Aqidah Sayyid Ahmad Bin Muhammad Bin as-Shiddiq al-Ghumari
Oleh; H. Rizqi Dzulqornain
al-Batawi M.A
بسم الله الرحمن الرحيم
حمدا
له أظهر في الوجود *** نور حقيقة النبي المحمود
وصل يا رب على محمد *** الفاتح الخاتم طه الأمجد
وناصر الحق وهادينا الى *** صراطك القويم نهج الفضلا
وآله بحق قدره الفخيم *** وجاه مقدار مقامه العظيم.
أما بعد:
Dalam
akidah, Aẖmad al-Ghumârî mengikuti al-salâf al-salih yakni
melakukan tafwîd dan menolak ta’wîl terhadap teks-teks mutasyabihat
di dalam al-Qur’an dan hadis.[1]
Aẖmad
al-Ghumârî bercerita, “Pada tahun 1356 H ketika aku menunaikan ibadah haji, aku
bertemu dengan tiga orang ulama Najd di rumah ʻAbdullah al-Sâniʻ di
Makkah. Dalam pembicaraan mereka bertiga, menampilkan seolah-olah mereka ahli hadis,
amaliyahnya paling sesuai dengan hadis dan anti terhadap taqlîd.
Tanpa terasa, pembicaraan pun masuk pada soal penetapan keberadaan Allah dan
mereka berpendapat bahwa Allah itu berada di atas ‘arsy.
Mereka
menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an yang secara tekstual mengarah pada
pengertian bahwa Allah itu ada di atas ‘arsy sesuai keyakinan mereka
terhadap Sûrah Tâha/20: 5:
الرَّحْمَنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى .
“Al-Rahmân
bersemayam di atas ‘arsy.”
Dan
Sûrah al-Aʽraf/7: 54
ثُمَّ
اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ .
“Kemudian Ia bersemayam di atas ‘arsy.”
Lalu
aku berkata kepada mereka,
“Apakah dalil-dalil yang
kalian sebutkan tadi termasuk bagian dari al-Qur’an?” Mereka menjawab, “Ya.” Aku bertanya lagi,
“Apakah meyakini yang dimaksud ayat-ayat tersebut hukumnya wajib?” Para ulama
Najd serentak menjawab, “Ya”.
Aku bertanya balik, “Lalu bagaimana dengan
firman Allah Sûrah al-Hadîd/57: 4:
وَهُوَ
مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ .
“Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.”
Apakah
ini juga termasuk al-Qur’an?” Para ulama Najd tersebut menjawab, “Ya, tentu
saja termasuk al-Qur’an. Lalu bagaimana dengan firman Allah Sûrah
al-Mujâdilah/58: 7:
مَا
يَكُوْنُ مِنْ نَجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ وَهُوَ رَابِعُهُم .
“Tiada
pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya.”
“Apakah ayat ini termasuk al-Qur’an juga?” Para ulama Najd
menjawab, “Ya, itupun termasuk al-Qur’an.” Aku berkata, “Kedua ayat ini
menunjukkan bahwa Allah tidak berada di atas langit. Lalu mengapa kalian mengasumsikan
ayat-ayat yang kalian sebutkan tadi lebih utama untuk diyakini dari pada kedua
ayat tadi yang menunjukkan bahwa Allah tidak ada di langit? Padahal semua ayat
itu juga dari Allah?”
Para
ulama Najd menjawab, “Aẖmad Bin Hambal yang mengatakan demikian.”
Aku
menepis jawaban mereka, “Nah, mengapa kalian kali ini malah taqlîd
kepada pendapat Aẖmad Bin Hambal dan tidak mengikuti dalîl?” Tiga
ulama Najd itu pun terbungkam diam seribu bahasa, tak satu kalimat pun keluar
dari mulut mereka.
Aku
menunggu jawaban mereka, jika mereka menganggap ayat-ayat tersebut harus dita’wîlkan,
maka aku akan bertanya lagi, “Sebab apa yang mengharuskan ta’wîl?” Bila
mereka menjawab, “Penyebabnya adalah ijmaʻ (kesepakatan) ulama yang
mewajibkan itu.” Aku akan mengatakan, “Ketahuilah bahwa ulama salâf
sepakat menolak ta’wîl, yang wajib adalah melakukan tafwîḏ.”[2]
Dari
kisah di atas dapat dipahami bahwa aqîdah Aẖmad al-Ghumârî mengikuti
haluan madzhab salaf, dimana mereka para ulama salaf melakukan tafwîḏ
(menyerahkan sepenuh artinya kepada Allah) yang aplikasinya bersikap untuk
diam, tidak membicarakannya, tidak menta’wîlkannya, tidak menafsirkannya,
tidak menerjemahkannya, serta bahkan tidak menggunakan derivasinya.
Menurut
Aẖmad al-Ghumârî metode salaf ini lebih hati-hati dan selamat dari tasybîh
(antropomorfisme) dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah tanpa deskripsi
makna. Adapun madzhab khalaf yang memberikan ta’wîl, merupakan
upaya memalingkan lafaz dari makna zâhir. Berbeda
dengan tafwîḏ sebagai bentuk tanzîh (penyucian) sifat-sifat Allah
dari hal-hal yang tidak layak bagi keagunganNya. Kedua metode ini, baik tafwîḏ
dan ta’wîl masih dalam lingkup aqîdah ahlu sunnah wa
al-Jamaʻah. Ibrâhîm al-Laqqânî (w. 1041 H) mengatakan:
وَكُلُّ
نَصٍّ أَوْهَمَ التَّشْبِيْهَا * أَوِّلْهُ أَوْ فَوِّضْ وَرُمْ تَنْزِيْهَا
“Jika
ada nas (teks al-Qur’an dan hadis) yang nampaknya mengandung tasybîh
(penyerupaan Allah terhadap makhluqnya), maka dilakukan ta’wîl, atau tafwîḏ
namun tetap mengedepankan tanzîh.”[3]
KRITIK HADÎTS
AHMAD AL-GHUMÂRÎ TERHADAP HADÎTS-HADÎTS PALSU RIWAYAT
AL-QUDÂʻÎ DALAM KITAB AL-JÂMI AL-SAGHÎR
(Telaah Kitab Al-Mudâwî
Li ʻIlal Al-Jâmi’ Al-Saghîr Wa Syarhai al-Munâwî)
Khadimul Majlis al-Mu'afah
H. Rizqi Dzulqornain
al-Batawiy M.A
Ikuti Kajian Islam:
instagram.com/rizkialbatawi
@rizkialbatawi
https://www.facebook.com/Rizqi-Zulqornain-Albatawi
********* ********
********
يا فالق الحب والنوى، أعط كل واحد من الخير ما نوى، وارفع عنا كل
شكوى، واكشف عنا كل بلوى، وتقبل منا كل نجوى، وألبسنا لباس التقوى، واجعل الجنة
لنا مأوى .
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا
أُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ، نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ وَالْهَادِي
إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ، وَعَلىَ آلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ
العَظِيْمِ.
صلاةً
تَجْعَلُنَا مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيْرًا، وَرِزْقًا كَثِيْرًا، وَقَلْبًا
قَرِيْرًا، وَعِلْمًا غَزِيْرًا، وَعَمَلاً بَرِيْرًا، وَقَبْرًا مُنِيْرًا،
وَحِسَابًا يَسِيْرًا، وَمُلْكًا فِي الْفِرْدَوْسِ كَبِيْرًا
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلامٌ
عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Alamat Yayasan al-Muafah
Jalan Tipar Cakung Rt: 05 Rw 08
NO: 5 Kampung Baru, Cakung Barat, Jakarta Timur 13910
فَأَكْرِمِ اللَّهُمَّ
مَنْ أَكْرَمَنَا .:. وَكَثِّرِ الْخَيْرَ لَدَيْهِ وَالْغِنَا
وَأَعْطِهِ مِمَّا رَجَى
فَوْقَ الرَّجَا .:. وَاجْعَلْ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجَا
وَافْعَلْ كَذَلِكَ بِكُلِّ
مُحْسِنِ .:. اِلَى ذَوِي الْعِلْمِ بِظَنٍّ حَسَنِ
وَاهْدِ جَمِيْعَنَا
اِلَى الرَّشَادِ .:. وَلِطَرِيْقِ الْخَيْرِ وَالسَّدَادِ
وَابْسُطْ بِفَضْلِكَ
عَلَيْنَا نِعْمَتَكْ .:. وَانْشُرْ عَلَيْنَا فِي الدَّارَيْنِ رَحْمَتَكْ
وَاخْتِمْ لَنَا عِنْدَ
حُضُوْرِ الْأَجَلِ .:. بِالْعَفْوِ مِنْكَ وَالرِّضَى الْمُعَجَّلِ
أَمِيْنَ أَمِيْنَ اسْتَجِبْ
دُعَانَا .:. وَلاَ تُخَيِّبْ رَبَّـــــنَا رَجَـــــــــــــــــانَا
[1] Mustafâ
Sabrî, Muqaddimah al-Mudâwî, vol. 1 (Beirût: Dâr al-Kutub
al-ʻIlmiyah, 1996), h. 41.
[2] Aẖmad
al-Ghumârî, Ju’nat al-Attâr Fi Turaf al-Fawâid Wa Nawâdir
al-Akhbar, vol. 1 (T.tp. T.t.), h. 36-37.
[3] Ibrâhîm
al-Baijûrî, Tuẖfah al-Murîd ʻAlâ Jauharah al-Tauhîd (Cairo: Dâr
al-Salâm, 2002), h. 156.
1 komentar:
renungkanlah
Posting Komentar