Seorang muslim yang melakukan ma'shiat disebut muslim yang durhaka. Dalam
aqidah Ahlus sunnah Wal jamaah, kema'shiatan orang itu tidaklah mengeluarkan
dirinya dari daerah iman, selama ia tidak mengingkari ketetapan hukum yang
telah diijma'kan. Apabila ia meninggal, padahal ia belum bertaubat dari
dosa-dosanya, maka urusannya adalah diserahkan kepada Allah. Jika Allah menghendaki memberikan ampunan
kepadanya, maka diampuni dosa-dosa orang tersebut. Jika tidak, maka ia mendapat
siksa. Selama ia tidak kufur atau musyrik, masih ada kesempatan baginya untuk
memperoleh ampunan dan kasih sayang Allah.[1]
وَمَنْ يَمُتْ ولَـمْ يَتُبْ
مِنْ ذَنْبِهِ
وَأَمْــــرُهُ مُفَوََّضٌ لِـرَبِّهِ
Artinya:"Siapa saja yang meninggal
sedangkan ia belum bertaubat dari dosanya. Maka perkara dirinya diserahkan
kepada Allah semata.”
Apabila ada seorang muslim dalam
hidupnya sudah tidak mengerjakan shalat 5 waktu dengan sebab ingkar akan
kewajiban shalat atau ia punya i'tiqad telah dihalalkan baginya meninggalkan
shalat tanpa uzur syar'i, maka ketika ia meninggal, meninggalnya dalam keadaan
kufur lantaran mengingkari salah satu kewajiban agama yang telah diijma'kan dan
haram dishalati janazahnya. Sebagaimana firman Allah surat al-Taubah ayat 84:
وَلَا
تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ
كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ .
Artinya:"Dan janganlah kamu
sekali-kali menyalati janazah seorang yang mati di antara mereka, dan jangan kamu
berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasulnya dan mereka mati
dalam keadaan fasiq."
Bagi orang yang meninggalkan
shalat 5 waktu dengan sengaja hanya karena malas saja, sedang ia tidak
mengingkari kewajibannya dan tidak menghalalkan meninggalkan salah satunya,
maka ia berdosa besar, hampir saja kebesaran dosanya itu mengeluarkannya dari
daerah iman. Maka terhukumlah ia sebagai seorang mu'min yang durhaka. Jika ia
meninggal, maka hendaknya diperlakukan fardhu kifayah yaitu Tajhiz janazahnya
dengan memandikan, mengafankan, menshalatkan dan menguburkannya. Karena ia
masih dikategorikan meninggal dalam keadaan beriman.[2]
Imam Ahmad Ibn Umar al-Muzajjad
mengatakan:
اِذَا جَحَدَ الْمُكَلَّفُ
وُجُوْبَ الصَّلاَةِ عَالِمًا كَفَرَ . أَوْ جَاهِلاً لِقُرْبِ اِسْلاَمِهِ اَوْ نُشُوْئِهِ
بَعِيْدًا عَنِ الْعُلَمَاءِ فَلاَ . وَاِنْ تَرَكَهَا بِلاَ جَحْدٍ فَاِنْ كَانَ
لِعُذْرٍ كنَوْمٍ اَوْ نِسْيَانٍ لَزِمَهُ قَضَاؤُهُ مُوَسَّعًا , وَاِنْ أَبَى لَمْ يُقْتَلْ اَوْ بِلاَ
عُذْرٍ بَلْ كَسْلاً اَوْ تَسَاهُلاً لَمْ يَكْفُرْ وَيَلْزَمُهُ قَضَاؤُهَا فَوْرًا
. وَيُقْتَلُ هَذَا بِتَرْكِ اَدَاءِ صَلاَةٍ وَاحِدَةٍ وَلَوْ جُمْعَةً , فَاِذَا
ضَاقَ وَقْتُهَا اُمِرَ بِفَعْلِهَا وَيُهَدَّدُ بِالْقَتْلِ اِنْ فَوَّتَهَا فَاِنِ
امْتَنَعَ حَتَّى فَاتَتْ قُتِلَ .
Artinya:"Jika seorang
mukallaf (islam, baligh dan berakal) mengingkari kewajiban shalat padahal dia
tau akan kewajibannya, maka dia kufur. Seandainya ia orang jahil atau baru
masuk Islam atau keadaan dirinya jauh dari ulama, maka ia tidak kufur. Dan jika
ia meninggalkan shalat tanpa mengingkari kewajiban shalat tersebut, seumpama
ada udzur ketiduran atau lupa, maka wajib ia qadhakan shalat yang ia tinggalkan
pada waktu yang diberikan keluasan. Jika ia menolak, maka ia tidak boleh
dibunuh. Atau ia tinggalkan shalat tanpa udzur seumpama karena malas atau
menggampangi urusan shalat (bukan karena ingkar kewajiban shalat) , maka ia
tidak kufur, tetapi ia wajib qadha shalat tersebut seketika itu juga. Dan
dibunuh orang tersebut dengan sebab meninggalkan satu shalat walaupun shalat
jum’at. Maka apabila waktunya sempit, maka ia diperintahkan untuk mengerjakan
shalat tersebut dan diberikan ancaman kepadanya dengan hukuman mati jika ia
keluputan shalat. Jika ia menolak sehingga waktu shalat itu luput darinya, maka
ia dibunuh.”[3]
Yang berhak mengeksekusi membunuh orang yang meninggalkan kewajiban shalat
adalah pemerintah atau wakilnya. Adapun siapa saja selain keduanya, maka tidak
dibenarkan dan bahkan berdosa jika melakukan hukuman pembunuhan tersebut. Pembunuhan
itu dilakukan setelah adanya perintah untuk melakukan taubat (istitabah), jika
disuruh bertaubat oleh pemerintah orang tersebut tidak mau dan sampai keluar
waktu shalat dari penjama’annya, maka ia wajib dibunuh.
Seseorang belum boleh dihukum lantaran meninggalkan shalat Zuhur hingga
habis waktu shalat Ashar. Dan ia belum boleh dibunuh lantaran meninggalkan
shalat Maghrib hingga habis waktu Isya. Lantaran shalat Zuhur dan Ashar, shalat
Maghrib dan Isya merupakan shalat yang boleh dijama’. Dan seseorang sudah boleh
dibunuh jika ia meninggalkan shalat Subuh hingga terbit matahari. Lantaran
shalat Subuh tidak bisa dijama’.[4]
Hukuman yang pantas bagi orang yang mengingkari kewajiban shalat adalah
dipenggal lehernya dengan pedang.
Apabila orang yang meninggalkan shalat lantaran malas tersebut telah dihukum
mati oleh pemerintah, maka diberlakukan hukum-hukum fardhu kifayah atas
janazahnya. Imam Ahmad al-Muzajjad mengatakan:
قَتْلُ تَارِكِ الصَّلاَةِ حَدٌّ , فَيَجِبُ غُسْلُهُ
وَتَكْفِيْنُهُ وَالصَّلاَةُ عَلَيْهِ وَدَفْنُهُ . وَلاَ يُطْمَسُ قَبْرُهُ وَيُدْفَنُ
مَعَ الْمُسْلِمِيْنَ .
Artinya:"Eksekusi
pembunuhan orang yang meninggalkan shalat merupakan Had. Maka wajib dimandikan,
dikafankan, dishalatkan dan dikuburkan janazahnya. Dan jangan dihancurkan
kuburannya. Dia dikuburkan bersama kuburan orang Islam.”[5]
Disimpulkan oleh Imam Syarfuddin
al-Amrithiy dalam Nazham Nihayah al-Tadrib:
وَ
إِنْ يَكُنْ تَرْكُ الصَّلاَةِ عَنْ كَسَلْ
وَ لَمْ
يَتُبْ فَالقَتْلُ حَدًّا اتَّصَلْ
وَ
اجْعَلْهُ فِي التَّجْهِيزِ وَ الصَّلاَةِ
كَمُسْلِمٍ
فِي سَائِرِ الجِهَاتِ
Artinya:Jika
seseorang meninggalkan shalat lantaran malas dan ia disuruh bertaubat ia
menolak, maka hukum mati baginya disebut Had. Dan lakukanlah pada janazahnya
tajhiz (pengurusan janazah) dan shalati janazahnya seperti orang muslim dalam
pekerjaan yang lainnya.”
Sedangkan apabila orang yang
meninggalkan shalat lantaran juhud (menentang kewajiban shalat) atau kufur
terhadap perintah shalat, dalam hal ini Syaikh Zainuddin al-Malibariy
mengatakan:
وَيُقْتَلُ كُفْرًا
إِنْ تَرَكَهَا جَاحِدًا وُجُوْبَهَا فَلاَ يُغْسَلُ وَلاَ يُصَلَّى عَلَيْهِ .
Artinya:"Dihukum mati dalam
keadaan kufur bagi orang yang meninggalkan shalat lantaran ia mengingkari
kewajiban shalat. Maka janazahnya tidak usah dimandikan dan dishalatkan.”[6]
Syaikh
Abu Bakr Ibn Muhammad Syatha menambahkan bahwa orang yang meninggalkan shalat
dengan sebab mengingkari kewajiban shalat, maka janazahnya jangan dikuburan
pada kuburan orang muslim, lantaran orang tersebut mati dalam keadaan menjadi
orang kafir.[7]
Disimpulkan
oleh Imam Syarfuddin al-Amrithiy dalam Nazham Nihayah al-Tadrib:
مَنْ يَرْتَدِدْ عَنْ دِينِنَا فَلْيُسْتَتَبْ
فَإِنْ أَبَى فَالقَتْلُ فَوْرًا قَدْ وَجَبْ
وَ لَمْ يُجَهَّزْ وَ الصَّلاَةُ تَمْتَنِعْ
كَالدَّفْنِ فِي قُبُورِنَا
فَلْيَمْتَنِعْ
وَ
مَنْ يَدَعْ صَلاَتَهُ جَحْدًا كَفَرْ
وَ صَارَ مُرْتَدًّا وَ
فِيهِ القَوْلُ مَرْ
Artinya:”Siapa saja yang murtad (keluar
dari agama Islam), maka hendaknya ia disuruh bertaubat. Jika ia menolak untuk
taubat, ia wajib dibunuh seketika itu juga. Janazahnya tidak usah diurus dan
dilarang untuk dishalati dan dikuburkan pada kuburan orang Islam ditegah. Siapa
saja yang enggan mengerjakan shalat lantaran mengingkari shalat sebagai suatu
kewajiban, maka ia jadi orang murtad dan diberlakukan dirinya pada pendapat yang
telah disebutkan.”
Diambil dari buku:
الفَـوَائِدُ الْمُمْتَازَة
فِي بَيَانِ أَحْــكَامِ صَـلاَةِ الْجَنَازَة
جمع
وترتيب
الحاج رزقي ذوالقرنين أصمت البتاوي
Khodimul Ummah Yayasan al-Muafah
Jl. Tipar Cakung Rt.05/08 No:5
Kelurahan Cakung Barat Jakarta Timur
13910
[1] Syaikh
Muhammad Syafii Hadzami Bin Shalih Raidi, Taudih al-Adillah vol.
7 (Menara Kudus) h. 121.
[2] Syaikh
Muhammad Syafii Hadzami Bin Shalih Raidi, Taudih al-Adillah vol.
5 (Menara Kudus) h. 182.
[3] Ahmad
al-Muzajjad, al-Ubab vol. 1 (Tarim: Dar al-Minhaj 2010) h. 363.
[4]
Syaikh Muhammad Nawawiy al-Bantaniy, Nihayah al-Zain Syarh Qurrah
al-Ain. h. 9
[5]
Ahmad al-Muzajjad, al-Ubab vol. 1 (Tarim: Dar al-Minhaj 2010) h.
364.
[6] Syaikh
Zainuddin Ibn Abdul Aziz al-Malibariy, Fath al-Muin Syarh Qurrah al-Ain
(Menara kudus) h. 47.
[7] Syaikh
Abu Bakr Ibn Muhammad Syatha, Ianah al-Thalibin vol. 2 h. 22.
2 komentar:
syukran gus
marhaba ya syekh>>
Posting Komentar