’tidal rakaat terakhir tidak membathalkan shalat
seseorang sekalipun ia tidak melakukan Qunut. Sedangkan menurut pendapat Imam
Muhammad al-Ramliy berlama-lama padanya dengan selain melakukan Qunut dapat
membathalkan shalat. Hal Ini dinyatakan oleh Syaikh Ali Bashabrin:
لاَ يَضُرُّ تَطْوِيْلُ اِعْتِدَالِ الرَّكْعَةِ اْلأَخِيْرَةِ وَلَوْ
بِغَيْرِ قُنُوْتٍ عِنْدَ ابْنِ حَجَرٍ وَقَالَ مُحَمَّدُ الرَّمْلِيُّ يَضُرُّ
بِغَيْرِ الْقُنُوْتِ .
Artinya:”Melamakan I’tidal pada
rakaat terakhir tidak membathalkan shalat sekalipun bukan melakukan Qunut
menurut Imam Ibnu Hajar. Aedangkan menurut Imam Muhammad al-Ramli, dapat
membathalkan dengan mengerjakan yang selain Qunut.”[7]
Sedang Ruknul Qashir kedua
adalah duduk di antara dua sujud. I’tidal disyariatkan sebagai pemisah antara
ruku’ dan sujud.
Tata cara I’tidal
Batas minimal I’tidal atau bangkit
dari ruku’ adalah kembalinya keadaan tulang punggung atau tulang belakang
seperti keadaan sebelum ruku’. Karena I’tidal merupakan fardhu atau rukun
shalat, maka thuma’ninah pun wajib pada waktu I’tidal. Sebagaimana dinyatakan
oleh Syaikh Syarafuddin Yahya al-Amrithiy dalam Nazham Taisir al-Tahrir:
ثُمَّ الرُّكُوْعُ تَطْمَئِنُّ فِيْهِ * وَفِي الثَّلاَثَةِ الَّتِي
تَلِيْهِ
Artinya:”Pada saat ruku’ hendaknya
engkau lakukan thuma’ninah dan pada tiga rukun yang setelahnya.”
Imam Abdullah al-Syarqawiy
menjelaskan Nazham tersebut: “Thuma’ninah hukumnya wajib pada ruku’ dan tiga
rukun setelahnya yakni I’tidal, sujud dan duduk antara dua sujud.
Dalam sebuah hadis yang bertemakan al-Musi
Shalatahu (orang yang rusak shalatnya), Rasulullah mengajarkan cara shalat
yang benar kepada salah seorang sahabat yang bernama Khallad Bin Rafi’
al-Zuraqiy:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ
عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ السَّلَامَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ
فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
ثَلَاثًا فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ
فَعَلِّمْنِي قَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا
تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا
ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى
تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا .
Artinya:”Dari Abu Hurairah:
sesungguhnya Nabi masuk ke masjid, maka masuklah juga seorang lelaki ia
mengerjakan shalat kemudian ia datang mengucapkan salam kepada Nabi, maka
beliau menjawab salamnya lalu beliau berkata: ulangilah shalatmu, seseungguhnya
kamu belum shalat, maka lelaki itu mengulangi shalatnya. Kemudian ia datang
mengucapkan salam kepada Nabi, lalu beliau berkata ulangilah shalatmu,
seseungguhnya kamu belum shalat. Beliau mengatakan itu sebanyak 3 kali. Lelaki
itu bertanya kepada beliau, Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak
bisa melakukan yang lebih bagus lagi, maka ajarkanlah diriku. Beliau
bersabda:”Apabila kamu hendak shalat, maka takbirlah kemudian bacalah yang
mudah bagimu dari ayat al-Qur’an kemudian ruku’lah sehingga kamu thuma’ninah
dalam ruku‘, kemudian bangunlah kamu beri’tidal dalam kondisi berdiri,
kemudian kamu sujud hingga kamu melakukan thuma’ninah, kemudain bangunlah dalam
kondisi duduk, kemudian sujud dengan thuma’ninah. Lakukanlah seperti itu pada seluruh
shalatmu.”
Dalam keterangan hadis lain, Imam
al-Bukhariy menyebutkan:
فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ ُأَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ
لِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُهُ إِذَا
كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ
مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى
يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ .
Artinya:”Abu Humaid al-Sa’idiy
berkata: Aku adalah orang yang paling tahu shalatnya Rasulullah di antara
kalian. Aku melihat beliau takbir, beliau menjadikan kedua tangannya sejajar
dengan dua bahunya, apabila beliau ruku’ dua tangannya sampai kepada dua
lututnya kemudian beliau ratakan punggungnya, maka apabila beliau mengangkat
kepalanya, beliau berdiri tegak hingga tulang-tulang punggung kembali kepada
tempatnya.”
Imam al-Tirmidziy meriwayatkan:
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُجْزِئُ صَلَاةٌ لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ فِيهَا صُلْبَهُ
فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ
Artinya:”Dari Abdullah Bin Mas’ud
berkata: Rasulullah bersabda: Tidak sah shalat seseorang dimana ia tidak
menegakkan tulang rusuknya pada saat ruku’ dan sujud.”
Setelah orang yang shalat melakukan
ruku’ dengan sempurna atau thuma’ninah, lalu ia bangkit, seraya mengangkat
kepalanya. Disunnahkan ketika I’tidal mengangkat kedua tangan berbarengan
dengan permulaan mengangkat kepala sekira dua ibu jari kedua tangan sejajar
dengan cuping telinga, dan bagian luar telapak tangan sejajar dengan bahu.
Kaifiyat ini sebagaimana takbir sewaktu takbiratul ihram. Imam Ibnu Ruslan
mengatakan dalam Zubad:
وَالرَّفْعُ لِلْيَدَيْنِ فِي اْلإِحْرَامِ سُنْ *
بِحَيْثُ اْلاِبْهَامُ حِذَا شَحْمِ الأُذُنْ
مَكْشُوْفَةً وفَرِّقِ اْلأَصَابِعَا * ويَبْتَدِي التَّكْبِيْرَ
حِيْنَ رَفَعَا
Artinya:”Disunnahkan mengangkat kedua
tangan saat melakukan takbiratul ihram sekira ibu jari sejajar dengan cuping
telingga. Kedua telapak tangan tersebut dalam keadaan terbuka dan
merenggangkan jari-jari tangan. Dan seseorang memulai ucapan takbir ketika
mengangkat tangan.”
Cara seperti yang disebutkan ini
adalah pendapat yang Mu’tamad dalam mazhab Syafii. Dari banyak keterangan hadis
yang menjelaskan tentang bagaimana cara Rasulullah mengangkat tangan ketika
takbir, Imam Syafii menunjukan kepiawaiannya dalam menjelaskan hadis Rasulullah
dengan metode (اَلْجَمْعُ
وَالتَّوْفِيْقُ) dimana beliau mengkompromikan dan
merekonsiliasikan (menggabung) antara riwayat hadis yang menyatakan bahwa
Rasulullah mengangkat tangan ketika takbir sejajar dengan bahu (pundak) dengan
riwayat yang menyebutkan Rasulullah mangangkat tangan sejajar dengan telinga
beliau.
Hal ini kemudian dimantapkan oleh dua
raksasa ilmu yakni Imam Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam kitab Tuhfah
al-Muhtaj dan Imam Muhammad al-Ramliy dalam kitab Nihayah al-Muhtaj dan Ghayah
al-Bayan Syarh Zubad Ibn Ruslan.
Dalam hal kesunnahan angkat tangan
antara lelaki dan perempuan, Imam Ibnu Hajar al-Asqallaniy mengatakan:
(فَائِدَةٌ) لَمْ يَرِدْ مَا يَدُلُّ عَلَى
التَّفْرِقَةِ فِي الرَّفْعِ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ . وَعَنِ
الْحَنَفِيَّةِ يَرْفَعُ الرَّجُلُ إِلىَ اْلأُذُنَيْنِ وَالْمَرْأَةُ إِلَى
الْمَنْكِبَيْنِ ِلأَنَّهُ أَسْتَرُ لَهَا . وَاللهُ أَعْلَمُ .
Artinya:”(Faidah) Tidak ada
keterangan yang menyatakan perbedaan pada masalah cara angkat tangan antara
lelaki dan perempuan. Para pengikut ulama mazhab Hanafi mengatakan: lelaki mengangkat
kedua tangannya sejajar dengan telinga. Sedangkan perempuan mengangkat kedua
tangannya sejajar dengan kedua bahunya, karena hal demikian lebih menutupi
baginya.”
Kesunnahan mengangkat tangan termasuk
sunnah Haiat yaitu perkara-perkara yang disunnahkan tetapi bila ditinggalkan
baik sengaja atau lupa, maka tidak disunnahkan melakukan sujud sahwi. Adapun
kesunnahan mengangkat tangan itu pada 4 tempat sesuai dengan keterangan hadis
riwayat Imam al-Bukhariy:
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَتَحَ التَّكْبِيرَ
فِي الصَّلَاةِ فَرَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ يُكَبِّرُ حَتَّى يَجْعَلَهُمَا حَذْوَ
مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ فَعَلَ مِثْلَهُ وَإِذَا قَالَ سَمِعَ
اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَعَلَ مِثْلَهُ وَقَالَ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَلَا
يَفْعَلُ ذَلِكَ حِينَ يَسْجُدُ وَلَا حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ .
Artinya:”Sesungguhnya Abdullah Bin
Umar berkata: Aku melihat Rasulullah memulai shalat dengan takbir, maka beliau
mengangkat kedua tangannya ketika takbir beliau jadikan kedua tangannya sejajar
dengan bahunya. Dan apabila beliau ruku’, beliau lakukan seperti itu. Jika
beliau bangun dari ruku’, beliau mengucapkan Sami Allahu Liman Hamidah beliau
mengangkat kedua tangannya. Dan beliau tidak mengangkat kedua tangannya ketika
sujud dan ketika mengangkat kepalanya dari sujud.”
Mengenai 4 tempat dimana seorang yang
shalat disunnahkan mengangkat kedua tangannya, para ulama menjelaskan sebagai
berikut:
ü Ketika melakukan takbiratul
ihram.
ü Ketika hendak turun ruku’.
ü Ketika melakukan I’tidal.
ü Ketika bangun dari duduk
Tasyahhud awal pada rakaat yang kedua.
Adapun ketika bangun setelah
melakukan dua kali sujud dari rakaat pertama dan rakaat ketiga, posisi ini yang
disebut jalsah istirahat, maka tidak disunnahkan mengangkat kedua tangan.
Mengenai batasan takbir, baik pada
takbiratul ihram ataupun takbiratul intiqal lainnya, seseorang tidak boleh
memanjangkan takbir melebihi 7 Alif (14 harakat), karena takbir yang panjangnya
7 Alif dapat membathalkan shalat, dengan alasan bacaan mad itu tidak lebih dari
7 Alif. Syaikh Ali al-Syabramallasiy mengatakan:
وَغَايَةُ مِقْدَارِ مَا نُقِلَ عَنْهُمْ عَلَى مَا نَقَلَهُ ابْنُ
حَجَرٍ سَبْعُ أَلِفَاتٍ وَتُقَدَّرُ كُلُّ أَلْفٍ بِحَرَكَتَيْنِ وَهُوَ عَلَى
التَّقْرِيبِ .
Artinya:”Ukuran maksimal takbir yaitu
sesuatu yang diambil dari pendapat para ulama qiraah atas apa yang ditetapkan
oleh Imam Ibnu Hajar yaitu 7 Alif, dikira-kirakan kurang lebih 1 Alif itu 2
harakat.”
Adapun mengangkat kedua tangan dan
menahannya seperti orang berdoa, yang dilakukan pada setiap bangun dari ruku’
itu tidak disunnahkan bahkan makruh hukumnya. Dengan alasan angkat tangan dan
menahannya seperti orang berdoa hanya disyariatkan ketika I’tidal yang terakhir
dimana pada posisi tersebut disyariatkan melakukan Qunut. Lantaran dalam Qunut
terdapat doa dan pujian kepada Allah, karenanya kita disunnahkan untuk
mengangkat tangan dan menahannya seperti orang berdoa.
أَنَّ عَدَدًا مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِىَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ
رَفَعُوا أَيْدِيَهُمْ فِى الْقُنُوتِ
Artinya:”Sesungguhnya para sahabat
semoga Allah memberikan keridhaan kepada mereka, mereka mengangkat tangan
mereka pasa saat Qunut.”
Sedangkan posisi I’tidal yang bukan
rakaat terakhir, maka tidak ada kesunnahan untuk mengangkat dan menahan tangan
kita seperti orang berdoa. Dengan alasan kalimat Rabbana Wa Lakal Hamdu bukan
jumlah Duaiyyah (kalimat doa).
Kesunnahan ( سَمِعَ اللهُ ِلمَنْ حَمِدَهُ) Dan ( رَبَّنَا وَلَكَ اْلحَمْدُ )
Disunnahkan ketika mengangkat kepala
bangun dari ruku’ membaca ( سَمِعَ اللهُ ِلمَنْ حَمِدَهُ )[1], ketika tegak dalam posisi I’tidal, disunnahkan membaca ( رَبَّنَا وَلَكَ اْلحَمْدُ ). Kedua
dzikir tersebut disunnahkan baik bagi imam atau ma’mum dan muballigh (penyampai
suara) pada shalat berjamaah maupun bagi yang shalat sendiri. Pendapat ini
dikukuhkan dalam Mazhab Imam Syafii berdasarkan pendapat Imam A’tha, Abu
Burdah, Muhammad Bin Sirin.
Dalam keterangan hadis-hadis shahih
yang Marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah) disebutkan tentang beberapa bacaan
Tahmid yang Rasulullah baca setelah membaca ( سَمِعَ اللهُ ِلمَنْ حَمِدَهُ ) sebagai
berikut:
Imam Muhammad Bin Ismail al-Shan’aniy
menyebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud yang redaksinya
seolah-olah seorang ma’mum dilarang membaca Sami Allahu Liman Hamidah sebagaimana
tertera dalam hadis berikut ini:
لاَ يَقُوْلُ الْمُؤْتَمُّ خَلْفَ اْلإِمَامِ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ
حَمِدَهُ وَلَكِنْ يَقُوْلُ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ .
Artinya:”Seorang ma’mum tidak usah
membaca: Sami Allahu Liman Hamidah , tetapi hanya membaca:Rabbana Lakal Hamdu.”
Akan tetapi, setelah diteliti hadis
di atas bukanlah sabda Rasulullah, melainkan hanya ucapan seorang tabiin yang
bernama Imam Sya’biy sehingga Syaikh Muhammad Bin Ismail al-Shan’aniy, setelah
mengemukakan hadis tersebut dengan tegas berkata:
وَلَكِنَّهُ مَوْقُوْفٌ عَلَى الشَّعْبِيِّ فَلاَ تَقُوْمُ بِهِ
حُجَّةٌ .
Artinya:”Akan tetapi hadis tersebut
mauquf, hanya ucapan Imam Sya’biy, maka hadis tersebut tidak bisa dipakai
berhujjah.”[6]
Ada sebuah keterangan hadis yang
secara tegas menyatakan bahwa ma’mum juga sunnah membaca Sami Allahu Liman
Hamidah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا قَالَ اْلإِمَامُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
فَلْيَقُلْ مَنْ وَرَاءَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ .
Artinya:”Dari Abu Hurairah berkata:
Sesungguhnya Rasulullah bersabda: Apabila Imam membaca: Sami Allahu Liman
Hamidah. maka hendaklah ma’mum yang di belakang imam membaca: Sami Allahu Liman
Hamidah.” [7]
Perlu diketahui, bahwa sesungguhnya
setiap perpindahan satu rukun dalam shalat kepada rukun yang lainnya itu
disyariatkan membaca takbir yang disebut takbiratul intiqal (perpindahan
rukun). Akan tetapi, ketika bangun dari ruku, seseorang mengucapkan “Sami Allahu
Liman Hamidah“, bukan Allahu Akbar, seperti pada tempat lainnya. Syaikh
Sulaiman Bin Umar al-Bujairimiy mengatakan:
وَالْأَصْلُ فِي ذَلِكَ : أَنَّ أَبَا بَكْرٍ تَأَخَّرَ ذَاتَ يَوْمٍ
عَنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ خَلْفَ النَّبِيِّ فَهَرْوَلَ وَدَخَلَ الْمَسْجِدَ
فَوَجَدَهُ رَاكِعًا فَقَالَ : الْحَمْدُ لِلَّهِ وَرَكَعَ خَلْفَهُ فَنَزَلَ
جِبْرِيلُ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ : سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ اجْعَلُوهَا
فِي صَلَاتِكُمْ .
Artinya:”Yang menjadi dalil bangun
dari ruku’ membaca Sami Allahu Liman Hamidah adalah, Pada suatu hari Sayidina
Abu Bakar terlambat datang shalat Ashar yang diimami oleh Rasulullah. Maka
beliau tergesa-gesa dan masuk masjid, Sayidina Abu Bakar mendapati Rasulullah
sedang ruku’ sehingga beliau mengucapkan al-Hamdulillah dan kemudian beliau
(setelah takbiratul ihram) beliau ruku di belakang Rasulullah. Pada saat itu,
malaikat Jibril turun dan berkata kepada Rasulullah yang sedang ruku’: Sami
Allahu Liman Hamidah, jadikanlah itu bacaan shalat kalian.”
Syaikh Abu Bakr Bin Muhammad Syatha
al-Dimyathiy mengatakan:
فَصَارَتْ سُنَّةً مِنْ ذَلِكَ اْلوَقْتِ بِبَرَكَةِ الصِّدِّيْقِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
Artinya:”Maka semenjak itu, bacaan Sami
Allahu Liman Hamidah, menjadi sunnah berkat Sayidina Abu bakr al-Shiddiq.”[8]
Argumen Para Ulama Tentang Sedakep
I’tidal
Mengenai sikap kedua tangan
disedakepkan ketika sedang I’tidal, para ulama masing-masing memiliki argumen
baik ulama yang mengukuhkan bersedakep maupun ulama yang menolak:
ý Argumen Ulama Yang
Menolak
Meletakkan kedua tangan di atas dada
ketika I’tidal seperti yang dilakukan oleh sebagian orang merupakan taklid
(mengikuti) tanpa dalil. Tidak ada satu hadispun yang menyatakan secara jelas
kaifiyyat (cara) tersebut.
Yang ditunjukkan oleh hadis-hadis
Rasulullah adalah bahwa beliau meletakkan kedua tangan di atas dada, hanya
ketika berdiri setelah takbiratul ihram untuk membaca al-Fatihah dan surah.
Adapun ketika I’tidal, tidak ada hadis yang mengisyaratkan hal itu. Bahkan
menurut bahasa syariat, berdiri ketika I’tidal atau bangun dari ruku’ tidak
disebut qiyam, tetapi disebut I’tidal (tegak setelah ruku’). Tidak ada seorang
sahabat Rasulullah pun yang menukil atau meriwayatkan dari Rasulullah bahwa
beliau melakukan hal itu, dan para sahabat itu sangat teliti dalam meriwayatkan
sifat-sifat shalat Rasulullah dengan sejelas-jelasnya.
Adapun Istidlal (menjadikan dalil)
atau argumentasi sebagian mereka adalah hadis:
فَإِذَا رَفَعْتَ رَأْسَكَ فَأَقِمْ صُلْبَكَ حَتَّى تَرْجِعَ
الْعِظَامُ إِلَى مَفَاصِلِهَا .
Artinya:”Dan angkatlah kepalamu,
sehingga semua tulang kembali ke persendiannya.”[1]
Penggunaan hadis seperti di atas
untuk menetapkan bahwa Rasulullah meletakkan kembali kedua tangan beliau di
atas dada ketika I’tidal adalah argumentasi yang salah.
ý Argumen Ulama Yang
Menganjurkan
Sesungguhnya meletakkan kedua tangan
dalam shalat itu hukumnya sunnah. Pendapat ini merupakan sesuatu yang ma’ruf
(dikenal) yang telah disebutkan oleh fuqaha baik dilakukan ketika berdiri
setelah takbiratul ihram dan juga dilakukan pada setiap kali berdiri, baik
sebelum ruku’ maupun setelah ruku’ karena ada keterangan hadis:
حَدَّثَنَا عَلْقَمَةُ بْنُ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي الصَّلَاةِ
قَبَضَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ .
Artinya:”Alqamah Bin Wail
menceritakan kami, bapaknya berkata: Saya melihat Rasulullah seringkali apabila
beliau pada posisi qiyam (berdiri) shalat, maka beliau menggenggam dengan
tangan kanannya di atas tangan kirinya.”[2]
Keumuman lafaz hadis tersebut
menunjukkan pada disyariatkannya meletakkan kedua tangan di atas dada di setiap
berdiri, baik itu pada saat berdiri pertama setelah takbiratul ihram untuk
qiraah, atau berdiri kedua setelah ruku’ pada rakaat pertama, kedua, ketiga dan
keempat.
Ada hadis riwayat Imam Ahmad Bin
Hambal yang mengatakan:
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِذَاءَ أُذُنَيْهِ ثُمَّ حِينَ
رَكَعَ ثُمَّ حِينَ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ
وَرَأَيْتُهُ مُمْسِكًا يَمِينَهُ عَلَى شِمَالِهِ فِي الصَّلَاةِ .
Artinya:”Dari Wail Bin Hujr
berkata:Aku melihat Rasulullah ketika beliau takbir, beliau angkat kedua
tangannya sejajar dengan dua telinganya. Kemudian ketika beliau ruku’ beliau
membaca Sami Allahu Liman Hamidah, maka beliau mengangkat kedua tangannya dan
aku lihat beliau menggenggam tangan kanannya atas tangan kirinya dalam shalat.”[3]
عَنْ وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَبَّرَ حِينَ دَخَلَ وَرَفَعَ يَدَهُ
وَحِينَ أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ وَحِينَ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ
الرُّكُوعِ رَفَعَ يَدَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ
Artinya:”Dari Wail al-Hadramiy
berkata:Aku shalat di belakang Rasulullah, maka beliau takbir ketika masuk
shalat dan beliau mengangkat tangannya. Dan ketika ingin ruku’ beliau angkat
kedua tangannya dan saat bangun dari ruku’ beliau mengangkat kedua tangannya
dan meletakkan kedua telapak tangannya.”[4]
Imam Abu Daud al-Sajistaniy dan Imam
al-baihaqiy meriwayatkan:
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي فَوَضَعَ يَدَهُ
الْيُسْرَى عَلَى الْيُمْنَى فَرَآهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى .
Artinya:”Dari Ibnu Mas’ud
sesungguhnya seringkali ia meletakkan tangan kirinya di atas tangan kanannya,
kemudian Rasulullah melihatnya dan Rasulullah meletakkan tangan kanannya di
atas tangan kirinya.”[5]
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ ، قَالَ : مِنْ أَخْلاَقِ النَّبِيِّينَ
وَضْعُ الْيَمِينِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلاَةِ .
Artinya:”Dari Abiddarda berkata
diantara akhlaq para Nabi adalah meletakkan tangan kanan di atas tngan kiri
dalam shalat.”[6]
Hadis-hadis di atas dijadikan dalil
yang menjelaskan tentang bersedakep ketika I’tidal. Kualitas hadis-hadis
tersebut tergolong hadis shahih, sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Sayyid
Sa’aduddin al-Ghabbasyiy.
Menurut pendapat para ulama pendukung
sedakep saat I’tidal mengatakan Bahwa: “Posisi I’tidal disebut Qiyam (berdiri)
oleh syariat. Dalam keterangan hadis menyatakan, bahwa apabila Rasulullah
berdiri (qiyam) dalam shalat beliau bersedakep. Posisi I’tidal disebut Qiyam
(berdiri) sebagaimana keterangan hadis Imam al-Bukhariy dan Imam Muslim:
ثُمَّ يَقُولُ وَهُوَ قَائِمٌ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ .
Artinya:”Kemudian beliau membaca
ketika berdiri I’tidal akan Rabbana Lakal Hamdu.”[7]
كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ انْتَصَبَ قَائِمًا .
Artinya:”Seringkali Rasulullah
apabila bangun dari ruku’ beliau tegak dalam kondisi berdiri.”[8]
Untuk posisi kemana tangan Rasulullah
diletakkan saat I’tidal dijelaskan oleh hadis Wail:
حَدَّثَنَا عَلْقَمَةُ بْنُ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي
الصَّلَاةِ قَبَضَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ .
Artinya:” Alqamah Bin Wail
menceritakan kami, bapaknya berkata: Saya melihat Rasulullah seringkali apabila
beliau pada posisi qiyam (berdiri) shalat, maka beliau menggenggam dengan
tangan kanannya di atas tangan kirinya.”[9]
Ada pendapat ulama yang menolak
dengan argumen:”Berdiri saat I’tidal tidak disebut qiyam, karena yang disebut
qiyam adalah posisi dimana seseorang yang melakukan shalat ia membaca ayat
al-Qur’an, al-Fatihah dan surah. Hanya pada qiyam inilah yang disunnahkan
bersedakep. Adapun saat I’tidal, itu bukan disebut qiyam, sehingga tidak
disunnahkan sedakep.
Pendapat tersebutpun ditolak, dengan
argumen lafaz zohir dari hadis Rasulullah menyatakan posisi I’tidal adalah
qiyam. Seandainya sedakep qiyam yang dimaksud adalah qiyam dimana seseorang
yang shalat membaca ayat al-Qur’an saja, tentulah Rasulullah akan mengatakan:( اذا كان قارئأ في الصلاة ).
Karenanya Rasulullah tidak membedakan antara dua qiyam tersebut.
فَإِنَّ اْلقِيَامَ بَعْدَ الرُّكُوْعِ شَبِيْهٌ وَنَظِيْرٌ
لِلْقِيَامِ قَبْلَهُ ، فَكِلاَهُمَا قِيَامٌ فِي الصَّلاَةِ ، وَهَذِهِ صِفَةٌ
فِيْهَا خُشُوْعٌ وَخُضُوْعٌ وَتَذَلُّلٌ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهِيَ أَوْلَى
مِنَ اْلإِرْسَالِ . إِذَنْ : الرَّاجِحُ أَنَّهُ يَضَعُ يَدَهُ اْليُمْنَى عَلَى
الْيُسْرَى كَوَضْعِهَا فِي الصِّفَاتِ الْمُتَقَدِّمَةِ كَوَضْعِهَا قَبْلَ
الرُّكُوْعِ .
Artinya:”Sesungguhnya berdiri setelah
ruku’ itu serupa dan sama dengan berdiri yang sebelum ruku’. Maka keduanya
disebut Qiyam dalam shalat. Kondisi seperti itulah di dalamnya terdapat
kekhusyu’an dan Khudu’ dan ketundukan kepada Allah, maka keadaan bersedakep
ketika I’tidal itu yang lebih utama dari pada melepaskan kedua tangan. Jadi,
pendapat yang paling unggul adalah seseorang meletakkan tangan kanannya di atas
tangan kirinya setelah ruku’ sama seperti keadaan tangannya yang terdahulu
ketika sebelum ruku’.”[10]
Syaikh Abu Muhammad Badi’uddin
al-Sindiy mengatakan: Meletakkan kedua tangan di atas dada merupakan bentuk
orang shalat, berbeda dengan Irsal (melepaskannya ke bawah). Posisi
inilah yang menjadi perbedaan antara orang yang di dalam shalat dan orang yang
di luar shalat. Maka mustahil, ketika I’tidal yang merupakan rukun shalat tanpa
meletakkan tangan di atas dada sebagai bentuk shalat, bila seseorang melepaskan
kedua tangannya ke bawah tidak bersedakep pada waktu I’tidal, maka ia tidak
melakukan amal dalam shalatnya, sedangkan shalat itu merupakan ibadah yang
tidak kosong dari amal.
Hikmah meletakkan kedua tangan di
atas dada adalah mendekatkan kekhusyu’an dan menjauhkan memainkan tangan. Hal
ini disebutkan oleh Imam Nawawiy al-Dimasyqiy dalam syarh muslim dan
dijelaskan oleh Imam al-Zurqaniy dalam syarh al-Muwattha’.
Posisi Irsal (tidak sedakep)
dimakruhkan baik pada saat berdiri setelah takbiratul ihram ataupun ketika
I’tidal, sebagaimana keterangan hadis:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ السَّدْلِ فِي الصَّلَاةِ .
Artinya:”Dari Abu Hurairah
berkata:Sesungguhnya Rasulullah melarang al-Sadl dalam shalat.[11]
Hadis di atas adalah hadis hasan,
sebagaimana dinyatakan oleh pengarang Tuhfah al-Ahwadziy Syarh Sunan
al-Tirmidziy yakni Syaikh Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuriy. Yang
dimaksud dengan al-Sadl yaitu Irsal (menjulurkan kebawah). Syaikh Abul Hasan
al-Sindiy mengatakan dalam kitab Fath al-Wadud Syarh Abi Daud: Yang
dimaksud dengan al-Sadl yang dimakruhkan itu dalam hadis diatas adalah makna
mutlak, baik menjulurkan anggota badan, rambut maupun pakaian.
Imam Muhammad Abdurrauf al-Munawiy
mengatakan:
وَالْمُرَادُ سَدْلُ اْليَدِ وَهُوَ إِرْسَالُهَا .
Artinya:”Yang dimaksud Sadl al-Yad
adalah menjulurkan tangan ke bawah.”[12]
Seorang sahabat Rasulullah yang
bernama Abu Humaid al-Sai’diy menjelaskan I’tidal Rasulullah:
ثُمَّ قَامَ فَرَفَعَ يَدَيْهِ وَاسْتَوَى حَتَّى رَجَعَ كُلُّ عَظْمٍ
إِلَى مَوْضِعِهِ .
Artinya:” Dan angkatlah
kepalamu, sehingga semua tulang kembali ke tempatnya .”[13]
فَإِذَا رَفَعْتَ رَأْسَكَ فَأَقِمْ صُلْبَكَ حَتَّى تَرْجِعَ
الْعِظَامُ إِلَى مَفَاصِلِهَا .
Artinya:” Dan angkatlah
kepalamu, sehingga semua tulang kembali ke persendiannya.”[14]
Bahkan sebagian ulama mengatakan
bahwa bersedakep ketika I’tidal itu bisa jadi hukumnya wajib, yaitu bagi orang
yang rem tangannya tidak pakem ketika I’tidal dimana kedua tangannya masih
berayun-ayun, sudah langsung turun sujud sehingga ia tidak melakukan
Thuma’ninah dengan benar. Sebagaimana kita maklumi bahwa Thuma’ninah adalah salah
satu syarat sahnya I’tidal dan gerakan banyak itu dapat membatalkan shalat.
Penjelasan ini sesuai dengan kaidah Ushul Fiqh yang mengatakan:
مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Artinya:”Sesuatu yang wajib tidak
akan sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu hukumnya wajib pula.”
Ulama Yang Membela Bersedakep
v Imam
Zakariyya al-Anshariy
تَحَرُّمًا وَرَاكِعًا وَمُعْتَدِلْ * وَكُوعُ
يُسْرَى تَحْتَ يُمْنَاهُ جُعِلْ
( وَمُعْتَدِلْ ) بِالْوَقْفِ بِلُغَةِ
رَبِيعَةَ بِأَنْ يَبْتَدِئَ الرَّفْعَ مَعَ ابْتِدَاءِ رَفْعِ رَأْسِهِ مِنْ
الرُّكُوعِ فَإِذَا اسْتَوَى أَرْسَلَهُمَا إرْسَالًا خَفِيفًا إلَى تَحْتِ
صَدْرِهِ فَقَطْ .
Artinya:”Disunnahkan mengangkat
tangan ketika takbiratul ihram, ketika ingin ruku dan bangun dari ruku’
(I’tidal). Dan dijadikan pergelangan tangan kiri itu berada di bawah
tangan kanan.” Imam Zakriya al-Andhariy menjelaskan: Lafaz Mu’tadil dibaca
dengan sukun lam menurut dialek suku Rabiah. Ketika I’tidal, seseorang
melepaskan kedua tangannya dalam pelepasan yang ringan ke bawah dadanya saja.”
v Imam Abdul
Qadir Bin Ahmad al-Fakihiy
(سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) وَيَجْهَرُ بِهِ
اْلاِمَامُ وَالْمُبَلِّغُ , وَلاَ نَظَرَ لِعَدَمِ جَهْرِهِ بِهِ فِي مَكَّةَ فَاِذَا
اسْتَوَيْتَ قَائِمًا نُدِبَ لَكَ اِرْسَالُ يَدَيْكَ اِلَى تَحْتَ صَدْرِكَ
.
Artinya :”Kalimat Sami Allahu Liman
Hamidah, bagi imam dan muballigh hendaknya ia mengencangkan kalimat itu.
Dan tidak pandangan karena hal itu tidak diamalkan dengan bacaan keras di
Makkah. Maka Apabila engkau tegak berdiri, disunnahkan bagimu menjulurkan kedua
tanganmu ke bawah dadamu.”[1]
v Imam
Sulaiman al-Bujairimiy
قَوْلُهُ : ( وَعِنْدَ الرَّفْعِ مِنْهُ ) أَيْ مِنْ الرُّكُوعِ
بِأَنْ يَبْتَدِئَ الرَّفْعَ مَعَ ابْتِدَاءِ رَفْعِ رَأْسِهِ مِنْ الرُّكُوعِ ،
فَإِذَا اسْتَوَى أَرْسَلَهُمَا إرْسَالًا خَفِيفًا تَحْتَ صَدْرِهِ فَقَطْ .
Artinya:”Katanya: Dan seketika bangun
dari padanya” artinya dari ruku’ dengan bahwa dimulainya mengangkat tangan
bersama-sama mengangkatkan kepalanya dari pada ruku’ maka apabila ia telah
lurus berdiri dilepaskannyalah kedua tangannya sebagai pelepasan yang ringan
ke bawah dadanya saja.”[2]
v Imam
Ahmad al-Mihiy
وَيُسَنُّ عِنْدَ الرَّفْعِ مِنَ الرُّكُوْعِ يَبْتَدِىءُ الرَّفْعَ
مَعَ ابْتِدَاءِ رَفْعِ رَأْسِهِ فَإِذَا اسْتَوَى أَرْسَلَهُمَا إِرْسَالاً
خَفِيْفًا إِلَى تَحْتَ صَدْرِهِ .
Artinya:”Disunnahkan ketika bangun
dari ruku’ Seorang memulai angkat tangan dengan mengangkat kepalanya dari
ruku’, maka apabila ia telah lurus I’tidal dilepaskannyalah kedua tangannya
sebagai pelepasan yang ringan di bawah dadanya dan di atas pusatnya.[3]
v Imam
Badi’uddin al-Sindiy
اِنَّ الْوَضْعَ مِنْ هَيْئَةِ الصَّلاَةِ بِخِلاَفِ اْلاِرْسَالِ .
بَلْ هَذَا هُوَ الْفَرْقُ بَيْنَ الْمُصَلِّي وَالْقَائِمِ خَارِجَ الصَّلاَةِ .
اَمَّا اْلاِرْسَالُ فَلِعَدَمِ ثُبُوْتِهِ بَلْ دُخُوْلِهِ تَحْتَ الْمَنْعِ .
Artinya:”Sesungguhnya bersedakep
ketika I’tidal bagian dari bentuk shalat berbeda dengan Irsal (lepas tangan).
Bahkan keadaan bersedakep ini, menjadi pembeda antara orang yang berdiri di
dalam shalat dan berdiri diluar shalat. Adapun melepaskan kedua tangan saat
I’tidal, tidak ada dalil yang menetapkannya. Bahkan posisi lepas tangan
tersebut dilarang.”[4]
v Syaikh
Muhammad Ali Bin Husen al-Maliki
رَفْعُهُ مِنَ الرُّكُوْعِ لِلْإِعْتِدَالِ بِأَنْ يَبْتَدِىءَ
الرَّفْعَ مَعَ ابْتِدَاءِ رَفْعِ رَأْسِهِ فَإِذَا اسْتَوَى أَرْسَلَهُمَا
إِرْسَالاً خَفِيْفًا إِلَى تَحْتَ صَدْرِهِ .
Artinya:”Seseorang mengangkat kedua
tangannya dari ruku’ untuk I’tidal, dengan mulai mengangkat kepalanya. Apabila
telah tegak, maka ia lepaskan kedua tangannya dalam pelepasan yang ringan ke
bawah dadanya.”[5]
v Syaikh
Abdullah Faqih
وَذَهَبَ عَامَّةُ الْفُقَهَاءِ الْمُتَقَدِّمِيْنَ
وَالْمُعَاصِرِيْنَ إِلَى أَنَّهُ يُرْسِلُ يَدَيْهِ بَعْدَ الرُّكُوْعِ ، بَلْ
ذَهَبَ اَلْأَلْبَانِيُّ إِلَى أَنَّ قَبْضَهُمَا بَعْدَ الرُّكُوْعِ بِدْعَةٌ .
وَعَلَى الْعُمُوْمِ ، فَإِنَّ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مِنَ الْمَسَائِلِ
اْلفَرْعِيَّةِ، وَمِنْ سُنَنِ الصَّلاَةِ وَآدَابِهَا، لاَ مِنْ وَاجِبَاتِهَا
عِنْدَ جَمِيْعِ الْعُلَمَاءِ ، فَلاَ يَنْبَغِي أَنْ يُؤْخَذَ مِثْلَ هَذِهِ
الْمَسْأَلَةِ وَسِيْلَةً لِلنِّزَاعِ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ ، فَمَنْ قَبَضَ
فَلاَ حَرَجَ عَلَيْهِ، وَمَنْ أَرْسَلَ فَلاَ حَرَجَ عَلَيْهِ . واللهُ أَعْلَمُ
.
Artinya:”Umumnya para ahli Fiqh dari
kalangan ulama terdahulu dan kontemporer berpendapat bahwa hendaknya seseorang
melepaskan kedua tangannya setelah ruku’ (I’tidal). Bahkan Syaikh al-Albaniy
mengatakan bahwa bersedakep (meletakkan) kedua tangan di waktu I’tidal adalah
perbuatan Bid’ah. Secara umum, masalah ini adalah masalah furu’ (cabang agama),
masalah sunnah-sunnah shalat dan adab-adabnya bukan termasuk masalah
rukun-rukun shalat dalam pandangan para ulama. Siapa saja yang mengamalkan
sedakep ketika I’tidal, maka tidak ada larangannya. Dan siapa saja yang
melepaskan kedua tangannya pun tidak dilarang.”[6]
v Syaikh
Muhammad Bin Shalih al-Ustaimin
إِنَّ وَصْفَ مَنْ يَضَعُ يَدَهُ بَعْدَ الرُّكُوْعِ عَلَى صَدْرِهِ
بِأَنَّهُ مُبْتَدِعٌ، وَأَنَّ عَمَلَهُ بِدْعَةٌ هَذَا ثَقِيْلٌ عَلَى
اْلإِنْسَانِ ، وَلاَ يَنْبَغِي أَنْ يَصِفَ بِهِ إِخْوَانُهُ وَالصَّوَابُ: أَنَّ
وَضْعَ الْيَدِ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى بَعْدَ الرَّفْعِ مِنَ الرُّكُوْعِ
هُوَ السُّنَّةُ، وَدَلِيْلُ ذَلِكَ مَا ثَبَتَ فِي صَحِيْحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ
سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُونَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ الْيَدَ
الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِي الصَّلَاةِ .
Artinya:”Sesungguhnya menyebut pelaku
Bid’ah kepada orang yang meletakkan tangannya di atas dada setelah ruku’ atau
menyebutnya dengan perbuatan Bid’ah, hal tersebut merupakan sesuatu yang
menyusahkan orang banyak. Sebagai seorang muslim yang bersaudara tidak pantas
menyebut-nyebut hal itu. Pendapat yang benar adalah bahwa meletakkan tangan
kanan di atas tangan kiri setelah bangun dari ruku’ adalah perbuatan sunnah.
Dalilnya adalah hadis yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari diriwayatkan
oleh Sahal Bin Saad ia berkata:Banyak orang diperintahkan bahwa seseorang
hendaknya meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di dalam shalat.”[7]
v Syaikh Abdul
Aziz Bin Abdullah Bin Baz
فَإِذَا رَفَعَ وَاعْتَدَلَ وَاطْمَأَنَّ قَائِمًا وَضَعَ يَدَيْهِ
عَلَى صَدْرِهِ هَذَا هُوَ اْلأَفْضَلُ, وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ اْلعِلْمِ
يُرْسِلُهُمَا وَلَكِنِ الصَّوَابُ أَنْ يَضَعَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ فَيَضَعُ
كَفَّ الْيُمْنَى عَلَى كَفِّ الْيُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ ، كَمَا فَعَلَ قَبْلَ
الرُّكُوْعِ وَهُوَ قَائِمٌ هَذِهِ هِيَ السُّنَّةِ لِمَا ثَبَتَ عَنْهُ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي الصَّلاَةِ وَضَعَ
كَفَّهُ الْيُمْنَى عَلَى كَفِّهِ الْيُسْرَى فِي الصَّلاَةِ عَلَى صَدْرِهِ
ثَبَتَ هَذَا مِنْ حَدِيْثِ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ وَثَبَتَ هَذَا أَيْضًا مِنْ
حَدِيْثِ قَبِيْصَةَ الطَّائِيِّ عَنْ أَبِيْهِ وَثَبَتَ مُرْسَلاً مِنْ حَدِيْثِ
طَاوُسَ عَنِ النَِّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا هُوَ اْلأَفْضَلُ
.
Artinya:”Apabila seseorang bangun
dari ruku’ dan ia I’tidal serta Thuma’ninah dan ia letakkan kedua tangannya di
atas dadanya, inilah posis yang paling afdhal. Sebagian ahli ilmu mengatakan
ketika I’tidal hendaknya seseorang menjulurkan ke dua tangannya ke bawah. Akan
tetapi yang benar adalah ia meletakkan kedua tangannya di atas dadanya, ia
letakkan telapak tangan kanan di atas tangan kirinya di dada sebagaimana ia
lakukan hal tersebut sebelum ruku’ dalam posisi Qiyam (berdiri). Inilah sunnah
yang tetap keterangannya dari Rasulullah: Sesungguhnya Rasulullah apabila
beliau Qiyam (berdiri) dalam shalat, maka beliau meletakkan telapak tangan
kanannya di atas tangan kirinya di dada. Hadis ini diriwayatkan oleh Wail Bin
Hujr dan diriwayatkan oleh Qabishah al-Taiy dari ayahnya dan diriwayatkan
secara mursal oleh Thawus dari Rasulullah. Cara seperti inilah yang paling
utama.”[8]
Ulama Yang Mengatakan Tidak Sunnah
Bersedakep Ketika I’tidal:
v Imam
Nawawiy al-Dimasyqiy
وَدَلِيْلُ الرَّفْعِ حَدِيْثُ ابْنِ عُمَرَ الَّذِى ذَكَرَهُ
الْمُصَنِّفُ مَعَ غَيْرِهِ مِمَّا سَبَقَ فِي فَصْلِ الرُّكُوْعِ وَسَبَقَ هُنَا
بَيَانُ مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فَإِذَا اعْتَدَلَ قَائِمًا حَطَّ يَدَيْهِ
وَالسُّنَّةُ أَنْ يَقُوْلَ فِي حَالِ ارْتِفَاعِهِ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
.
Artinya:”Dalil mengangkat tangan
ketika bangun dari ruku’ adalah hadis Ibnu Umar yang Imam al-Syiraziy sebutkan
beserta lainnya yang terdahalu pada fashl ruku’. Dan telah disebutkan juga di
sini penjelasan ulama, maka apabila seseorang melakukan I’tidal hendaknya ia
turunkan dua tangannya. Dan Sunnah ketiak bangun dari ruku’ ia mengucapkan
Sami’ Allahu Liman Hamidah.”[1]
v Imam Ahmad Bin
Umar al-Muzajjad
وَيَجْهَرُ بِهَا اْلاِمَامُ وَالْمُبَلِّغُ اِنِ احْتِيْجَ
كَالتَّكْبِيْرِ وَيُسِرُّ غَيْرَهُمَا , فَاِذَا انْتَصَبَ أَرْسَلَهُمَا وَقَالَ
سِرَّا الاِمَامُ وَغَيْرُهُ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ أَوْ رَبَّنَا وَلَكَ
الْحَمْدُ وَهُوَ أَوْلَى .
Artinya:”Imam dan muballigh
disunnahkan mengencangkan bacaan Sami Allahu Liman Hamidah seperti bacaan
takbir jika dibutuhkan. Dan keduanya disunnahkan untuk membaca secara pelan
selain takbir dan bacaan I’tidal. Maka apabila ia telah tegak dalam posisi
I’tidal, hendaknya ia lepas kedua tangannya. Dan disunnahkan bagi imam dan
selain imam untuk membaca Rabbana Lakal Hamdu atau Rabbana Wa Lakal hamdu
dengan pelan. Bacaan yang mengunakan Wawu lebih Utama.”[2]
v Imam
Sulaiman Bin Umar al-Jamal
وَقَوْلُهُ بَعْدَ التَّكْبِيرِ أَيْ : فِي جَمِيعِ الْقِيَامِ إلَى
الرُّكُوعِ أَمَّا زَمَنُ الِاعْتِدَالِ فَلَا يَجْمَعُهُمَا تَحْتَ صَدْرِهِ بَلْ يُرْسِلُهُمَا
سَوَاءٌ كَانَ فِي ذِكْرِ الِاعْتِدَالِ أَوْ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ الْقُنُوتِ .
Artinya:”Perkataan Imam Zakariyya
al-Anshariy: Setelah Takbir artinya pada seluruh keadaan berdiri kepada ruku’.
Adapun pada saat I’tidal, hendaknya seseorang tidak menjadikan dua tangannya di
bawah dadanya, tetapi ia turunkan ke bawah baik ketika I’tidal ataupun setelah
selesai melakukan Qunut.”[3]
v Imam
Muhammad Murthadha al-Zabidiy
وَيُسْتَحَبُّ عِنْدَ اْلاِعْتِدَالِ أَنْ يَرْفَعَ يَدَيْهِ اِلَى
حَذْوِ مَنْكِبَيْهِ فَإِذَا اعْتَدَلَ قَائِمًا حَطَّهُمَا .
Artinya:”Disunnahkan ketika I’tidal
bahwa seseorang mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya. Maka
apabila ia tegak I’tidal hendaknya ia menjulurkan kedua tangannya ke bawah.”[4]
v Syaikh
Muhammad Mahfuz al-Termasiy
فَاِذَا اسْتَوَى قَائِمًا اَوْ قَائِدًا يُرْسِلُ يَدَيْهِ كَمَا فِي
التُّحْفَةِ وَالنِّهَايَةِ .
Artinya:”Apabila ia lurus dalam
keadaan berdiri, maka ia lepaskan kedua tangannya, sebagaimana keterangan dalam
kitab al-Tuhfah dan kitab al-Nihayah.” [5]
v Sayyid
Muhammad Abdullah al-Jurdaniy
وَيُسَنُّإِرْسَالُ اْليَدَيْنِ فِيْهِ .وَمَا قِيلَ يَجْعَلُهُمَا
تَحْتَ صَدْرِهِ كَالْقِيَامِمَرْدُوْدٌ كَمَا فِي الشَّبْرَامَلَّسِيِّ عَلَى
الرَّمْلِيِّ .
Artinya:”Disunnahkan melepaskan kedua
tangan ketika I’tidal. Pendapat yang mengatakan seseorang yang shalat
menjadikan kedua tangannya di atas dadanya seperti keadaan berdiri setelah
takbiratul ihram adalah ditolak. Sebagaimana terdapat dalam Hasyiyah Imam Ali
al-Syabramallasiy atas kitab Nihayah al-Muhtaj karya Imam Muhammad al-Ramliy.”[6]
v Sayyid
Muhammad Saad Alawiy al-Aidrus
أَنْ يَكُوْنَ رَفْعُهُمَا بِهَيْئَتِهِمَا السَّابِقَةِ فِي
التَّحْرِيْمِ وَأَنْ لاَ يُلْصِقَهُمَا بِجَنْبَيْهِمَا بَعْدَ اِرْسَالِهمَا .
Artinya:”Bahwa seseorang mengangkat
kedua tangannya ketika bangun dari ruku’ dengan bentuk posisi yang lalu seperti
melakukan takbiratul ihram. Seseorang yang melakukan I’tidal jangan menempelkan
kedua tangannya di atas kedua lambung setelah melepaskan kedua tangannya.”[7]
v Sayyid Hasan
Bin Ahmad al-Kaf
وَيُسَنُّ فِي اْلاِعْتِدَالِ إِرْسَالُ يَدَيْهِ فِيْهِ .
Artinya:”Dan disunnahkan melepaskan
kedua tangan ketika I’tidal.”[8]
Dengan melihat pendapat para ulama di
atas, telah nyata khilafiyah (perbedaan pendapat) yang ada di kalangan ulama
tentang kemana letak kedua tangan pada saat I’tidal. Sesuatu disebut Khilafiyah
di kalangan ulama, manakala perdebatan tersebut memiliki dalil yang diajukan
oleh para ulama Mujtahid. Artinya Khilafiyah itu sesuatu yang muncul ketika
seorang Mujtahid berbeda pendapat dalam masalah Furuiyyah dengan Mujtahid
lainnya. Ikhtilaf semacam inilah yang dikatakan membawa rahmat dalam sebutan
hadis Rasulullah. Seperti berbeda pendapatnya Imam Mazhab yang empat: Imam
Syafii, Imam Malik, Imam Ahmad Bin Hambal dan Imam Abu Hanifah. Juga seperti
Imam Nawawi al-Dimasyqiy dengan Imam al-Rafiiy, Imam Ibnu Hajar al-Haitamiy
dengan Imam Muhammad al-Ramliy dan perdebatan sesama Mujtahid lainnya.
Jika orang bodoh menggugat pendapat
ulama Mujtahid, maka pendapat orang bodoh itu bukan disebut khilafiyah (beda
pendapat), tetapi disebut salah pendapat.
Tidak semua pendapat orang itu bisa
diterima dan tidak semua khilaf itu mu’tabar(diperhitungkan).
وَلَيْسَ كُلُّ خِلَافٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا *اِلَّا خِلَافٌ
لَهُ حَظٌّ مِنَ النَّظَرِ.
Artinya: ”Tidak semua Khilaf
Furûiyyah dapat diterima, kecuali khilaf yang memiliki dasar yang dapat
dipertanggungjawabkan”.[1]
Perlu diketahui, walaupun pendapat
Mu’tamad itu telah dikukuhkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam kitab
Tuhfah dan Imam Muhammad al-Ramliy dalam kitab Nihayah, bukan berarti para
ulama setelahnya tidak boleh mengkaji lebih dalam lagi atau dilarang memberikan
kritik terhadap masalah-masalah yang sudah dii’timadkan oleh Imam Ibnu Hajar
dan Imam Ramliy. Hal ini dapat dibuktikan, dengan adanya keterangan para
Muhassyiy (pengarang Hasyiyah) seperti: Syaikh Abdul Hamid al-Syarawaniy,
Syaikh Ahmad Bin Qasim al-Abbadiy, Syaikh Ali Syabramallasiy, Syaikh Ahmad Bin
Abdurrazzaq al-Rasyidiy, Syaikh Sa’id Sambal al-Makkiy, Sayyid Umar Bin
Abdurrahim al-Husainiy, Syaikh Ibnu Ziyad al-Yamaniy dan Syaikh Abdurrauf. Para
ulama tersebut dalam beberapa masalah menyebutkan komentar dan pendapat yang
berbeda dengan kitab Tuhfah dan Nihayah.[2]
Perdebatan
diantara para ulama bukan dilatarbelakangi oleh kebencian, hasud dan saling
menjatuhkan satu sama lainnya. Mereka berbeda pendapat dengan berijtihad
terhadap dalil-dalil yang mereka kaji secara mendalam. Perbedaan memahami makna
hadis Rasulullah diantara ulama yang satu dengan ulama lainnya disebabkan
adanya keinginan kuat mereka untuk menjadi orang yang paling danta (teges) dan
paling cocok mencontoh perbuatan Rasulullah dalam keterangan hadis. Dari cara
Takbir, Ruku’ I’tidal, sujud, Tahiyyat hingga salam dan segala hukum-hukum yang
ditetapkan Rasulullah lainnya.
Tidak sepantasnya terjadi perdebatan
yang tidak layak dengan saling menuduh Bid’ah atau menganggap sesat antara dua
kelompok yang berbeda pendapat dalam masalah sedakep I’tidal. Bahkan sebagian
di antara jamaah melampaui batas, sampai-sampai ketika mereka mendapati
seseorang bersedakep ketika I’tidal, mereka memukul tangan orang tersebut dan
mengusirnya dari dalam masjid. Jika pihak yang tidak setuju dengan sedakep saat
I’tidal itu mempunyai dalil, maka pihak yang mengamalkannya juga memiliki
dalil.
Sebaliknya bagi orang yang
mengamalkan sedakep ketika I’tidal, maka ia tidak usah menyibukkan diri untuk
memaki atau menghujat orang-orang yang tidak mengamalkannya. Dengan alasan
mereka juga punya dalil yang bisa dipertangungjawabkan. Terlebih lagi,
melepaskan kedua tangan ke bawah (tidak sedakep) ketika I’tidal telah
diMu’tamadkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitamiy dan Imam Muhammad al-Ramliy
serta dikukuhkan oleh para ulama Hadharim (Hadramaut).
Para ulama dalam Kitab-kitab fiqh
menjelaskan bahwa meletakan kedua tangan ketika I’tidal merupakan khilafiyyah.
Para ulama mengatakan:
لِيُلْقِ نَظْرَهُ وَيُمْعِنْ أَمَلَهْ * فِي اْلفِقْهِ مَنْ أَرَادَ
بَسْطَ الْمَسْأَلَةْ
Artinya:”Hendaknya seseorang menilik
pandangannya dan mencermati cita-citanya pada kitab-kitab fiqh, bagi siapa saja
yang menghendaki penjelasan suatu masalah.”
Tulisan ini merupakan penggalan dari
sebuah karya berupa buku dengan judul: قطع الجدال في مسألة وضع اليدين عند الاعتدال )
(H. Rizki Zulqornain Asmat)
Jl. Tipar Cakung Rt.05/08 No:5
Kelurahan Cakung Barat Jakarta Timur
13910
جاكرتا , 28 جمادي الثاني 1432
هجرية
الأربعاء , 1 يوني 2011
ميلادية
Khadimul Majlis al-Mu'afah
H. Rizqi Dzulqornain
al-Batawiy M.A
Ikuti Kajian Islam:
instagram.com/rizkialbatawi
@rizkialbatawi
BAGINDA RIZQI DZULQORNAIN AL-BATAWIY
2 komentar:
Alhamdulillah ..komplit
Tulisan lama baru diorbitkan.. biar jangan pada ribut
Posting Komentar