TASAWUF DAN TAREKAT DI ACEH: TOKOH-TOKOH DAN AJARANNYA
Pendahuluan
Tidak diragukan bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui sentuhan
tasawuf. Ada banyak sumber sejarah yang menyatakan bahwa Islamissasi di
Nusantara yang berlangsung secara damai, hakikatnya adalah proses Islamisasi
yang dilakukan oleh para da'i sufi yang memang memiliki kemampuan berdakwah
dengan model tasawuf yang menyejukkan dan sangat kontekstual. G.W.J. Drewes,
salah seorang pengkaji Islam Nusantara terutama di awal Islamisasi menyatakan,
pada akhir abad ke-13 penyebaran Islam telah di mulai di kalangan masyarakat
Indonesia. Tentang penyebaran Islam pada abad pertama memang hanya sedikit
informasi yang kita miliki, sebab sumber-sumber sejarah yang kita miliki dan
paling tua berasal dari abad keenam dan ketujuh.[1]
Aceh merupakan daerah sentral dalam transformasi Islam di
Indoensia. Sejak kota Malaka jatuh ke tangan Portugis, para pedagang Islam
meninggalkan Malaka dan pindah ke Aceh untuk melakukan kegiatan perdagangannya.
Bersama mereka juga turut para Ulama dan pujangga. Dalam waktu 50 tahun
kemudian, Aceh telah menjadi pusat perdagangan, kebudayaan dan politik serta
pusat pengkajian Islam di kawasan Asia Tenggara.[2]
Dalam pembicaraan tentang sejarah dan pemikiran tasawuf di
Indonesia, Aceh memainkan peranan yang sangat penting, karena Aceh merupakan
wilayah yang tidak bisa di pisahkan dalam setting sejarah Islam di Indonesia
khususnya dan dengan Malaysia, Thailand, Brunei, dan Negara-negara di
semenanjung melayu pada umumnya. Pemikiran tasawuf di Aceh banyak terkait
dengan pemikiran-pemikiran tasawuf di wilayah lain di nusantara, baik dari
aspek sejarah maupun substansi pemikirannya. Dari aspek sejarah banyak terbukti
bahwa dari tokoh-tokoh sufi Aceh inilah kemudian tasawuf menyebar dan membentuk
jaringan-jaringan keseluruh Nusantara. Sedangkan secara substansial, pemahaman
tasawuf di Aceh mempengaruhi daerah-daerah lain, sehingga di beberapa daerah
lain ada kecenderungan isi dan corak pemikiran tasawufnya mirip dengan tasawuf
di Aceh, kendatipun sebetulnya sedikit banyak telah mengalami
pergeseran-pergeseran atau mengalami modifikasi.
Melihat besarnya pengaruh tokoh sufi Aceh dalam perkembangan
sufisme baik di wilayah Aceh dan Nusantara, maka dalam tulisan ini pemakalah
akan mencoba untuk membahas sekilas tentang empat tokoh besar sufi Aceh beserta
ajarannya yaitu; Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, dan Abdul
Rauf As-Singkili, yang mempunyai pengaruh dalam perkembangan sufi di Aceh dan
nusantara.
Sejarah
Pemikiran Tasawuf di Aceh
Kemunculan dan perkembangan tasawuf serta tarekat di Aceh tidak
terlepas dari masuknya Islam dan perkembangannya yang dibawa oleh ulama-ulama
Islam timur tengah yang ikut dalam kepal pedagang dari India dan Persia. Hamka berpendapat
Islam masuk ke Aceh sejak abad pertama Hijriah (ke-7 atau 8 M) namun ia menjadi
sebuah agama yang dianut oleh masyarakat Aceh pada abad ke-9 seperti pendapat
Ali Hasjmy.[3]
Sebelum nama “Aceh” lahir sebagai sebuah kerajaan Islam, terdapat 6
daerah terpenting di ujung utara Sumatra diantaranya adalah kerajaan Perlak,
Samudra Pasai, Teumiang (Negeri Myanmar), Pidie, Indera Purba, Soudu. Dalam
perkembangan selanjutnya, keenam daerah tersebut tersatukan menjadi daerah Aceh
oleh Sultan Husein Syah yang memerintah Aceh Darussalam pada tahun 870-885
H/1465-1480. Di masa inilah baru terbentuk kesatuan Aceh, yaitu satu agama,
satu bangsa, dan satu Negara, dan kesatuan inilah Aceh menjadi kuat dan megah
hingga mencapai zaman kegemilangannya.[4]
Islam berkembang di Aceh dengan sangat cepat. Aceh menjadi salah
satu kekuatan kerajaan Islam di Nusantara. Aceh yang terletak di ujung pulau
Sumatra mampu memegang peranan penting di Nusantara maupun di luar Nusantara.
Menurut Dr. M. Abdul Karim, Double M.A, di Sumatera telah ada negeri Islam
yaitu Peureulak (Perlak) sebagai pusat penyebaran Islam di pelabuhan Sumatera
Utara. Masuknya Islam di Perlak melalui proses mission sacre (proses dakwah bi
al-hal) yang dibawa oleh para muballigh yang merangkap tugas menjadi pedagang.[5]
Kejayaan dan kemajuan yang dicapai oleh Aceh menyebabkan
berdatangan ulama-ulama dari Arab, Persia atau India menjalin hubungan demi
pengembangan keilmuan di Aceh. Di Aceh telah lahir ulama-ulama besar yang
membaktikan diri mereka dalam renungan dakwah Islam sehingga lahirlah khazanah
keilmuan dan wacana intelektual keagamaan. Diantaranya juga adalah tasawuf dan tarekat yang juga ikut
berkembang pesat mewarnai kehidupan keagamaan di Aceh.
Ada beberapa hal yang digunakan atau dilakukan oleh para ulama dan
pedagang Islam untuk menyebarkan Islam di wilayah nusantara, yaitu; Pertama
metode perdagangan. Kedua pendekatan dengan pernikahan. Ketiga
pendekatan politik dan metode yang keempat adalah metode sufistik. Metode
yang keempat cukup beralasan, karena para penyiar Islam sesungguhnya adalah
ulama-ulama yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sufistik. Mereka tampil
sebagai ulama-ulama yang mempraktikkan tarekat tertentu. Ulama-ulama tersebut
tampil sebgai figur-figur sufi kharismatik, berwibawa, dan arif dan disertai
sikap yang akomodatif terhadap budaya setempat.
A.H. Johns mengemukakan “teori SufI” tentang penyebaran Islam di
Nusantara. Teori ini menyimpulakn bahwa yang membawa Islam ke Nusantara adalah
para sufi. Para sufi memiliki kelebihan dibandingkan dengan saudagar
(meskipun ada sufi yang datang sebagai saudagar). Mereka mampu menyajikan Islam
dalam kemasan atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam
atau kontinuitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan
lokal. Hasil dari apa yang dilakukan para sufi ini
terlihat dari konversi agama yang terjadi pada abad 13 tersebut di seluruh
Nusantara. Masyarakat akan menjadi muslim setelah mereka berjumpa dengan sufi.[6]
Ketika Aceh sedang mengalami puncak kejayaannya, mazhab tasawuf
Ibnu Arabi dan al-Jilli yang berwatak pantheisme telah mendominasi pemikiran
dan penghayatan keagamaan dalam istana dan kalangan masyarakat umum. Mazhab
tasawuf ini disebarkan oleh 2 orang pemuka tasawuf Aceh terkenal yaitu Hamzah
Fansuri dan muridnya Syamsuddin Sumatrani (w 1630). Melalui dua orang sufi ini,
ajaran tasawuf Ibnu Arabi yang kemudian di Aceh dikenal dengan Wujudiyyah
memperoleh kemajuan sangat pesat dan dianut secara luas oleh masyarakat umum
dan kalangan istana. Melalui kitab-kitab dan sejumlah muridnya, ajaran tasawuf Wujudiyyah
menjadi ajaran formal dan mendapat dukungan luas masyarakat Aceh.[7]
Tokoh-tokoh
Tarekat di Aceh beserta Ajarannya
Berikut
adalah beberapa nama-nama besar ulama sufi penyebar Islam di Aceh dan buah
karyanya serta peran mereka dalam pengembangan keilmuan di Nusantara:
A.
Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri adalah seorang ulama dan sufi besar pertama di Aceh.
Beliau adalah penulis produktif yang menghasilkan karya risalah keagamaan dan
juga prosa yang sarat dengan ide-ide mistis. Hamzah Fansuri dilahirkan di kota
Barus, sebuah kota yang seorang Arab zaman dahulu dinamai “Fansur”, yang
merupakan pusat pengetahuan Islam lama di Aceh Barat Daya. Tidak diketahui dengan
pasti tentang tahun kelahiran dan kematian Hamzah Fansuri, tetapi diperkirakan
beliau hidup dan berkiprah sebelum dan selama pemerintahan Sultan Alaiddin Ali
Ri’ayatsyah Saidil Mukammil (1588-1604).[8]
Pada awal perkembangan tasawuf di Nusantara ajaran Hamzah Fansuri
menjadi paham resmi kerajaan Aceh sehingga pengaruh taswufnya meluas bahkan
merembes hingga ke perpustakaan Jawa sampai abad ke 19 (dalam Serat Centini,
Wirid Hidayati jati, dan sebagainya). Fansuri selama hidupnya banyak berkelana
ke daerah-daerah lain termasuk jawa dengan maksud menyebarkan tarekat ini. Di
Jawa paham tasawuf wujudiyah yang dianut Hamzah Fansuri ini hidup subur juga
atas dukungan raja-raja Mataram.[9]
Paham dan pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri yang dibawanya bersama
seorang muridnya bernama Syamsuddin Al-Sumatrani adalah paham wujudiyah (wahadatul
wujud). Mereka berdua telah memainkan peranan penting dalam
membentuk pemikiran dan praktek keagamaan kaum Muslim Nusantara pada paruh
pertama abad ke-17 M ketika kerajaan Aceh tengah mencapai puncak kejayaannya.
Ajaran-ajaran mereka sangat dipengaruhi oleh karangan-karangan Ibnu Arabi dan
Al-Jiliy, hal ini bisa dilihat ketika ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat
dari pada urat-urat leher manusia sendiri, dan bahwa Tuhan tidak bertempat,
sekalipun sering dikatakan bahwa ia ada dimana-mana. Diantara ajaran tasawuf
al-Fansuri yang lain berkaitan dengan hakikat wujud dan penciptaan, menurutnya
wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatan banyak. Semua benda yang ada
sebenarnya merupakan manifestasi dari yang haqiqi yang disebut al-Haqq Ta’ala.[10]
Orang banyak menolak pemikiran Hamzah Fansuri karena faham wihdatul
wujud, hulul, dan ittihad-Nya. Karena banyak orang yang mengklaim sebagai
seorang zindiq, sesat, kafir dan sebagainya. Pemikiran mereka akhirnya
ditentang oleh ulama-ulama besar Aceh yang datang belakangan, yaitu Nuruddin
Ar-Raniri dan Abdul Rauf al-Singkili. Dalam bidang tasawuf beliau mengikuti
tarekat Qadiriyah yang dipelopori oleh Syaikh Abdul Qadir Jilani.
Ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dapat dijelaskan sebagai berikut:[11]
1.
Wujud, menurutnya yang disebut wujud itu hanyalah satu, walaupun
kelihatannya banyak. Wujud yang satu itu berkulit dan berisi, atau ada yang
mazhar (kenyataan lahir) dan ada yang batin. Ataupun semua benda-benda yang ada
ini, sebenarnya adalah merupakan pernyataan saja daripada wujud yang hakiki,
dan wujud yang hakiki itulah yang disebut Allah. Wujud itu mempunyai tujuh
martabat, namun hakikatnya satu. Martabat tujuh itu adalah: Ahadiyah yakni
hakikat sejati dari Allah; Wahdah yaitu hakikat dari Muhammad; Wahidiyah yaitu
hakikat dari Adam; Alam arwah hakikat dari nyawa; Alam mitsal hakikat dari
segala bentuk; Alam ajsam hakikat tubuh; dan Alam insan hakikat manusia. Dan
semuanya berkumpul (wahdah)ke dalam yang satu, itulah ahadiyah, itulah Allah
dan itulah Aku.
2.
Allah. Menurut Hamzah, Allah adalah zat yang mutlak dan kadim,
sebab pertama dan pencipta alam semesta. Menurutnya dalam Asror al Arifin
disebutkan: 'Ketika bumi dan langit belum ada, surga dan neraka belum ada, alam
sekalian belum ada, apa yang ada pertama? Yang pertama adalah zat, yang ada
pada dirinya sendiri, tiada sifat dan tiada nama, itulah yang pertama.'
3.
Penciptaan. Menurutnya sebenarnya hakikat dari zat Allah itu adalah
mutlak dan la ta'ayyun (tidak dapat ditentukan). Zat yang mutlak itu mencipta
dengan cara menyatakan dirinya dalam suatu proses penjelmaan, yaitu pengaliran
keluar dari diri-Nya (tanazzul) dan pengaliran kembali kepada-Nya (taraqqi).
4.
Manusia. Walaupun manusia sebagai tingkat terakhir dari penjelmaan,
akan tetapi manusia adalah tingkat yang paling penting, dan merupakan
penjelmaan yang paling penuh dan sempurna, ia adalah aliran/pancaran langsung
dari zat yang mutlak. Hal ini menunjukkan adanya semacam kesatuan antara Allah
dan manusia.
5.
Kelepasan. Manusia sebagai mahluk penjelmaan yang sempurna dan
berpotensi untuk menjadi insan kamil, namun karena lalainya maka pandangannya
kabur dan tiada sadar bahwa seluruh alam semesta ini adalah palsu dan bayangan.
Hamzah Fansuri yang menjadi ikon mengarang puluhan kitab yang
menjelaskan berbagai dimensi ajaran agama Islam. Ia mencoba memaparkan konsepsi
tasawuf dengan pendekatan “Melayu” di mana ia menjelaskan berbagai posisi
manusia dalam upaya pendekatan dirinya dengan Allah. Hamzah yang sufi ini kemudian
menjadi soko guru bagi sarjana-sarjana Islam lainnya di Nusantara, terutama
yang belajar pada murid-muridnya di kemudian hari.
Hamzah Fansuri memiliki karya-karya yang cukup banyak dalam
kesustraan Melayu-Indonesia tercatat buku-buku syairnya diantaranya Syair
Burung Pingai, Syair Dagang, syair Punggug, syair Sidang Fakir, syair Ikan
Tongkol, dan syair Perahu. Adapun karangan-karangan Syakh Hamzah Fansuri yang
berbentuk karya ilmiah antaranya adalah Asrarul Arifin fi Bayaani ‘Ilmis
suluki wa at-Tauhid, Syarbul ‘Asyikin, Al-Muhtadi, Ruba’i
Hamzah al-Fansuri.[12]
Karya-karya Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun
berbentuk prosa banyak menarik perhatian para sarjana, baik sarjana barat
amupun sarjana setempat. Yang banyak membicarakan tentang Hamzah Fansuri antara
lain Prof. Syed Muhammad Naqib dengan beberapa judul bukunya. Tidak ketinggalan
seumpama Prof. A. Teeuw. Juga R.O. Winstedt yang diakuinya bahwa Hamzah Fansuri
mempunyai semangat yang luar biasa yang tidak terdapat pada orang lain. Dua
oranng yaitu J. Doorenbos dan Syed Muhammad Naqib al-Attas mempelajari biografi
Hamzah Fansuri secara mendalam untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di
Universitas Leiden dan Universitas
London.[13]
B.
Syamsuddin al-Sumatrani
Sufi besar yang muncul di Aceh sesudah Hamzah Fansuri ialah
Syamsuddin al-Sumatrani, atau yang juga dikenal sebagai Syamsudin Pasai karena
berasal dari Pasai. Syamsuddin al-Sumatrani adalah seorang keturunan ulama.
Ayahnya bernama Abdullah Al- Sumatrani. Syamsudin al-Sumatrani ini merupakan
tokoh sufi kenamaan di Aceh. Dia mendapat pendidikan kesufian dari Syekh Hamzah
al-Fansuri, yang mengajarkan faham wujudiyyah. Syamsuddin al-Sumatrani hidup
pada masa kejayaan kesultanan Aceh (1607-1636).[14]
Dalam pemikiran tasawufnya, Syamsuddin al-Sumatrani membahas
tentang Martabat
Tujuh dan sifat dua puluh Tuhan. Pemikiran ini
dikembangan Syamsuddin dengan tambahan pengetahuan yang diperoleh dari Tuhfah
al-Mursalah ila Ruhi al-Nabi karya Muhammad Ibn Fadhillah, seorang ulama Sufi
dari Gujarat India. Beliau mencoba menjelaskan faham ini dalam pandangan yang
panteistik dan menyebarkannya. Faham ini kemudian menjalar sampai ke seluruh
Nusantara. Pengaruhnya di Jawa terlihat dalam kitab Centini, Wirid Hidayat
Nabi, kitab Martabat alam tujuhnya Kyai Hasan Mustafa dan lain sebagainya.[15]
Konsep Martabat Tujuh mengajarkan bahwa
segala sesuatu yang ada dalam alam semesta, termasuk manusia, adalah aspek
lahir dari hakikat yang Tunggal, yaitu Tuhan. Tuhan sebagai yang mutlak tidak
dapat dikenal baik oleh akal, indera maupun khayal. Dia baru dapat dikenal
sesudah ber-tajalli sebanyak tujuh martabat,
sehingga tercipta alam semesta beserta isinya, termasuk manusia, sebagai aspek
lahir dari Tuhan. Diantara ajarannya adalah bahwa Tuhan saja yang wujud. Hal
ini didasarkan pada Surat Al-Hadid ayat 3:
هُوَ
الأوَّلُ وَالآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya:
"Dia-lah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zhahir (tampak), dan Yang Batin
(tersembunyi)."
Konsep Martabat Tujuh cenderung
berhubungan dengan teori Tanazzul dalam tasawuf. Tanazzul
(tanzil) diartikan sebagai turunnya Wujud dengan penyingkapan Tuhan, dari
kegaiban ke alam penampakan melalui berbagai tingkat perwujudan. Teori ini
menggambarkan bahwa manusia sebagai makhluk sempurna merupakan pancaran dari
Wujud Sejati, yang menurunkan Wujud-Wujud-Nya dari alam rohani ke alam materi
dalam bentuk manifestasi wujud secara hierarki wujud atau gradasi wujud. Proses
penurunan wujud ini dalam referensi sufi dinamakan dengan tanazzul,
yang dikenal melalui bentuk penyingkapan diri (tajalli).[16]
Pokok-pokok ajaran Syamsuddin al-Sumatrani:
1.
Tentang
Allah, Syamsuddin al-Sumatrani mengajarkan bahwa Allah itu Esa adanya, Qodim,
dan Baqa. Suatu zat yang tidak membutuhkan ruang, waktu dan tempat dan mustahil
dapat dibayangkan kemiripannya dengann sesuatu apapun juga.
2.
Tentang
penciptaan. Sufi ini menggambarkan tentang penciptaan dari zat yang mutlak itu
dengan melalui tahap tingkatan, mulai dari ahadiyah, wahdah, wahidiyah, alam
arwah, alam mitsal, alam ajsam, dan alam insan.
3.
Tentang
manusia ia berpendapat bahwa manusia seolah-olah semacam objek ketika Tuhan
menzahirkan sifatnya. Semua sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia ini hanyalah
sekedar penggambaran dari sifat-sifat Tuhan dan tidak berarti bahwa sifat-sifat
Tuhan itu sama dengan sifat yang dimiliki oleh manusia. Oleh karena sifat-sifat
itu adalah sifat ma'ani bagi Allah (hakikat yang terdalam dari sifat-sifat
Qudrat, Iradat, Ilmu, Sama', Bashar, Kalam).[17]
Sebagai penulis risalah tasawuf beliau lebih produktif daripada
pendahulunya. Beliau banyak mengarang kitab dalam bahasa Melayu dan Arab.
beliau juga merupakan seorang ulama dan sangat disayangi sultan Iskandar Muda,
sehingga diangkat sebagai pembantu dekatnya. Sultan Iskandar Muda sangat
tertarik dengan ajaran tasawuf yang dibawa oleh Syamsuddin al-Sumatrani sehingga
beliau termasuk salah seorang pengikut faham wujudiyah. Sejumlah karyanya yang
dipersembahkan untuk sultan Iskandar Muda antara lain Kitab Thariq
al-Salihin dan Nur al-Daqaiq.
Dalam penulisan sastra, peranan Syamsuddin al-Sumatrani terutama
dalam upayanya mengembangkan kritik sastra secara hermenuetika sufi (ta’wil)
yang telah berkembang sejak abad 11 M. Karyanya yang menggunakan metode ta’wil
ini tampak dalam risalahnya yaitu Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri. Ta’wil
merupakan metode penafsiran sastra yang melihat teks puisi sebagai ungkapan
kata-kata simbolik dan metaforik yang maknanya berlapis-lapis (makna lahir,
makna bathin, dan makna isyarah atau sugestif). Bahasa Melayu yang digunakan
Syamsuddin al-Sumatrani dalam karyanya tidak jauh berbeda dari bahasa Melayu
yang digunakan penulis kitab sastra dalam abad 17-19 M.
Karya-karya Syamsuddin al-Sumatrani antara lain adalah:
·
Mir’at
al-Mukminin (Cermin orang
beriman),
·
Jauhar
al-Haqaiq (Permata Kebenaran),
·
Kitab
al-Haraka,
·
Mir’at
al-Iman,
·
Kitab
al-Martaba (Martabat manusia),
·
Mir’at
al- Muhaqqiqin,
·
Syarah
Ruba’I Hamzah fansuri,
·
Thariq
al-Salihin.[18]
C.
Nuruddin al-Raniri
Namanya adalah Nur al-Din Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasanji ibn
Muhammad al-Raniri. Silsilah keturunan al-Raniri ini berasal dari India,
keturunan Arab. Dipanggil al-Raniri karena beliau dilahirkan di daerah Ranir
(Rander) yang terletak dekat Gujarat (India) pada tahun 1568 M. Dan meninggal
dunia pada 22 Dzulhijjah 1096 H/21 September 1658 M di India.
Menurut J.S. Trimingham, sesuai pengakuan al-Raniri sendiri, bahwa
beliau menganut Tarekat Rifa'iyyah lewat Syaikh Ba'Syaiban, yang bertindak
sebagai syaikh tarekat di India pada waktu itu. Di antara ajaran tarekat yang
sampai sekarang masih meninggalkan namanya dalam kebudayaan setempat, berupa
musik rebana yang dinamakan 'rapai', adalah Tarekat Rifa'iyyah di Aceh.[19]
Al-Raniri lebih dikenal sebagai ulama besar Melayu-Indonesia
daripada India-Arab. Karena sejak kecil sudah tertarik dan senang mempelajari
bahasa melayu, sehingga tumbuhlah beliau menjadi seorang yang sangat mencintai
dunia Melayu. Al-Raniri datang ke Aceh pada tanggal 6
Muharram 1047 H atau 31 Mei 1637 M lalu menduduki posisi Syaikh al-Islam di
kesultanan Aceh pada waktu itu di bawah pimpinan Sulta Iskandar Tsani 1641
telah membawa perubahan besar bagi kehidupan keagamaan dan intelektual yang
menolak paham tasawuf wujudiyah, karena terjadi kesalahpahaman terhadap tasawuf
wujudiyah.[20]
Pasca Syamsuddin al-Sumatrani, al-Raniri mencoba menghapus ajaran Hamzah dan
Syamsuddin yang dianggapnya bertentangan dengan syari’at dan tasawuf yang
benar. Beliau melakukan berbagai upaya untuk membuat pengikut Hamzah dan
Syamsuddin bertaubat, kembali pada keimanan yang benar.
Nuruddin al-Raniri banyak menghasilkan tulisan. Di antara buku yang
ditulisnya itu, ada tulisan yang khusus untuk mengecam atau mengkafirkan
penganut ajaran Syamsuddin dan Hamzah Fansuri. Ini karena kedua orang tersebut
dikategorikan sebagai penganut paham Wahdat al-wujud. Pada masa itu
sedang panasnya polemik di masyarakat mengenai ajaran kedua sufi ini, bahkan
ada yang menganggap keduanya sesat.
Pada satu sisi al-Raniri mampu “memaksa” pengikut Hamzah dan
Syamsuddin bertaubat, namun di sisi lain sesungghnya ini juga menjadi salah
satu faktor yang mendorong pemahaman tasawuf seperti yang diajarkan Hamzah
semakin kuat. Apalagi setelah tujuh tahun menjadi syaikh al-Islam di Aceh al-Raniri kembali ke Ranir, India, maka
tasawuf bercorak panteistik tersebut kembali muncul, walaupun tidak berkembang
sebagaimana awalnya.
Dalam pembaharuannya, al-Raniri memperkenalkan corak keilmuan dan
wacana keagamaan yang baru. Meskipun ia juga seorang penganut Wujudiah dan
pengikut Ibnu ‘Arabi, namun dalam menafsirkan ajaran wujudiyah ia ketat
bertolak pada syariat dan fikih. Paham wujudiyah yang dianutnya tidak hanya
penekanan pada tasawuf saja, tetapi juga menjelaskan kepada kaum Muslim
Nusantara dasar-dasar keimanan, aturan-aturan fikih, perbandingan agama,
pentingnya hadis, serta sejarah.
Dalam hubungannya dengan ajaran Wujudiyyah, al-Raniri menyampaikan
beberapa pesan:[21]
a.
Kebanyakan
orang menjadi sesat karena membaca kitab-kitab tasawuf yang mengandung banyak
istilah, ibarat dan pesan yang tidak mampu mereka cerna maksudnya. Karena
mereka hanya berpegang pada pengertian lahir saja maka mereka terjatuh ke dalam
i’tikad yang salah.
b.
Seharusnya
orang awam tidak terpengaruh oleh ucapan wali-wali Allah yang sedang dalam
keadaan fana.
Pemikiran Nuruddin al-Raniri dapat dikategorikan menjadi lima
bagian, yaitu:[22]
a)
Tentang Tuhan.
Pendiriannya
dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan
paham mutakallimin dengan paham para sufi yang diwakili Ibn ‘Arabi. Ia
berpendapat bahwa ungkapan “wujud Allah dan Alam Esa” berarti alam ini
merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang batin yaitu Allah, sebagaimana
yang dimaksud Ibn ‘Arabi. Namun, ungkapan itu pada hakikatnya adalah bahwa alam
ini tidak ada. Yang ada hanyalah wujud Allah Yang Esa. Jadi, tidak dapat
dikatakan bahwa alam ini berbeda atau bersatu dengan Allah.
b)
Tentang alam.
Pandangannya
bahwa alam ini diciptakan Allah melalu tajalli. Ia menolak teori al-faidh
(emanasi) al-Farabi karena akan membawa kepada pengakuan bahwa alam ini qadim
sehingga dapat jatuh kepada kemusyrikan. Alam dan falak, menurutnya, meripakan
wadah tajalli
asma dan sifat Allah dalam bentuk yang kongkret. Sifat ilmu bertajalli
pada alam akal, nama rahman bertajalli pada arsy;
nama Rahim
bertajalli pada
kursy; nama
Raziq bertajalli pada
falak ketujuh; dan seterusnya.
c)
Tentang manusia.
Merupakan
makhluk Allah yang paling sempurna di dunia ini. Sebab, manusia merupakan
khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya. Juga, karena ia
merupakan mazhhar
(tempat kenyataan asma dan sifat Allah paling lengkap dan menyeluruh). Konsep insan
kamil, katanya, pada dasarnya hampir sama dengan apa yang telah
digariskan Ibn ‘Arabi.
d)
Tentang Wujudiyyah
Menurutnya
inti ajaran Wujudiyyah berpusat pada wahdah
al wujud, yang disalahartikan kaum wujudiyyah dengan arti
kemanunggalan Allah dengan alam. Menurutnya, pendapat Hamzah al-Fansuri tentang
wahdat
al-wujud dapat membawa kepada kekafiran. Bagi al-Raniri bahwa jika
benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, maka dapat dikatakan bahwa manusia
adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia, maka jadilah seluruh makhluk itu adalah
Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk atau baik, Allah turut serta
melakukannya. Jika demikian, maka manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan.
e)
Tentang hubungan syariat dan hakikat.
Pemisahan
antara syariat dan hakikat, menurut al-Raniri, merupakan sesuatu yang tidak
benar.
Meskipun al-Raniri hanya bermukim selama tujuh tahun (1637-1644)
dan harus kembali ke India karena deportasi semasa kekuasaan Ratu Safiat al-Din
(w. 1675) tetapi warisannya terhadap khazanah intelektual keislaman Melayu
khususnya tasawuf cukup signifikan. Beliau termasuk pengarang prolifik yang
menghasilkan karya dalam berbagai bidang ilmu keislaman seperti fikih, kalam,
dan tasawuf. Beberapa karya al-Raniri antara lain sebagai berikut:[23]
·
Sirat
al-Mustaqim (Jalan Lurus),
merupakan kitab fikih yang pertama dan lengkap ditulis dalam bahasa melayu.
·
Dar
al- Faraid, membahas tentang tauhid dan
falsafah keimanan.
·
Lata’ih
al-Asrar,
·
Hall
al-Dzill ma’a Sahabihi,
·
Umdat
al- I’tiqad,
·
Hujaj
al-Sidiq,
·
Jauhar
al-‘Ulum,
·
Ma’al
Hayat,
·
Bustan
al-Salatin (Taman Para Raja).
Nama lengkap dari kitab ini adalah Bustanu al-Salatin fi
al-Awwaliin wa al-Akhirin. Kitab ini disusun atas permintaan Sultan
Iskandar Tsani, yang berisi masalah ketatanegaraan dan sejarah. Kitab ini
merupakan penyempurnaan dari kitab Tajul al-Salatin (Mahkota Raja-raja)
yang dikarang oleh Bukhari Al-Jauhari. Kitab Bustanussalatin ini tidak
hanya membahas tentang ketatanegaraan, sejarah saja tetapi juga memuat
eskatologi, dan berbagai persoalan lain yang berkaitan dengan fikih, tasawuf
dan usuluddin. Karena tebalnya kitab ini sampai kini tidak diterbitkan secara
utuh, hanya bagian bab demi bab saja diterbitkan dalam buku terpisah. Kitab Bustanussalatin
ini sangat penting sebagai sumber penulisan sejarah Aceh yang mengisahkan
tentang Sultan Iskandar Tsani, Taman Raja yang dibangun sejak masa Sultan
Iskandar Muda.[24]
Dengan mempertimbangkan aspek pemikiran dan kiprah praksisnya,
Azyumardi Azra memandang bahwa al-Raniri merupakan salah seorang pembaharu
(mujaddid) terpenting dalam sejarah awal pembaharuan Islam di Nusantara.[25]
D.
Abdul Rauf Al-Singkili
Abdul
Rauf al-Singkili seorang tokoh ulama dan mufti besar kerajaan Aceh pada abad ke
17 ini, nama lengkapnya adalah Syeikh Abdurrauf bin Ali Fansuri Al Sinkili. Ia
lahir di Fansur, dibesarkan di Singkel, wilayah pantai Barat-Laut Aceh.
Diperkirakan lahir tahun 1024 H/1615 M. Ayahnya Syaikh Ali Fansuri masih
bersaudara dengan Syaikh Hamzah Fansuri adalah orang Persia yang datang ke
Samudera Pasai pada akhir abad ke 13 dan kemudian menetap di Fansur, Barus,
sebuah kota pelabuhan tua di pantai barat Sumatra. Syaikh Abdul Rauf wafat pada
tahun 1643 dan dimakamkan di Kuala (muara) Banda Aceh. Hingga kemudian makamnya
dikenal dengan makam Syaikh Kuala.[26]
Pendidikannya
dimulai dari ayahnya, kepada ayahnya beliau belajar ilmu-ilmu agama, sejarah,
bahasa Arab, mantiq, filsafat, sastra Arab-Melayu, dan bahasa Persia, seebelum
akhirnya beliau menghabiskan waktunya selama 19 tahun untuk menuntut berbagai
cabang ilmu Islam di Haramain. Abdul Rauf al-Singkili pernah berguru pada
Syaikh Ahmad al Qusyasyi, Ulama besar sufi Makah. Beliau juga pernah berguru di
Madinah pada Syaikh Ibrahim Al-Kurani. Setelah selesai belajar berbagai macam
ilmu agama ia kembali ke Aceh dan membaktikan dirinya di Kesultanan Aceh. Beliau
adalah seorang tokoh sufi penyebar tarekat Syathariyah di Aceh.[27]
Tarekat
Syathariyah di Nusantara tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Tarekat ini berkembang di Sumatra dan Jawa melalui Abdul
Rauf al-Singkili. Di Sumatera Barat ajaran-ajaran tasawuf
Al-Sinkili dibawa oleh muridnya Syaikh Burhanuddin Ulakan. Berkat muridnya
Tarekat Syattariyah menjadi tarekat yang sangat berpengaruh di sekitaran daerah
Pariaman. Sementara di Sulawesi ajaran-ajaran tasawuf al-Sinkili dibawa
olehSyaikh Yusuf Tajul Khalwati Makssar. Di kepulauan Jawa Syattariyah
disebarkan oleh muridnya Syaikh Abdul Muhyi, beliau belajar kepada al-Sinkili
pada saat singgah di Aceh dalam pejalanannya ke Makkah utuk menunaikan ibadah
haji. Tarekat ini juga berkembang hingga ke Tanah Melayu yang dibawa oleh
muridnya, Abdul Malik bin Abdullah.[28]
Melihat banyaknya murid al-Sinkili dari berbagai daerah di
Nusantara tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa tasawuf memiliki peranan
penting dalam perkembangan Islam di Nusantara pasca melemahnya kerajaan Aceh
Darussalam. Sebab pada masa itu, murid menjadi ujung tombak dalam penyebaran
Islam. Saat mereka telah “tamat” belajar pada guru tertentu, mereka akan
mencari guru lain atau pulang ke daerahnya dan menyebarkan ilmu keislaman di
sana. Ini juga yang terjadi pada murid-murid al-Sinkili. Dengan jalan inilah
pengaruh tasawuf yang diajarkan al-Sinkili menjalar ke seluruh Nusantara.[29]
Pada masa al-Sinkili, tasawuf bercorak falsafi tidak begitu
terkenal dan populer dalam masyarakat. Meskipun dari beberapa karangannya
terlihat al-Sinkili tidak setuju dengan faham tasawuf Hamzah, namun ia tidak
pernah menyatakan secara eksplisit dalam tulisan-tulisannya. Beliau sendiri
menganut tarekat Syaththariyah, meskipun beliau juga mengantongi ijazah tareqat
Naqsabandiyah. Beliau memilih tarekat ini karena menganggap tarekat ini lebih
mudah dan lebih tinggi, dasar amalannya dari al-Qur’an dan hadits Rasulullah
dan dikerjakan oleh sekalian sahabat. Di Nusantara beliau menjadi guru utama
tareqat ini, dan beliau masuk dalam silsilah tarekat yang dibacakan penganut
tarekat Syattariyah sampai saat ini.
Pemikiran
tasawuf as-Singkli dapat dilihat, antara lain pada persoalan kecenderungan
untuk merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat, kendati demikian ajaran
tasawufnya mirip dengan Syamsuddin dan Nuruddin al-Raniri yaitu penganut paham
satu-satunya wujud hakiki, yaitu Allah. Sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah
merupakan wujud hakiki, tetapi bayangan dari wujud yang hakiki. Menurutnya
jelaslah Allah berbeda dengan alam. Walaupun demikian antara bayangan alam
dengan yang memancarkan bayangan (Allah) tentu memperoleh keserupaan. Maka sifat-sifat
manusia adalah bayangan-bayanagn Allah, seperti yang hidup yang tahu dan yang
melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan-perbuatan adalah perbuatan Allah. Al-Singkili
juga mempunyai pemikiran tentang dzikir. Dzikir dalam pandangan al-Singkli
merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan
dzikir inilah hati selalu mengingat Allah. Tujuan dzikir adalah mencapai fana’
(tidak ada wujud selain wujud Allah). Itu berarti wujud yang berdzikir bersatu
dengan wujud Allah.[30]
Ajaran
tasawuf al-Sinkili yang lain bertalian dengan martabat perwujudan Tuhan.
Menurutnya ada tiga martabat perwujudan Tuhan. Pertama, martabat ahadiyah
atau la ta’ayyun, yaitu alam pada waktu itu masih merupakan hakikat gaib
yang masih berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah
atau ta’ayyun, yaitu telah terciptanya haqiqat Muhammadiyah yang
potensial bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahdiyyah atau ta’ayyun
tsani, yang disebut juga dengan ‘ayan tsabihah, dari sinilah alam
tercipta. Menurutnya ucapan “Aku, Engkau,Kami Engkau, dan Engkau Ia” hanya
benar pada tingkat wahdah atau ta’ayyun awwal karena unsur Tuhan
dan unsur manusia pada tingkat itu belum dapat dibedakan. Tingkatan itulah yang
dimaksud Ibn ‘Arabi dalam sya’ir-sya’irnya. Akan tetapi pada tingkatan wahidiyah
atau ta’ayyun bagi insan kamil dan sebaliknya. Namun Ia bukan pula yang
lainnya. Bagi al-Sinkili, jalan bagi mengesakan Tuhan adalah dengan zikir la
ilaha illallah sampai tercipta fana.[31]
Al-Sinkili
menerangkan ajarannya dalam dua karyanya Kifayat al Muhtajin ila Masyrab al
Muwahidin al Qoilinbi Wahdat al Wujud dan Daqaiq al Huruf. Selain
mempertahankan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya, ia juga menolak pendapat
wujudiyyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam ciptaan-Nya. Menurutnya,
sebelum Tuhan menciptakan alam raya, Dia selalu memikirkan tentang dirinya yang
mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad. Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan
pola-pola dasar permanen, yaitu potensi alam raya yang menjadi sumber dari
pola-pola dasar luar, ciptaan dalam bentuk konkretnya. Al-Sinkili menyimpulkan
meski pola dasar luar merupakan emanasi dari wujud mutlak, mereka berbeda dari
Tuhan itu sendiri. Hubungan keduanya seperti tangan dengan bayangannya.
Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin, Abdul Rauf al-Singkili
diangkat sebagai Mufti kesultanan Aceh menjadi Qadhi Malikul Adil. Dalam
kiprahnya beliau melanjutkan usaha pembaharuan yang pernah dirintis oleh
al-Raniri. Tema sentral pembaharuannya diutamakan pada rekonsiliasi, dengan
memadukan secara simponi tasawuf dan syariah. Kegagalan al-Raniri menentang
menentang paham wujudiyah dilanjutkan oleh Abdul Rauf, tetapi tidak dengan
jalan radikal. Beliau sangat bijaksana dalam menyikapi dua hal yang
bertentangan dan tidak bersikap kejam terhadap mereka yang menganut paham lain.
Beliau juga mengecam sikap radikal yang dijalani Ar-Raniri. Dengan bijaksana
mengingatkan kaum Muslimin Nusantara bahwa jangan tergesa-gesa dan bahayanya
menuduh orang lain sesat atau kafir. Meskipun begitu syaikh Abdul Rauf tetap
menolak paham wujudiyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan
dan hamba.[32]
Banyak karya yang dihasilkan oleh Abdul Rauf al-Singkili. Ada 21
kitab yang karya tulis telah dihasilkan yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2
kitab hadis, 3 kitab fiqih dan sisanya kitab tasawuf. Syaikh Abdul Rauf menulis
dalam bahasa Arab dan Melayu. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman Al
Mustafid diakui sebagai kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia
dengan bahasa Melayu. Mir’at at Tulab fi Tahsil Ma’rifat Ahkam asy
Syar’iyyah lil Malik al Wahhab merupakan salah satu kitabnya di bidang ilmu
fiqih. Di dalamnya memuat berbagai persoalan fikih Madzhab Syafiie. Kitab ini
juga menjadi panduan para kadi di kerajaan Aceh.
Di bidang tasawuf, karyanya antara lain Kifayatul Al Muhtajin,
Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, Umdat al Muhtajin dan Umdat
al Muhatajin Suluk Maslak al Mufridin. Kitab yang terakhir ini merupakan
karya terpenting Syeikh Abdurauf. Kitab Umdat al Muhtajin Suluk maslak al
Mufridin terdiri dari tujuh bab. Isinya memuat antara lain memuat tentang
zikir, sifat-sifat Allah dan Rasul-Nyadan asal usul mistik.[33]
Daftar
Pustaka
Buku
Badriyah
Syams, Tarekat Sebagai Cara Pendekatan Diri Kepada Allah, (Jakarta:
Mazhab Ciputat), 2011
Hawash
Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,
Surabaya: Al-Ikhlas, 1980
M.
Abdul Karim, Islam Nusantara,(Yogyakarta: Pustaka Book Publisher), 2007
Nur
Syam, Tarekat Petani: Fenomena Tarekat Syattariyah lokal, (LKis:
Yogyakarta), 2013
Internet
[1] Nur Syam, Tarekat Petani: Fenomena Tarekat Syattariyah lokal,
(LKis: Yogyakarta), 2013, cet 1, hal 25
[2] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di
Nusantara, (Surabaya: Al-Ikhlas), 1980
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Aceh
[4] http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/sejarah-dan-pemikiran-tasawuf-di-aceh/
[5] M. Abdul Karim, Islam Nusantara,(Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher), 2007
[6] http://sehatihsan.blogspot.com/2008/08/tasawuf-di-aceh-sebuah-peta-kronologis.html
[7] http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/sejarah-dan-pemikiran-tasawuf-di-aceh/
[8] http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/2013/10/01/ulama-ulama-penyiar-islam-awal-di-aceh-abad-16-17m/
[9] Badriyah Syams, Tarekat Sebagai Cara Pendekatan Diri Kepada
Allah, (Jakarta: Mazhab Ciputat), 2011, hal 24
[10] http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/sejarah-dan-pemikiran-tasawuf-di-aceh/
[11] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara,
(Kencana Prenada Media Group: Jakarta), 2006, hal 74-75
[12] http://dedewiami17.blogspot.com/2010/11/sejarah-perkembangan-tasawuf-di-aceh.html
[13] Hawash Abdullah, hal 31-38
[14] http://dedewiami17.blogspot.com/2010/11/sejarah-perkembangan-tasawuf-di-aceh.html
[15] http://sehatihsan.blogspot.com/2008/08/tasawuf-di-aceh-sebuah-peta-kronologis.html
[16] http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/sejarah-dan-pemikiran-tasawuf-di-aceh/
[17] Sri Mulyati, hal 81
[18] http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/2013/10/01/ulama-ulama-penyiar-islam-awal-di-aceh-abad-16-17m/
[19] Badriyah Syams, Tarekat Sebagai Cara Pendekatan Diri Kepada
Allah, hal 26-27
[20] Badriyah Syams, Tarekat Sebagai Cara Pendekatan Diri Kepada
Allah, hal 26
[21] http://dedewiami17.blogspot.com/2010/11/sejarah-perkembangan-tasawuf-di-aceh.html
[22] http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/sejarah-dan-pemikiran-tasawuf-di-aceh/
[23] Badriyah Syams, Tarekat Sebagai Cara Pendekatan Diri Kepada
Allah, hal 27
[24] http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/2013/10/01/ulama-ulama-penyiar-islam-awal-di-aceh-abad-16-17m/
[25] Badriyah Syams, Tarekat Sebagai Cara Pendekatan Diri Kepada
Allah, hal 27
[26] Badriyah Syams, Tarekat Sebagai Cara Pendekatan Diri Kepada
Allah, hal 28
[27] Badriyah Syams, Tarekat Sebagai Cara Pendekatan Diri Kepada
Allah, hal 28
[28] Nur Syam, Tarekat
Petani: Fenomena Tarekat Syattariyah lokal,
hal
27
[29] http://sehatihsan.blogspot.com/2008/08/tasawuf-di-aceh-sebuah-peta-kronologis.html
[30] Badriyah Syams, Tarekat Sebagai Cara Pendekatan Diri Kepada
Allah, hal 29
[31] http://zainal-alvi.blogspot.com/2010/11/tokoh-tasawuf-indonesia.html
[32] http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/2013/10/01/ulama-ulama-penyiar-islam-awal-di-aceh-abad-16-17m/
[33] http://zainal-alvi.blogspot.com/2010/11/tokoh-tasawuf-indonesia.html
Khadimul Majlis al-Mu'afah
H. Rizqi Dzulqornain
al-Batawiy M.A
Ikuti Kajian Islam:
instagram.com/rizkialbatawi
@rizkialbatawi
H. RIZQI DZULQORNAIN AL-BATAWIY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar