PENDAHULUAN
Bulan
Ramadhan adalah salah satu dari dua belas bulan yang ada sebagai bulan
istimewa, penuh berkah, rahmat dan ampunan. Yakni, bulan Ramadhan memiliki
beberapa keistimewaan yang luar biasa dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya,
di antaranya adalah sebagai bulan dimana al-Quran diturunkan, juga bulan yang
di dalamnya terdapat Lailatul Qadr. Selain di dalamnya terkandung
nilai-nilai ubûdiyyah yang bersifat
uhkrawi, juga mengandung nilai-nilai hidup duniawi. Banyak hikmah yang bisa
kita raih pada bulan tersebut, yang semuanya mengarah kepada peningkatan makna
kehidupan, peningkatan nilai diri, spritual dan pensucian jiwa. Oleh sebab itu,
Rasulullah menganjurkan umatnya untuk meningkatkan dan memperbanyak ibadah
untuk bertaqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah) dalam menyambutnya.
Di antara kegiatan keagamaan yang umumnya dilakukan umat Islam pada bulan
Ramadhan adalah Qiyam Ramadhan, atau yang biasa disebut dengan shalat Tarawih.
Sesungguhnya masalah shalat Tarawih adalah masalah yang sudah tuntas dan
sudah selesai dibahas oleh para ulama pada masa klasik. Akan tetapi ada gejala
atau fenomena yang mengkhawatirkan serta
mengejutkan karena muncul sebagian kelompok yang membid’ahkan dan menyalahkan
pelaksanaan shalat Tarawih 20 rakaat. Mereka berpendapat bahwa shalat Tarawih
itu hanya 8 rakaat dilakukan dengan 4 rakaat sekali salam- 4 rakaat sekali
salam. Mereka juga mengatakan ”Manakah yang lebih afdhal mengerjakan Tarawih
dengan sunah Nabi atau mengerjakan Tarawih hasil ijtihad Umar Ibn Khathab”.?
Sebuah pertanyaan sederhana, yang memerlukan jawaban yang tidak sesederhana
pertanyaannya, karena dikhawatirkan dengan jawaban sederhana akan menimbulkan
jawaban yang justru menjerumuskan. Berawal dari sinilah, penulis mengetengahkan
sebuah tulisan yang mencoba mencari haqiqat Qiyam Ramadhan dari hadis
Rasulullah, atsar para sahabat dan juga pendapat para ulama Salaf al-Sâlih
dengan harapan dapat mengetahui bagaimana sebenarnya shalat Tarawih itu menurut
tuntunan yang diajarkan Rasulullah, bagaimanakah menurut yang diamalkan oleh
para sahabat dan Tabi’in, juga bagaimanakah menurut pendapat para ulama
Salaf al-Sâlih.?
Dengan demikian, kita dapat mengetahui jawaban yang sebenarnya dan pada
gilirannya nanti kita dapat mengamalkan shalat Tarawih dengan penuh ketenangan dan kekhusy’uan.
A.
Pengertian Tarawih Secara Etimologi
Lafaz Tarawih adalah bentuk jama’ (plural) dari kata tunggal Tarwîhah
( الترويحة ) yang berarti: istirahat. Menurut ethimologi berasal
dari kata murâwahah ( مـراوحـة ) berarti saling menyenangkan dengan wazan
Mufâ’alahnya al-Râhah ( الراحـــــــة ) yang berarti merasa senang. Term ini merupakan
bentuk lawan kata dari al-Ta’ab yang berarti letih atau payah.
B.
Pengertian Tarawih Secara Terminologi
Shalat Tarawih adalah shalat sunah yang khusus dilaksanakan hanya pada
malam-malam bulan Ramadhan. Dinamakan Tarawih karena orang yang melaksanakan shalat
sunah di malam bulan Ramadhan beristirahat sejenak di antara dua kali salam
atau setiap empat rakaat. Sebab dengan duduk tersebut, mereka beristirahat
karena lamanya melakukan Qiyam Ramadhan. Bahkan, dikatakan bahwa mereka
bertumpu pada tongkat karena lamanya berdiri. Dari situ kemudian, setiap empat
rakaat (dengan 2 salam) disebut Tarwihah, dan semuanya disebut Tarawih. Hal
itu sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-A’sqallâniy dalam kitab Fath
al-Bâriy Syarh al-Bukhâriy sebagai berikut:
سُمِّيَتِ
الصَّلَاةُ فِي الْجَمَاعَةِ فِي لَيَالِي رَمَضَانَ التَّرَاوِيحَ لِأَنَّهُمْ أَوَّلَ
مَا اجْتَمَعُوْا عَلَيْهَا كَانُوا يَسْتَرِيحُوْنَ بَيْنَ كُلِّ تَسْلِيمَتَيْنِ
.
Artinya:
Shalat jamaah yang dilaksanakan pada setiap malam bulan Ramadhan dinamai
Tarawih karena para sahabat pertama kali melaksanakannya, beristirahat pada
setiap dua kali salam.[1]
Shalat Tarawih disebut juga shalat Qiyam Ramadhan yaitu
shalat yang bertujuan menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan. Shalat Tarawih
termasuk salah satu ibadah yang utama dan efektif guna mendekatkan diri kepada
Allah. Imam Nawawi al-Dimasyqiy mengatakan: yang dimaksud Qiyam Ramadhan adalah shalat
Tarawih.[2] Maksud dari
perkataan Imam Nawawi al-Dimasyqiy dijelaskan oleh al-Hâfiz Imam Ibn Hajar
al-A’sqallâniy,
sebagai
berikut:
يَعْنِي
أَنَّهُ يَحْصُلُ بِهَا الْمَطْلُوبُ مِنَ الْقِيَامِ لَا أَنَّ قِيَامَ رَمَضَان لَا
يَكُون إِلَّا بِهَا .
Artinya:”Qiyam Ramadhan dapat dilakukan dengan shalat apa saja termasuk shalat
Tarawih. Namun, ini bukan berarti Qiyam Ramadhan hanya sebatas shalat Tarawih
saja”.
Maksud dari perkataan Imam Ibn Hajar al-A’sqallâniy adalah shalat Tarawih
itu merupakan bagian dari Qiyam Ramadhan[3].
Pada zaman Rasulullah, istilah Tarawih belum dikenal. Rasulullah dalam hadis-hadisnya juga tidak pernah menyebut kata-kata
Tarawih. Semua bentuk ibadah sunah yang dilaksanakan pada malam hari, lebih
familiar disebut Qiyam Ramadhan, tidak disebut shalat Tarawih sebagaimana
banyak ditemukan dalam teks-teks hadis. Seperti sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim sebagai berikut;
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ
إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ . (صحيح
مسلم)
Artinya:” Siapa saja yang melaksanakan
ibadah pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ridha Allah, niscaya
diampuni dosanya yang telah lalu”.
Dalam riwayat hadis
Shahih mengatakan shalat Qiyam Ramadhan secara berjamaah di zaman Rasulullah
hanya beberapa malam saja. Beliau melaksanakan shalat Qiyam Ramadhan secara
berjamaah hanya dalam 2 atau 3 kali kesempatan. Kemudian, beliau tidak melanjutkan
shalat tersebut pada malam-malam berikutnya karena khawatir ia akan menjadi
ibadah yang diwajibkan. Seperti yang terdapat pada keterangan hadis sebagai
berikut;
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ ذَاتَ لَيْلَةٍ
فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ
اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ
الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيْتُ
أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ قَالَ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ. (صحيح مسلم)
Artinya; Dari Siti A’isyah sesungguhnya
Rasulullah pada satu malam shalat di masjid, maka para sahabat mengikuti beliau
shalat. Kemudian beliau shalat pada malam berikutnya, para sahabat yang ikut
berjamaah menjadi semakin banyak. Selanjutnya pada malam ketiga atau keempat
para sahabat berkumpul ternyata Rasullah tidak keluar menemui mereka. Keesokan
harinya beliau berkata: “ Aku mengetahui apa yang kalian lakukan tadi malam.
Tidak ada yang menghalangiku keluar menemui kalian selain dari kekhawatiranku
kalau-kalau shalat itu diwajibkan atas kalian”. Yang demikian itu terjadi di
bulan Ramadhan.”
Sedangkan menurut Syaikh Muhammad Ibn Ismâîl al-Shan’âniy
(W.1182 H/1768 M), dalam kitab Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm mengatakan: Penamaan shalat Tarawih itu seolah-olah yang
menjadi dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bayhaqiy dari Siti
A’isyah sebagai berikut:
وَأَمَّا تَسْمِيَتُهَا
بِالتَّرَاوِيحِ فَكَأَنَّ وَجْهَهُ مَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ مِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ
قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي اللَّيْلِ ثُمَّ يَتَرَوَّحُ فَأَطَالَ
حَتَّى رَحِمْتُهُ قَالَ الْبَيْهَقِيُّ تَفَرَّدَ
بِهِ الْمُغِيرَةُ بْنُ دِيَابٍ وَلَيْسَ بِالْقَوِيِّ فَإِنْ ثَبَتَ فَهُوَ أَصْلٌ
فِي تَرَوُّحِ الْإِمَامِ فِي صَلَاةِ التَّرَاوِيحِ .
Artinya;
Adapun penamaan shalat itu dengan nama Tarawih seakan-akan jalannya adalah
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bayhaqiy dari Siti A’isyah ia
berkata:”Sering kali Rasulullah mengerjakan shalat 4 rakaat pada malam hari,
lalu beliau Yatarawwah (beristirahat) dan beliau melamakan istirahatnya hingga
aku merasa iba”. Menurut Imam al-Bayhaqiy, bahwa hadis ini diriwayatkan melalui
sanad al-Mughirah dan ia bukan orang yang kuat. Jika hadis ini memang jelas
ketetapannya maka hadis inilah yang menjadi landasan Tarwihah (istirahat) imam
pada waktu shalat Tarawih tersebut.[4]
Dari keterangn
hadis-hadis shahih di atas, jelas bahwa tidak ada ketentuan yang baku dari
Rasulullah tentang jumlah rakaat shalat Qiyam Ramadhan. Hadis-hadis shahih yang
marfu’ (bersumber dari Rasulullah) tidak pernah menjelaskan berapa rakaat
beliau melakukan Qiyam Ramadhan.
Kesimpulannya, dalam konteks shalat Qiyam Ramadhan tidak ada batasan yang
signifikan (berarti penting) dalam bilangan rakaatnya. Semakin banyak rakaat
shalat Qiyam Ramadhan yang dikerjakan, maka semakin banyak pahalanya. Sedangkan dalam konteks shalat Tarawih maksimalnya adalah 20 rakaat.
C.
Hukum Shalat
Tarawih
Shalat Tarawih hukumnya sunah muakkadah (sunah yang sangat dianjurkan) bagi
setiap laki-laki dan wanita yang dilaksanakan pada tiap malam bulan Ramadhan.
D. Waktu shalat Tarawih
Waktu pelaksanaan shalat Tarawih dimulai setelah shalat Isya, berakhir sampai
terbit fajar. Bagi yang belum melaksanakan shalat Isya, tidak diperkenankan
melakukan shalat Tarawih. Bahkan shalat Tarawihnya menjadi tidak sah. Sebagaimana
dijelaskan oleh Syaikh Yusuf Ibn Ibrahim al-Ardabiliy:
وَالتَّـرَاوِيْحُ
عِشْرُوْنَ رَكْـعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ , وَلَوْ صَـلَّى أَرْبَعًا
بِتَسْلِيْمَةٍ أَوْ قَبْلَ فَرْضِ الْعِشَاءِ بَطَلَتْ .
Artinya: Shalat
Tarawih dikerjakan 20 rakaat dengan 10 salam. Seandainya seseorang shalat 4
rakaat dengan satu salam, atau ia shalat Tartawih sebelum shalat fardhu Isya
maka batal shalat Tarawihnya.[5]
Tata cara yang afdhal dalam shalat Tarawih adalah dikerjakan setelah
melakukan shalat fardu Isya dan Ba’diyah Isya. Lebih utama lagi apabila shalat
Tarawih dikerjakan di akhir malam. Syaikh Umar Ibn Muzhaffar Ibn Wardiy (W. 749
H) mengatakan dalam Nazhamnya terkenal dengan sebutan Bahjah al-Hâwiy
yang terdiri dari 5000 bait sebagai berikut:[6]
كَذَا
التَّرَاوِيْحُ وَحَيْثُ يَفْصُلُ
وَبَعْدَ نَفْلِ اللَّيْلِ فَهْوَ أَفْضَلُ
Artinya: ”Begitu juga (shalat yang disunahkan
antara shalat Fardhu Isya sampai Fajar) adalah shalat Tarawih sekira di
fashalkan dan dilakukan setelah shalat sunah malam (Tahajjud) itu lebih afdhal.”
E. Hikmah Shalat Tarawih
Adapun hikmah shalat Tarawih ialah menguatkan, merilekskan dan menyegarkan
jiwa serta raga guna melakukan ketaatan. Selain itu, untuk memudahkan
pencernaan makanan setelah makan malam. Sebab, apabila setelah berbuka puasa
lalu tidur, maka makanan yang ada dalam perut besarnya tidak tercerna, sehingga
dapat mengganggu kesehatannya dan membuat jasmani menjadi lesu dan rusak.[7]
Yang harus diperhatikan ada jeda yang cukup setelah makan besar, baik setelah
berbuka puasa atau setelah sahur dengan tidur. Karenanya, Rasulullah
menganjurkan Ta’khir Sahur yakni makan sahur dilakukan mendekati waktu subuh,
agar setelah sahur langsung shalat Subuh tidak tidur lagi. Jadi, bukan santap
sahur pukul 02:00, lalu tidur lagi. Alasannya, sewaktu tidur tubuh menjadi
sangat rileks, sehingga gerakan usus menjadi lambat sekali, sedangkan kita
makan sampai perut penuh. Jadi, metabolisme (proses perputaran) pencernaan
terganggu, karena makanan terus-menerus berada di dalam usus. Penulis teringat
ungkapan ulama yang pernah disebutkan oleh orang tua kami Abuya K.H
Saifuddin Amsir ketika beliau memberikan penjelasan Taqrir kitab Ta’lîm
al-Muta’allim karya Syaikh Burhanuddin al-Zarnûjiy sebagai berikut:
اِذَا
تَغَـدَّيْتَ فَنَـمْ , وَلَوْ عَلَـى رَأْسِ اْلغَنَمِ
وَاِذَا
تَعَشَّيْتَ فَـدُرْ , وَلَوْ عَلَـى رَأْسِ الْجُـدُرِ
Artinya: ”Apabila engkau makan siang maka boleh
engkau tidur setelahnya sekalipun di atas kepala kambing,
dan apabila engkau makan malam maka berjalan/berkelilinglah sekalipun di atas
tembok (jangan langsung tidur).”
Syaikh Ali Ibn Ahmad al-Jurjâwiy (W.
1340 H/1922 M) salah seorang tokoh ulama al-Azhar, Kairo; Mesir, dalam sebuah
kitabnya yang bernama Hikmah al-Tasyrî’ Wa Falsafatuhu
mengatakan:”Telah banyak doktor dari negara barat yang mengatakan bahwa umat
Islam yang menjalani ibadah puasa dengan shalat-shalat yang biasa mereka
kerjakan setelah shalat Isya telah membuat mereka terhindar dari aneka penyakit
yang hampir membahayakan mereka. Mr. Edwar Leeny mengatakan:” Suatu hari saya diundang makan dalam acara
buka puasa oleh salah seorang saudagar muslim yang sukses. Saya melihat banyak
di antara mereka menyantap hidangan yang tersedia dengan lahap dan sangat
banyak sehingga, saya berkeyakinan bahwa mereka pasti akan mengalami gangguan
pencernaan pada perut mereka. Kemudian waktu datang waktu Isya mereka
berbondong-bondong mengerjakan shalat Isya dan dilanjutkan dengan shalat
Tarawih. Seketika melihat itu, saya menyimpulkan dan berkeyakinan bahwa
gerakan-gerakan yang mereka lakukan di saat mengerjakan shalat sangat
bermanfaat dalam mengembalikan tenaga dan semangat serta menghindari mereka
dari berbagai macam penyakit yang mengancam mereka. Dari situlah saya yakin
bahwa agama Islam memang benar-benar bijaksana dalam Syariatnya”.[8]
Khadimul Janabin Nabawiy
H. Rizqi Zulqornain al-Batawiy
انظرْ لِتلكَ الشجرَة .. ذاتِ الغصونِ
النضِرَة
كيفَ نَمَتْ مِنْ حبّةٍ .. وكيفَ صارتْ شجرَة
فَابحثْ وقُلْ مَنْ ذا الّذِي يُخرِجُ مِنها الثمرَة
ذاكَ هوَ اللهُ الذي أنعُمُهُ مُنهَمِرَة
ذو حكمةٍ بالغةٍ وقدرةٍ مقتدِرَة
• • •
وانظرْ إلَى الشمسِ التي جذوتُها مستَعِرَة
فيها ضياءٌ وبِها حرارةٌ مُنتَشِرَة
مَنْ ذا الذي أوجدَها في الجوّ مثلَ الشَّرَرَة
ذاكَ هوَ اللهُ الذي أنعُمُهُ مُنهَمِرَة
ذو حكمةٍ بالغةٍ وقدرةٍ مقتدِرَة
• • •
أنظرْ إلى اللّيلِ فَمَنْ أوجدَ فيهِ قَمَرَه
وزانَهُ بِأنجُمٍ كالدُّرَرِ المنتَثِرَة
ذاكَ هوَ اللهُ الذي أنعُمُهُ مُنهَمِرَة
ذو حكمةٍ بالغةٍ وقدرةٍ مُقتدِرَة
• • •
وانظرْ إلى المرءِ وقُلْ مَنْ شقَّ فيهِ بصَرَه
مَنْ ذا الذي جهّزَهُ بقدرةٍ مبتكِرَة
ذاكَ هوَ اللهُ الذي أنعُمُهُ مُنهَمِرَة
ذو حكمةٍ بالغةٍ وقدرةٍ مقتدرة (الشاعر معروف الرصافي رحمه الله)
كيفَ نَمَتْ مِنْ حبّةٍ .. وكيفَ صارتْ شجرَة
فَابحثْ وقُلْ مَنْ ذا الّذِي يُخرِجُ مِنها الثمرَة
ذاكَ هوَ اللهُ الذي أنعُمُهُ مُنهَمِرَة
ذو حكمةٍ بالغةٍ وقدرةٍ مقتدِرَة
• • •
وانظرْ إلَى الشمسِ التي جذوتُها مستَعِرَة
فيها ضياءٌ وبِها حرارةٌ مُنتَشِرَة
مَنْ ذا الذي أوجدَها في الجوّ مثلَ الشَّرَرَة
ذاكَ هوَ اللهُ الذي أنعُمُهُ مُنهَمِرَة
ذو حكمةٍ بالغةٍ وقدرةٍ مقتدِرَة
• • •
أنظرْ إلى اللّيلِ فَمَنْ أوجدَ فيهِ قَمَرَه
وزانَهُ بِأنجُمٍ كالدُّرَرِ المنتَثِرَة
ذاكَ هوَ اللهُ الذي أنعُمُهُ مُنهَمِرَة
ذو حكمةٍ بالغةٍ وقدرةٍ مُقتدِرَة
• • •
وانظرْ إلى المرءِ وقُلْ مَنْ شقَّ فيهِ بصَرَه
مَنْ ذا الذي جهّزَهُ بقدرةٍ مبتكِرَة
ذاكَ هوَ اللهُ الذي أنعُمُهُ مُنهَمِرَة
ذو حكمةٍ بالغةٍ وقدرةٍ مقتدرة (الشاعر معروف الرصافي رحمه الله)
[1]Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al-A’sqallâniy, Fath al-Bâriy Syarh al-Bukhâriy, vol. 4 (Beirut: Dâr al-Fikr 2000) h. 778.
[2] Abu Zakariyyâ Yahyâ Ibn Syarf
Nawawiy al-Dimasyqiy, al-Minhâj Fi Syarh Muslim Ibn Hajjâj, vol. 6 (Beirut: Dâr al-Fikr 200) h. 34.
[4] Muhammad Ibn Ismâîl al-Shan’âniy, Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm, vol. 2 (Beirut: Dâr al-Fikr 1991) h. 22.
[5] Yusuf Ibn Ibrahim al-Ardabiliy, al-Anwar Li A’mal
al-Abrar, vol. 1 (Mathbaah al-Jamaliyyah 1910) h. 80.
[6] Umar Ibn Muzhaffar
Ibn Wardiy, Bahjah al-Hâwiy, ((Beirut: Dâr al-Fikr 1994) h. 31
[7] Muhammad Ilyas Marwal, Kritik atas
pembid’ahan Shalat Tarawih 20 rakaat, (Jakarta: Pustaka Firdaus 2008) h.
24.
[8] Ali Ibn Ahmad
al-Jurjâwiy, Hikmah al-Tasyrî’ Wa Falsafatuhu, vol. 1 (Jedah:
al-Harâmayn t.t) h. 150.