Sabtu, 10 Mei 2014

TASAWUF DAN TAREKAT DI ACEH: TOKOH-TOKOH DAN AJARANNYA



TASAWUF DAN TAREKAT DI ACEH: TOKOH-TOKOH DAN AJARANNYA

Pendahuluan
Tidak diragukan bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui sentuhan tasawuf. Ada banyak sumber sejarah yang menyatakan bahwa Islamissasi di Nusantara yang berlangsung secara damai, hakikatnya adalah proses Islamisasi yang dilakukan oleh para da'i sufi yang memang memiliki kemampuan berdakwah dengan model tasawuf yang menyejukkan dan sangat kontekstual. G.W.J. Drewes, salah seorang pengkaji Islam Nusantara terutama di awal Islamisasi menyatakan, pada akhir abad ke-13 penyebaran Islam telah di mulai di kalangan masyarakat Indonesia. Tentang penyebaran Islam pada abad pertama memang hanya sedikit informasi yang kita miliki, sebab sumber-sumber sejarah yang kita miliki dan paling tua berasal dari abad keenam dan ketujuh.[1]
Aceh merupakan daerah sentral dalam transformasi Islam di Indoensia. Sejak kota Malaka jatuh ke tangan Portugis, para pedagang Islam meninggalkan Malaka dan pindah ke Aceh untuk melakukan kegiatan perdagangannya. Bersama mereka juga turut para Ulama dan pujangga. Dalam waktu 50 tahun kemudian, Aceh telah menjadi pusat perdagangan, kebudayaan dan politik serta pusat pengkajian Islam di kawasan Asia Tenggara.[2]
Dalam pembicaraan tentang sejarah dan pemikiran tasawuf di Indonesia, Aceh memainkan peranan yang sangat penting, karena Aceh merupakan wilayah yang tidak bisa di pisahkan dalam setting sejarah Islam di Indonesia khususnya dan dengan Malaysia, Thailand, Brunei, dan Negara-negara di semenanjung melayu pada umumnya. Pemikiran tasawuf di Aceh banyak terkait dengan pemikiran-pemikiran tasawuf di wilayah lain di nusantara, baik dari aspek sejarah maupun substansi pemikirannya. Dari aspek sejarah banyak terbukti bahwa dari tokoh-tokoh sufi Aceh inilah kemudian tasawuf menyebar dan membentuk jaringan-jaringan keseluruh Nusantara. Sedangkan secara substansial, pemahaman tasawuf di Aceh mempengaruhi daerah-daerah lain, sehingga di beberapa daerah lain ada kecenderungan isi dan corak pemikiran tasawufnya mirip dengan tasawuf di Aceh, kendatipun sebetulnya sedikit banyak telah mengalami pergeseran-pergeseran atau mengalami modifikasi.
Melihat besarnya pengaruh tokoh sufi Aceh dalam perkembangan sufisme baik di wilayah Aceh dan Nusantara, maka dalam tulisan ini pemakalah akan mencoba untuk membahas sekilas tentang empat tokoh besar sufi Aceh beserta ajarannya yaitu; Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, dan Abdul Rauf As-Singkili, yang mempunyai pengaruh dalam perkembangan sufi di Aceh dan nusantara.

Sejarah Pemikiran Tasawuf di Aceh
Kemunculan dan perkembangan tasawuf serta tarekat di Aceh tidak terlepas dari masuknya Islam dan perkembangannya yang dibawa oleh ulama-ulama Islam timur tengah yang ikut dalam kepal pedagang dari India dan Persia. Hamka berpendapat Islam masuk ke Aceh sejak abad pertama Hijriah (ke-7 atau 8 M) namun ia menjadi sebuah agama yang dianut oleh masyarakat Aceh pada abad ke-9 seperti pendapat Ali Hasjmy.[3]
Sebelum nama “Aceh” lahir sebagai sebuah kerajaan Islam, terdapat 6 daerah terpenting di ujung utara Sumatra diantaranya adalah kerajaan Perlak, Samudra Pasai, Teumiang (Negeri Myanmar), Pidie, Indera Purba, Soudu. Dalam perkembangan selanjutnya, keenam daerah tersebut tersatukan menjadi daerah Aceh oleh Sultan Husein Syah yang memerintah Aceh Darussalam pada tahun 870-885 H/1465-1480. Di masa inilah baru terbentuk kesatuan Aceh, yaitu satu agama, satu bangsa, dan satu Negara, dan kesatuan inilah Aceh menjadi kuat dan megah hingga mencapai zaman kegemilangannya.[4]
Islam berkembang di Aceh dengan sangat cepat. Aceh menjadi salah satu kekuatan kerajaan Islam di Nusantara. Aceh yang terletak di ujung pulau Sumatra mampu memegang peranan penting di Nusantara maupun di luar Nusantara. Menurut Dr. M. Abdul Karim, Double M.A, di Sumatera telah ada negeri Islam yaitu Peureulak (Perlak) sebagai pusat penyebaran Islam di pelabuhan Sumatera Utara. Masuknya Islam di Perlak melalui proses mission sacre (proses dakwah bi al-hal) yang dibawa oleh para muballigh yang merangkap tugas menjadi pedagang.[5]
Kejayaan dan kemajuan yang dicapai oleh Aceh menyebabkan berdatangan ulama-ulama dari Arab, Persia atau India menjalin hubungan demi pengembangan keilmuan di Aceh. Di Aceh telah lahir ulama-ulama besar yang membaktikan diri mereka dalam renungan dakwah Islam sehingga lahirlah khazanah keilmuan dan wacana intelektual keagamaan. Diantaranya juga adalah tasawuf dan tarekat yang juga ikut berkembang pesat mewarnai kehidupan keagamaan di Aceh.
Ada beberapa hal yang digunakan atau dilakukan oleh para ulama dan pedagang Islam untuk menyebarkan Islam di wilayah nusantara, yaitu; Pertama metode perdagangan. Kedua pendekatan dengan pernikahan. Ketiga pendekatan politik dan metode yang keempat adalah metode sufistik. Metode yang keempat cukup beralasan, karena para penyiar Islam sesungguhnya adalah ulama-ulama yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sufistik. Mereka tampil sebagai ulama-ulama yang mempraktikkan tarekat tertentu. Ulama-ulama tersebut tampil sebgai figur-figur sufi kharismatik, berwibawa, dan arif dan disertai sikap yang akomodatif terhadap budaya setempat.
A.H. Johns mengemukakan “teori SufI” tentang penyebaran Islam di Nusantara. Teori ini menyimpulakn bahwa yang membawa Islam ke Nusantara adalah para sufi. Para sufi memiliki kelebihan dibandingkan dengan saudagar (meskipun ada sufi yang datang sebagai saudagar). Mereka mampu menyajikan Islam dalam kemasan atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam atau kontinuitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal. Hasil dari apa yang dilakukan para sufi ini terlihat dari konversi agama yang terjadi pada abad 13 tersebut di seluruh Nusantara. Masyarakat akan menjadi muslim setelah mereka berjumpa dengan sufi.[6]
Ketika Aceh sedang mengalami puncak kejayaannya, mazhab tasawuf Ibnu Arabi dan al-Jilli yang berwatak pantheisme telah mendominasi pemikiran dan penghayatan keagamaan dalam istana dan kalangan masyarakat umum. Mazhab tasawuf ini disebarkan oleh 2 orang pemuka tasawuf Aceh terkenal yaitu Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin Sumatrani (w 1630). Melalui dua orang sufi ini, ajaran tasawuf Ibnu Arabi yang kemudian di Aceh dikenal dengan Wujudiyyah memperoleh kemajuan sangat pesat dan dianut secara luas oleh masyarakat umum dan kalangan istana. Melalui kitab-kitab dan sejumlah muridnya, ajaran tasawuf Wujudiyyah menjadi ajaran formal dan mendapat dukungan luas masyarakat Aceh.[7]

Tokoh-tokoh Tarekat di Aceh beserta Ajarannya
Berikut adalah beberapa nama-nama besar ulama sufi penyebar Islam di Aceh dan buah karyanya serta peran mereka dalam pengembangan keilmuan di Nusantara:
A.    Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri adalah seorang ulama dan sufi besar pertama di Aceh. Beliau adalah penulis produktif yang menghasilkan karya risalah keagamaan dan juga prosa yang sarat dengan ide-ide mistis. Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus, sebuah kota yang seorang Arab zaman dahulu dinamai “Fansur”, yang merupakan pusat pengetahuan Islam lama di Aceh Barat Daya. Tidak diketahui dengan pasti tentang tahun kelahiran dan kematian Hamzah Fansuri, tetapi diperkirakan beliau hidup dan berkiprah sebelum dan selama pemerintahan Sultan Alaiddin Ali Ri’ayatsyah Saidil Mukammil (1588-1604).[8]
Pada awal perkembangan tasawuf di Nusantara ajaran Hamzah Fansuri menjadi paham resmi kerajaan Aceh sehingga pengaruh taswufnya meluas bahkan merembes hingga ke perpustakaan Jawa sampai abad ke 19 (dalam Serat Centini, Wirid Hidayati jati, dan sebagainya). Fansuri selama hidupnya banyak berkelana ke daerah-daerah lain termasuk jawa dengan maksud menyebarkan tarekat ini. Di Jawa paham tasawuf wujudiyah yang dianut Hamzah Fansuri ini hidup subur juga atas dukungan raja-raja Mataram.[9]
Paham dan pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri yang dibawanya bersama seorang muridnya bernama Syamsuddin Al-Sumatrani adalah paham wujudiyah (wahadatul wujud). Mereka berdua telah memainkan peranan penting dalam membentuk pemikiran dan praktek keagamaan kaum Muslim Nusantara pada paruh pertama abad ke-17 M ketika kerajaan Aceh tengah mencapai puncak kejayaannya. Ajaran-ajaran mereka sangat dipengaruhi oleh karangan-karangan Ibnu Arabi dan Al-Jiliy, hal ini bisa dilihat ketika ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat dari pada urat-urat leher manusia sendiri, dan bahwa Tuhan tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa ia ada dimana-mana. Diantara ajaran tasawuf al-Fansuri yang lain berkaitan dengan hakikat wujud dan penciptaan, menurutnya wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatan banyak. Semua benda yang ada sebenarnya merupakan manifestasi dari yang haqiqi yang disebut al-Haqq Ta’ala.[10]
Orang banyak menolak pemikiran Hamzah Fansuri karena faham wihdatul wujud, hulul, dan ittihad-Nya. Karena banyak orang yang mengklaim sebagai seorang zindiq, sesat, kafir dan sebagainya. Pemikiran mereka akhirnya ditentang oleh ulama-ulama besar Aceh yang datang belakangan, yaitu Nuruddin Ar-Raniri dan Abdul Rauf al-Singkili. Dalam bidang tasawuf beliau mengikuti tarekat Qadiriyah yang dipelopori oleh Syaikh Abdul Qadir Jilani.
Ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dapat dijelaskan sebagai berikut:[11]
1.      Wujud, menurutnya yang disebut wujud itu hanyalah satu, walaupun kelihatannya banyak. Wujud yang satu itu berkulit dan berisi, atau ada yang mazhar (kenyataan lahir) dan ada yang batin. Ataupun semua benda-benda yang ada ini, sebenarnya adalah merupakan pernyataan saja daripada wujud yang hakiki, dan wujud yang hakiki itulah yang disebut Allah. Wujud itu mempunyai tujuh martabat, namun hakikatnya satu. Martabat tujuh itu adalah: Ahadiyah yakni hakikat sejati dari Allah; Wahdah yaitu hakikat dari Muhammad; Wahidiyah yaitu hakikat dari Adam; Alam arwah hakikat dari nyawa; Alam mitsal hakikat dari segala bentuk; Alam ajsam hakikat tubuh; dan Alam insan hakikat manusia. Dan semuanya berkumpul (wahdah)ke dalam yang satu, itulah ahadiyah, itulah Allah dan itulah Aku.
2.      Allah. Menurut Hamzah, Allah adalah zat yang mutlak dan kadim, sebab pertama dan pencipta alam semesta. Menurutnya dalam Asror al Arifin disebutkan: 'Ketika bumi dan langit belum ada, surga dan neraka belum ada, alam sekalian belum ada, apa yang ada pertama? Yang pertama adalah zat, yang ada pada dirinya sendiri, tiada sifat dan tiada nama, itulah yang pertama.'
3.      Penciptaan. Menurutnya sebenarnya hakikat dari zat Allah itu adalah mutlak dan la ta'ayyun (tidak dapat ditentukan). Zat yang mutlak itu mencipta dengan cara menyatakan dirinya dalam suatu proses penjelmaan, yaitu pengaliran keluar dari diri-Nya (tanazzul) dan pengaliran kembali kepada-Nya (taraqqi).
4.      Manusia. Walaupun manusia sebagai tingkat terakhir dari penjelmaan, akan tetapi manusia adalah tingkat yang paling penting, dan merupakan penjelmaan yang paling penuh dan sempurna, ia adalah aliran/pancaran langsung dari zat yang mutlak. Hal ini menunjukkan adanya semacam kesatuan antara Allah dan manusia.
5.      Kelepasan. Manusia sebagai mahluk penjelmaan yang sempurna dan berpotensi untuk menjadi insan kamil, namun karena lalainya maka pandangannya kabur dan tiada sadar bahwa seluruh alam semesta ini adalah palsu dan bayangan.
Hamzah Fansuri yang menjadi ikon mengarang puluhan kitab yang menjelaskan berbagai dimensi ajaran agama Islam. Ia mencoba memaparkan konsepsi tasawuf dengan pendekatan “Melayu” di mana ia menjelaskan berbagai posisi manusia dalam upaya pendekatan dirinya dengan Allah. Hamzah yang sufi ini kemudian menjadi soko guru bagi sarjana-sarjana Islam lainnya di Nusantara, terutama yang belajar pada murid-muridnya di kemudian hari.
Hamzah Fansuri memiliki karya-karya yang cukup banyak dalam kesustraan Melayu-Indonesia tercatat buku-buku syairnya diantaranya Syair Burung Pingai, Syair Dagang, syair Punggug, syair Sidang Fakir, syair Ikan Tongkol, dan syair Perahu. Adapun karangan-karangan Syakh Hamzah Fansuri yang berbentuk karya ilmiah antaranya adalah Asrarul Arifin fi Bayaani ‘Ilmis suluki wa at-Tauhid, Syarbul ‘Asyikin, Al-Muhtadi, Ruba’i Hamzah al-Fansuri.[12]
Karya-karya Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak menarik perhatian para sarjana, baik sarjana barat amupun sarjana setempat. Yang banyak membicarakan tentang Hamzah Fansuri antara lain Prof. Syed Muhammad Naqib dengan beberapa judul bukunya. Tidak ketinggalan seumpama Prof. A. Teeuw. Juga R.O. Winstedt yang diakuinya bahwa Hamzah Fansuri mempunyai semangat yang luar biasa yang tidak terdapat pada orang lain. Dua oranng yaitu J. Doorenbos dan Syed Muhammad Naqib al-Attas mempelajari biografi Hamzah Fansuri secara mendalam untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Leiden dan Universitas  London.[13]

B.     Syamsuddin al-Sumatrani
Sufi besar yang muncul di Aceh sesudah Hamzah Fansuri ialah Syamsuddin al-Sumatrani, atau yang juga dikenal sebagai Syamsudin Pasai karena berasal dari Pasai. Syamsuddin al-Sumatrani adalah seorang keturunan ulama. Ayahnya bernama Abdullah Al- Sumatrani. Syamsudin al-Sumatrani ini merupakan tokoh sufi kenamaan di Aceh. Dia mendapat pendidikan kesufian dari Syekh Hamzah al-Fansuri, yang mengajarkan faham wujudiyyah. Syamsuddin al-Sumatrani hidup pada masa kejayaan kesultanan Aceh (1607-1636).[14]
Dalam pemikiran tasawufnya, Syamsuddin al-Sumatrani membahas tentang Martabat Tujuh dan sifat dua puluh Tuhan. Pemikiran ini dikembangan Syamsuddin dengan tambahan pengetahuan yang diperoleh dari Tuhfah al-Mursalah ila Ruhi al-Nabi karya Muhammad Ibn Fadhillah, seorang ulama Sufi dari Gujarat India. Beliau mencoba menjelaskan faham ini dalam pandangan yang panteistik dan menyebarkannya. Faham ini kemudian menjalar sampai ke seluruh Nusantara. Pengaruhnya di Jawa terlihat dalam kitab Centini, Wirid Hidayat Nabi, kitab Martabat alam tujuhnya Kyai Hasan Mustafa dan lain sebagainya.[15]
Konsep Martabat Tujuh mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam semesta, termasuk manusia, adalah aspek lahir dari hakikat yang Tunggal, yaitu Tuhan. Tuhan sebagai yang mutlak tidak dapat dikenal baik oleh akal, indera maupun khayal. Dia baru dapat dikenal sesudah ber-tajalli sebanyak tujuh martabat, sehingga tercipta alam semesta beserta isinya, termasuk manusia, sebagai aspek lahir dari Tuhan. Diantara ajarannya adalah bahwa Tuhan saja yang wujud. Hal ini didasarkan pada Surat Al-Hadid ayat 3:
هُوَ الأوَّلُ وَالآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: "Dia-lah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zhahir (tampak), dan Yang Batin (tersembunyi)."
Konsep Martabat Tujuh cenderung berhubungan dengan teori Tanazzul dalam tasawuf. Tanazzul (tanzil) diartikan sebagai turunnya Wujud dengan penyingkapan Tuhan, dari kegaiban ke alam penampakan melalui berbagai tingkat perwujudan. Teori ini menggambarkan bahwa manusia sebagai makhluk sempurna merupakan pancaran dari Wujud Sejati, yang menurunkan Wujud-Wujud-Nya dari alam rohani ke alam materi dalam bentuk manifestasi wujud secara hierarki wujud atau gradasi wujud. Proses penurunan wujud ini dalam referensi sufi dinamakan dengan tanazzul, yang dikenal melalui bentuk penyingkapan diri (tajalli).[16]
Pokok-pokok ajaran Syamsuddin al-Sumatrani:
1.      Tentang Allah, Syamsuddin al-Sumatrani mengajarkan bahwa Allah itu Esa adanya, Qodim, dan Baqa. Suatu zat yang tidak membutuhkan ruang, waktu dan tempat dan mustahil dapat dibayangkan kemiripannya dengann sesuatu apapun juga.
2.      Tentang penciptaan. Sufi ini menggambarkan tentang penciptaan dari zat yang mutlak itu dengan melalui tahap tingkatan, mulai dari ahadiyah, wahdah, wahidiyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam, dan alam insan.
3.      Tentang manusia ia berpendapat bahwa manusia seolah-olah semacam objek ketika Tuhan menzahirkan sifatnya. Semua sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia ini hanyalah sekedar penggambaran dari sifat-sifat Tuhan dan tidak berarti bahwa sifat-sifat Tuhan itu sama dengan sifat yang dimiliki oleh manusia. Oleh karena sifat-sifat itu adalah sifat ma'ani bagi Allah (hakikat yang terdalam dari sifat-sifat Qudrat, Iradat, Ilmu, Sama', Bashar, Kalam).[17]
Sebagai penulis risalah tasawuf beliau lebih produktif daripada pendahulunya. Beliau banyak mengarang kitab dalam bahasa Melayu dan Arab. beliau juga merupakan seorang ulama dan sangat disayangi sultan Iskandar Muda, sehingga diangkat sebagai pembantu dekatnya. Sultan Iskandar Muda sangat tertarik dengan ajaran tasawuf yang dibawa oleh Syamsuddin al-Sumatrani sehingga beliau termasuk salah seorang pengikut faham wujudiyah. Sejumlah karyanya yang dipersembahkan untuk sultan Iskandar Muda antara lain Kitab Thariq al-Salihin dan Nur al-Daqaiq.
Dalam penulisan sastra, peranan Syamsuddin al-Sumatrani terutama dalam upayanya mengembangkan kritik sastra secara hermenuetika sufi (ta’wil) yang telah berkembang sejak abad 11 M. Karyanya yang menggunakan metode ta’wil ini tampak dalam risalahnya yaitu Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri. Ta’wil merupakan metode penafsiran sastra yang melihat teks puisi sebagai ungkapan kata-kata simbolik dan metaforik yang maknanya berlapis-lapis (makna lahir, makna bathin, dan makna isyarah atau sugestif). Bahasa Melayu yang digunakan Syamsuddin al-Sumatrani dalam karyanya tidak jauh berbeda dari bahasa Melayu yang digunakan penulis kitab sastra dalam abad 17-19 M.
Karya-karya Syamsuddin al-Sumatrani antara lain adalah:
·        Mir’at al-Mukminin (Cermin orang beriman),
·        Jauhar al-Haqaiq (Permata Kebenaran),
·        Kitab al-Haraka,
·        Mir’at al-Iman,
·        Kitab al-Martaba (Martabat manusia),
·        Mir’at al- Muhaqqiqin,
·        Syarah Ruba’I Hamzah fansuri,
·        Thariq al-Salihin.[18]

C.    Nuruddin al-Raniri
Namanya adalah Nur al-Din Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasanji ibn Muhammad al-Raniri. Silsilah keturunan al-Raniri ini berasal dari India, keturunan Arab. Dipanggil al-Raniri karena beliau dilahirkan di daerah Ranir (Rander) yang terletak dekat Gujarat (India) pada tahun 1568 M. Dan meninggal dunia pada 22 Dzulhijjah 1096 H/21 September 1658 M di India.
Menurut J.S. Trimingham, sesuai pengakuan al-Raniri sendiri, bahwa beliau menganut Tarekat Rifa'iyyah lewat Syaikh Ba'Syaiban, yang bertindak sebagai syaikh tarekat di India pada waktu itu. Di antara ajaran tarekat yang sampai sekarang masih meninggalkan namanya dalam kebudayaan setempat, berupa musik rebana yang dinamakan 'rapai', adalah Tarekat Rifa'iyyah di Aceh.[19]
Al-Raniri lebih dikenal sebagai ulama besar Melayu-Indonesia daripada India-Arab. Karena sejak kecil sudah tertarik dan senang mempelajari bahasa melayu, sehingga tumbuhlah beliau menjadi seorang yang sangat mencintai dunia Melayu. Al-Raniri datang ke Aceh pada tanggal 6 Muharram 1047 H atau 31 Mei 1637 M lalu menduduki posisi Syaikh al-Islam di kesultanan Aceh pada waktu itu di bawah pimpinan Sulta Iskandar Tsani 1641 telah membawa perubahan besar bagi kehidupan keagamaan dan intelektual yang menolak paham tasawuf wujudiyah, karena terjadi kesalahpahaman terhadap tasawuf wujudiyah.[20]
Pasca Syamsuddin al-Sumatrani, al-Raniri mencoba menghapus ajaran Hamzah dan Syamsuddin yang dianggapnya bertentangan dengan syari’at dan tasawuf yang benar. Beliau melakukan berbagai upaya untuk membuat pengikut Hamzah dan Syamsuddin bertaubat, kembali pada keimanan yang benar.
Nuruddin al-Raniri banyak menghasilkan tulisan. Di antara buku yang ditulisnya itu, ada tulisan yang khusus untuk mengecam atau mengkafirkan penganut ajaran Syamsuddin dan Hamzah Fansuri. Ini karena kedua orang tersebut dikategorikan sebagai penganut paham Wahdat al-wujud. Pada masa itu sedang panasnya polemik di masyarakat mengenai ajaran kedua sufi ini, bahkan ada yang menganggap keduanya sesat.
Pada satu sisi al-Raniri mampu “memaksa” pengikut Hamzah dan Syamsuddin bertaubat, namun di sisi lain sesungghnya ini juga menjadi salah satu faktor yang mendorong pemahaman tasawuf seperti yang diajarkan Hamzah semakin kuat. Apalagi setelah tujuh tahun menjadi syaikh al-Islam di Aceh al-Raniri kembali ke Ranir, India, maka tasawuf bercorak panteistik tersebut kembali muncul, walaupun tidak berkembang sebagaimana awalnya.
Dalam pembaharuannya, al-Raniri memperkenalkan corak keilmuan dan wacana keagamaan yang baru. Meskipun ia juga seorang penganut Wujudiah dan pengikut Ibnu ‘Arabi, namun dalam menafsirkan ajaran wujudiyah ia ketat bertolak pada syariat dan fikih. Paham wujudiyah yang dianutnya tidak hanya penekanan pada tasawuf saja, tetapi juga menjelaskan kepada kaum Muslim Nusantara dasar-dasar keimanan, aturan-aturan fikih, perbandingan agama, pentingnya hadis, serta sejarah.
Dalam hubungannya dengan ajaran Wujudiyyah, al-Raniri menyampaikan beberapa pesan:[21]
a.       Kebanyakan orang menjadi sesat karena membaca kitab-kitab tasawuf yang mengandung banyak istilah, ibarat dan pesan yang tidak mampu mereka cerna maksudnya. Karena mereka hanya berpegang pada pengertian lahir saja maka mereka terjatuh ke dalam i’tikad yang salah.
b.      Seharusnya orang awam tidak terpengaruh oleh ucapan wali-wali Allah yang sedang dalam keadaan fana.
Pemikiran Nuruddin al-Raniri dapat dikategorikan menjadi lima bagian, yaitu:[22]
a)      Tentang Tuhan.
Pendiriannya dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham mutakallimin dengan paham para sufi yang diwakili Ibn ‘Arabi. Ia berpendapat bahwa ungkapan “wujud Allah dan Alam Esa” berarti alam ini merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang batin yaitu Allah, sebagaimana yang dimaksud Ibn ‘Arabi. Namun, ungkapan itu pada hakikatnya adalah bahwa alam ini tidak ada. Yang ada hanyalah wujud Allah Yang Esa. Jadi, tidak dapat dikatakan bahwa alam ini berbeda atau bersatu dengan Allah.
b)      Tentang alam.
Pandangannya bahwa alam ini diciptakan Allah melalu tajalli. Ia menolak teori ­al-faidh (emanasi) al-Farabi karena akan membawa kepada pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga dapat jatuh kepada kemusyrikan. Alam dan falak, menurutnya, meripakan wadah tajalli asma dan sifat Allah dalam bentuk yang kongkret. Sifat ilmu bertajalli pada alam akal, nama rahman bertajalli pada arsy; nama Rahim bertajalli pada kursy; nama Raziq bertajalli pada falak ketujuh; dan seterusnya.
c)      Tentang manusia.
Merupakan makhluk Allah yang paling sempurna di dunia ini. Sebab, manusia merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya. Juga, karena ia merupakan mazhhar (tempat kenyataan asma dan sifat Allah paling lengkap dan menyeluruh). Konsep insan kamil, katanya, pada dasarnya hampir sama dengan apa yang telah digariskan Ibn ‘Arabi.
d)     Tentang Wujudiyyah
Menurutnya inti ajaran Wujudiyyah berpusat pada wahdah al wujud, yang disalahartikan kaum wujudiyyah dengan arti kemanunggalan Allah dengan alam. Menurutnya, pendapat Hamzah al-Fansuri tentang wahdat al-wujud dapat membawa kepada kekafiran. Bagi al-Raniri bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, maka dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia, maka jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk atau baik, Allah turut serta melakukannya. Jika demikian, maka manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan.
e)      Tentang hubungan syariat dan hakikat.
Pemisahan antara syariat dan hakikat, menurut al-Raniri, merupakan sesuatu yang tidak benar.
Meskipun al-Raniri hanya bermukim selama tujuh tahun (1637-1644) dan harus kembali ke India karena deportasi semasa kekuasaan Ratu Safiat al-Din (w. 1675) tetapi warisannya terhadap khazanah intelektual keislaman Melayu khususnya tasawuf cukup signifikan. Beliau termasuk pengarang prolifik yang menghasilkan karya dalam berbagai bidang ilmu keislaman seperti fikih, kalam, dan tasawuf. Beberapa karya al-Raniri antara lain sebagai berikut:[23]
·         Sirat al-Mustaqim (Jalan Lurus), merupakan kitab fikih yang pertama dan lengkap ditulis dalam bahasa melayu.
·         Dar al- Faraid, membahas tentang tauhid dan falsafah keimanan.
·         Lata’ih al-Asrar,
·         Hall al-Dzill ma’a Sahabihi,
·         Umdat al- I’tiqad,
·         Hujaj al-Sidiq,
·         Jauhar al-‘Ulum,
·         Ma’al Hayat,
·         Bustan al-Salatin (Taman Para Raja).
Nama lengkap dari kitab ini adalah Bustanu al-Salatin fi al-Awwaliin wa al-Akhirin. Kitab ini disusun atas permintaan Sultan Iskandar Tsani, yang berisi masalah ketatanegaraan dan sejarah. Kitab ini merupakan penyempurnaan dari kitab Tajul al-Salatin (Mahkota Raja-raja) yang dikarang oleh Bukhari Al-Jauhari. Kitab Bustanussalatin ini tidak hanya membahas tentang ketatanegaraan, sejarah saja tetapi juga memuat eskatologi, dan berbagai persoalan lain yang berkaitan dengan fikih, tasawuf dan usuluddin. Karena tebalnya kitab ini sampai kini tidak diterbitkan secara utuh, hanya bagian bab demi bab saja diterbitkan dalam buku terpisah. Kitab Bustanussalatin ini sangat penting sebagai sumber penulisan sejarah Aceh yang mengisahkan tentang Sultan Iskandar Tsani, Taman Raja yang dibangun sejak masa Sultan Iskandar Muda.[24]
Dengan mempertimbangkan aspek pemikiran dan kiprah praksisnya, Azyumardi Azra memandang bahwa al-Raniri merupakan salah seorang pembaharu (mujaddid) terpenting dalam sejarah awal pembaharuan Islam di Nusantara.[25]

D.    Abdul Rauf Al-Singkili
Abdul Rauf al-Singkili seorang tokoh ulama dan mufti besar kerajaan Aceh pada abad ke 17 ini, nama lengkapnya adalah Syeikh Abdurrauf bin Ali Fansuri Al Sinkili. Ia lahir di Fansur, dibesarkan di Singkel, wilayah pantai Barat-Laut Aceh. Diperkirakan lahir tahun 1024 H/1615 M. Ayahnya Syaikh Ali Fansuri masih bersaudara dengan Syaikh Hamzah Fansuri adalah orang Persia yang datang ke Samudera Pasai pada akhir abad ke 13 dan kemudian menetap di Fansur, Barus, sebuah kota pelabuhan tua di pantai barat Sumatra. Syaikh Abdul Rauf wafat pada tahun 1643 dan dimakamkan di Kuala (muara) Banda Aceh. Hingga kemudian makamnya dikenal dengan makam Syaikh Kuala.[26]
Pendidikannya dimulai dari ayahnya, kepada ayahnya beliau belajar ilmu-ilmu agama, sejarah, bahasa Arab, mantiq, filsafat, sastra Arab-Melayu, dan bahasa Persia, seebelum akhirnya beliau menghabiskan waktunya selama 19 tahun untuk menuntut berbagai cabang ilmu Islam di Haramain. Abdul Rauf al-Singkili pernah berguru pada Syaikh Ahmad al Qusyasyi, Ulama besar sufi Makah. Beliau juga pernah berguru di Madinah pada Syaikh Ibrahim Al-Kurani. Setelah selesai belajar berbagai macam ilmu agama ia kembali ke Aceh dan membaktikan dirinya di Kesultanan Aceh. Beliau adalah seorang tokoh sufi penyebar tarekat Syathariyah di Aceh.[27]
Tarekat Syathariyah di Nusantara tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Tarekat ini berkembang di Sumatra dan Jawa melalui Abdul Rauf al-Singkili. Di Sumatera Barat ajaran-ajaran tasawuf Al-Sinkili dibawa oleh muridnya Syaikh Burhanuddin Ulakan. Berkat muridnya Tarekat Syattariyah menjadi tarekat yang sangat berpengaruh di sekitaran daerah Pariaman. Sementara di Sulawesi ajaran-ajaran tasawuf al-Sinkili dibawa olehSyaikh Yusuf Tajul Khalwati Makssar. Di kepulauan Jawa Syattariyah disebarkan oleh muridnya Syaikh Abdul Muhyi, beliau belajar kepada al-Sinkili pada saat singgah di Aceh dalam pejalanannya ke Makkah utuk menunaikan ibadah haji. Tarekat ini juga berkembang hingga ke Tanah Melayu yang dibawa oleh muridnya, Abdul Malik bin Abdullah.[28]
Melihat banyaknya murid al-Sinkili dari berbagai daerah di Nusantara tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa tasawuf memiliki peranan penting dalam perkembangan Islam di Nusantara pasca melemahnya kerajaan Aceh Darussalam. Sebab pada masa itu, murid menjadi ujung tombak dalam penyebaran Islam. Saat mereka telah “tamat” belajar pada guru tertentu, mereka akan mencari guru lain atau pulang ke daerahnya dan menyebarkan ilmu keislaman di sana. Ini juga yang terjadi pada murid-murid al-Sinkili. Dengan jalan inilah pengaruh tasawuf yang diajarkan al-Sinkili menjalar ke seluruh Nusantara.[29]
Pada masa al-Sinkili, tasawuf bercorak falsafi tidak begitu terkenal dan populer dalam masyarakat. Meskipun dari beberapa karangannya terlihat al-Sinkili tidak setuju dengan faham tasawuf Hamzah, namun ia tidak pernah menyatakan secara eksplisit dalam tulisan-tulisannya. Beliau sendiri menganut tarekat Syaththariyah, meskipun beliau juga mengantongi ijazah tareqat Naqsabandiyah. Beliau memilih tarekat ini karena menganggap tarekat ini lebih mudah dan lebih tinggi, dasar amalannya dari al-Qur’an dan hadits Rasulullah dan dikerjakan oleh sekalian sahabat. Di Nusantara beliau menjadi guru utama tareqat ini, dan beliau masuk dalam silsilah tarekat yang dibacakan penganut tarekat Syattariyah sampai saat ini.
Pemikiran tasawuf as-Singkli dapat dilihat, antara lain pada persoalan kecenderungan untuk merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat, kendati demikian ajaran tasawufnya mirip dengan Syamsuddin dan Nuruddin al-Raniri yaitu penganut paham satu-satunya wujud hakiki, yaitu Allah. Sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud hakiki, tetapi bayangan dari wujud yang hakiki. Menurutnya jelaslah Allah berbeda dengan alam. Walaupun demikian antara bayangan alam dengan yang memancarkan bayangan (Allah) tentu memperoleh keserupaan. Maka sifat-sifat manusia adalah bayangan-bayanagn Allah, seperti yang hidup yang tahu dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan-perbuatan adalah perbuatan Allah. Al-Singkili juga mempunyai pemikiran tentang dzikir. Dzikir dalam pandangan al-Singkli merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan dzikir inilah hati selalu mengingat Allah. Tujuan dzikir adalah mencapai fana’ (tidak ada wujud selain wujud Allah). Itu berarti wujud yang berdzikir bersatu dengan wujud Allah.[30]
Ajaran tasawuf al-Sinkili yang lain bertalian dengan martabat perwujudan Tuhan. Menurutnya ada tiga martabat perwujudan Tuhan. Pertama, martabat ahadiyah atau la ta’ayyun, yaitu alam pada waktu itu masih merupakan hakikat gaib yang masih berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau ta’ayyun, yaitu telah terciptanya haqiqat Muhammadiyah yang potensial bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahdiyyah atau ta’ayyun tsani, yang disebut juga dengan ‘ayan tsabihah, dari sinilah alam tercipta. Menurutnya ucapan “Aku, Engkau,Kami Engkau, dan Engkau Ia” hanya benar pada tingkat wahdah atau ta’ayyun awwal karena unsur Tuhan dan unsur manusia pada tingkat itu belum dapat dibedakan. Tingkatan itulah yang dimaksud Ibn ‘Arabi dalam sya’ir-sya’irnya. Akan tetapi pada tingkatan wahidiyah atau ta’ayyun bagi insan kamil dan sebaliknya. Namun Ia bukan pula yang lainnya. Bagi al-Sinkili, jalan bagi mengesakan Tuhan adalah dengan zikir la ilaha illallah sampai tercipta fana.[31]
Al-Sinkili menerangkan ajarannya dalam dua karyanya Kifayat al Muhtajin ila Masyrab al Muwahidin al Qoilinbi Wahdat al Wujud dan Daqaiq al Huruf. Selain mempertahankan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya, ia juga menolak pendapat wujudiyyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam ciptaan-Nya. Menurutnya, sebelum Tuhan menciptakan alam raya, Dia selalu memikirkan tentang dirinya yang mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad. Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar permanen, yaitu potensi alam raya yang menjadi sumber dari pola-pola dasar luar, ciptaan dalam bentuk konkretnya. Al-Sinkili menyimpulkan meski pola dasar luar merupakan emanasi dari wujud mutlak, mereka berbeda dari Tuhan itu sendiri. Hubungan keduanya seperti tangan dengan bayangannya.
Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin, Abdul Rauf al-Singkili diangkat sebagai Mufti kesultanan Aceh menjadi Qadhi Malikul Adil. Dalam kiprahnya beliau melanjutkan usaha pembaharuan yang pernah dirintis oleh al-Raniri. Tema sentral pembaharuannya diutamakan pada rekonsiliasi, dengan memadukan secara simponi tasawuf dan syariah. Kegagalan al-Raniri menentang menentang paham wujudiyah dilanjutkan oleh Abdul Rauf, tetapi tidak dengan jalan radikal. Beliau sangat bijaksana dalam menyikapi dua hal yang bertentangan dan tidak bersikap kejam terhadap mereka yang menganut paham lain. Beliau juga mengecam sikap radikal yang dijalani Ar-Raniri. Dengan bijaksana mengingatkan kaum Muslimin Nusantara bahwa jangan tergesa-gesa dan bahayanya menuduh orang lain sesat atau kafir. Meskipun begitu syaikh Abdul Rauf tetap menolak paham wujudiyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dan hamba.[32]
Banyak karya yang dihasilkan oleh Abdul Rauf al-Singkili. Ada 21 kitab yang karya tulis telah dihasilkan yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab fiqih dan sisanya kitab tasawuf. Syaikh Abdul Rauf menulis dalam bahasa Arab dan Melayu. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman Al Mustafid diakui sebagai kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dengan bahasa Melayu. Mir’at at Tulab fi Tahsil Ma’rifat Ahkam asy Syar’iyyah lil Malik al Wahhab merupakan salah satu kitabnya di bidang ilmu fiqih. Di dalamnya memuat berbagai persoalan fikih Madzhab Syafiie. Kitab ini juga menjadi panduan para kadi di kerajaan Aceh.
Di bidang tasawuf, karyanya antara lain Kifayatul Al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, Umdat al Muhtajin dan Umdat al Muhatajin Suluk Maslak al Mufridin. Kitab yang terakhir ini merupakan karya terpenting Syeikh Abdurauf. Kitab Umdat al Muhtajin Suluk maslak al Mufridin terdiri dari tujuh bab. Isinya memuat antara lain memuat tentang zikir, sifat-sifat Allah dan Rasul-Nyadan asal usul mistik.[33]


Daftar Pustaka
Buku
Badriyah Syams, Tarekat Sebagai Cara Pendekatan Diri Kepada Allah, (Jakarta: Mazhab Ciputat), 2011
Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlas, 1980
M. Abdul Karim, Islam Nusantara,(Yogyakarta: Pustaka Book Publisher), 2007
Nur Syam, Tarekat Petani: Fenomena Tarekat Syattariyah lokal, (LKis: Yogyakarta), 2013

Internet




[1] Nur Syam, Tarekat Petani: Fenomena Tarekat Syattariyah lokal, (LKis: Yogyakarta), 2013, cet 1, hal 25
[2] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, (Surabaya: Al-Ikhlas), 1980
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Aceh
[4] http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/sejarah-dan-pemikiran-tasawuf-di-aceh/
[5] M. Abdul Karim, Islam Nusantara,(Yogyakarta: Pustaka Book Publisher), 2007
[6] http://sehatihsan.blogspot.com/2008/08/tasawuf-di-aceh-sebuah-peta-kronologis.html
[7] http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/sejarah-dan-pemikiran-tasawuf-di-aceh/
[8] http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/2013/10/01/ulama-ulama-penyiar-islam-awal-di-aceh-abad-16-17m/
[9] Badriyah Syams, Tarekat Sebagai Cara Pendekatan Diri Kepada Allah, (Jakarta: Mazhab Ciputat), 2011, hal 24
[10] http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/sejarah-dan-pemikiran-tasawuf-di-aceh/
[11] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, (Kencana Prenada Media Group: Jakarta), 2006, hal 74-75
[12] http://dedewiami17.blogspot.com/2010/11/sejarah-perkembangan-tasawuf-di-aceh.html
[13] Hawash Abdullah, hal 31-38
[14] http://dedewiami17.blogspot.com/2010/11/sejarah-perkembangan-tasawuf-di-aceh.html
[15] http://sehatihsan.blogspot.com/2008/08/tasawuf-di-aceh-sebuah-peta-kronologis.html
[16] http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/sejarah-dan-pemikiran-tasawuf-di-aceh/
[17] Sri Mulyati, hal 81
[18] http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/2013/10/01/ulama-ulama-penyiar-islam-awal-di-aceh-abad-16-17m/
[19] Badriyah Syams, Tarekat Sebagai Cara Pendekatan Diri Kepada Allah, hal 26-27
[20] Badriyah Syams, Tarekat Sebagai Cara Pendekatan Diri Kepada Allah, hal 26
[21] http://dedewiami17.blogspot.com/2010/11/sejarah-perkembangan-tasawuf-di-aceh.html
[22] http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/sejarah-dan-pemikiran-tasawuf-di-aceh/
[23] Badriyah Syams, Tarekat Sebagai Cara Pendekatan Diri Kepada Allah, hal 27
[24] http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/2013/10/01/ulama-ulama-penyiar-islam-awal-di-aceh-abad-16-17m/
[25] Badriyah Syams, Tarekat Sebagai Cara Pendekatan Diri Kepada Allah, hal 27
[26] Badriyah Syams, Tarekat Sebagai Cara Pendekatan Diri Kepada Allah, hal 28
[27] Badriyah Syams, Tarekat Sebagai Cara Pendekatan Diri Kepada Allah, hal 28
[28] Nur Syam, Tarekat Petani: Fenomena Tarekat Syattariyah lokal, hal 27
[29] http://sehatihsan.blogspot.com/2008/08/tasawuf-di-aceh-sebuah-peta-kronologis.html
[30] Badriyah Syams, Tarekat Sebagai Cara Pendekatan Diri Kepada Allah, hal 29
[31] http://zainal-alvi.blogspot.com/2010/11/tokoh-tasawuf-indonesia.html
[32] http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/2013/10/01/ulama-ulama-penyiar-islam-awal-di-aceh-abad-16-17m/
[33] http://zainal-alvi.blogspot.com/2010/11/tokoh-tasawuf-indonesia.html




Khadimul Majlis al-Mu'afah
H. Rizqi Dzulqornain al-Batawiy M.A

Ikuti Kajian Islam:

instagram.com/rizkialbatawi

@rizkialbatawi





H. RIZQI DZULQORNAIN AL-BATAWIY



Tidak ada komentar: