Senin, 19 November 2012

Hukum Shalat Janazah Muslim Pelaku Ma'shiyat


Seorang muslim yang melakukan ma'shiat disebut muslim yang durhaka. Dalam aqidah Ahlus sunnah Wal jamaah, kema'shiatan orang itu tidaklah mengeluarkan dirinya dari daerah iman, selama ia tidak mengingkari ketetapan hukum yang telah diijma'kan. Apabila ia meninggal, padahal ia belum bertaubat dari dosa-dosanya, maka urusannya adalah diserahkan kepada Allah. Jika Allah menghendaki memberikan ampunan kepadanya, maka diampuni dosa-dosa orang tersebut. Jika tidak, maka ia mendapat siksa. Selama ia tidak kufur atau musyrik, masih ada kesempatan baginya untuk memperoleh ampunan dan kasih sayang Allah.[1]
Imam Ibrahim al-Laqqaniy mengatakan:
وَمَنْ يَمُتْ ولَـمْ يَتُبْ مِنْ ذَنْبِهِ
                        وَأَمْــــرُهُ مُفَوََّضٌ لِـرَبِّهِ
Artinya:"Siapa saja yang meninggal sedangkan ia belum bertaubat dari dosanya. Maka perkara dirinya diserahkan kepada Allah semata.”
Apabila ada seorang muslim dalam hidupnya sudah tidak mengerjakan shalat 5 waktu dengan sebab ingkar akan kewajiban shalat atau ia punya i'tiqad telah dihalalkan baginya meninggalkan shalat tanpa uzur syar'i, maka ketika ia meninggal, meninggalnya dalam keadaan kufur lantaran mengingkari salah satu kewajiban agama yang telah diijma'kan dan haram dishalati janazahnya. Sebagaimana firman Allah surat al-Taubah ayat 84:
وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ .
Artinya:"Dan janganlah kamu sekali-kali menyalati janazah seorang yang mati di antara mereka, dan jangan kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasulnya dan mereka mati dalam keadaan fasiq."
Bagi orang yang meninggalkan shalat 5 waktu dengan sengaja hanya karena malas saja, sedang ia tidak mengingkari kewajibannya dan tidak menghalalkan meninggalkan salah satunya, maka ia berdosa besar, hampir saja kebesaran dosanya itu mengeluarkannya dari daerah iman. Maka terhukumlah ia sebagai seorang mu'min yang durhaka. Jika ia meninggal, maka hendaknya diperlakukan fardhu kifayah yaitu Tajhiz janazahnya dengan memandikan, mengafankan, menshalatkan dan menguburkannya. Karena ia masih dikategorikan meninggal dalam keadaan beriman.[2]
Imam Ahmad Ibn Umar al-Muzajjad mengatakan:
اِذَا جَحَدَ الْمُكَلَّفُ وُجُوْبَ الصَّلاَةِ عَالِمًا كَفَرَ . أَوْ جَاهِلاً لِقُرْبِ اِسْلاَمِهِ اَوْ نُشُوْئِهِ بَعِيْدًا عَنِ الْعُلَمَاءِ فَلاَ . وَاِنْ تَرَكَهَا بِلاَ جَحْدٍ فَاِنْ كَانَ لِعُذْرٍ كنَوْمٍ اَوْ نِسْيَانٍ لَزِمَهُ قَضَاؤُهُ مُوَسَّعًا , وَاِنْ أَبَى لَمْ يُقْتَلْ اَوْ بِلاَ عُذْرٍ بَلْ كَسْلاً اَوْ تَسَاهُلاً لَمْ يَكْفُرْ وَيَلْزَمُهُ قَضَاؤُهَا فَوْرًا . وَيُقْتَلُ هَذَا بِتَرْكِ اَدَاءِ صَلاَةٍ وَاحِدَةٍ وَلَوْ جُمْعَةً , فَاِذَا ضَاقَ وَقْتُهَا اُمِرَ بِفَعْلِهَا وَيُهَدَّدُ بِالْقَتْلِ اِنْ فَوَّتَهَا فَاِنِ امْتَنَعَ حَتَّى فَاتَتْ قُتِلَ .
Artinya:"Jika seorang mukallaf (islam, baligh dan berakal) mengingkari kewajiban shalat padahal dia tau akan kewajibannya, maka dia kufur. Seandainya ia orang jahil atau baru masuk Islam atau keadaan dirinya jauh dari ulama, maka ia tidak kufur. Dan jika ia meninggalkan shalat tanpa mengingkari kewajiban shalat tersebut, seumpama ada udzur ketiduran atau lupa, maka wajib ia qadhakan shalat yang ia tinggalkan pada waktu yang diberikan keluasan. Jika ia menolak, maka ia tidak boleh dibunuh. Atau ia tinggalkan shalat tanpa udzur seumpama karena malas atau menggampangi urusan shalat (bukan karena ingkar kewajiban shalat) , maka ia tidak kufur, tetapi ia wajib qadha shalat tersebut seketika itu juga. Dan dibunuh orang tersebut dengan sebab meninggalkan satu shalat walaupun shalat jum’at. Maka apabila waktunya sempit, maka ia diperintahkan untuk mengerjakan shalat tersebut dan diberikan ancaman kepadanya dengan hukuman mati jika ia keluputan shalat. Jika ia menolak sehingga waktu shalat itu luput darinya, maka ia dibunuh.”[3]
Yang berhak mengeksekusi membunuh orang yang meninggalkan kewajiban shalat adalah pemerintah atau wakilnya. Adapun siapa saja selain keduanya, maka tidak dibenarkan dan bahkan berdosa jika melakukan hukuman pembunuhan tersebut. Pembunuhan itu dilakukan setelah adanya perintah untuk melakukan taubat (istitabah), jika disuruh bertaubat oleh pemerintah orang tersebut tidak mau dan sampai keluar waktu shalat dari penjama’annya, maka ia wajib dibunuh.
Seseorang belum boleh dihukum lantaran meninggalkan shalat Zuhur hingga habis waktu shalat Ashar. Dan ia belum boleh dibunuh lantaran meninggalkan shalat Maghrib hingga habis waktu Isya. Lantaran shalat Zuhur dan Ashar, shalat Maghrib dan Isya merupakan shalat yang boleh dijama’. Dan seseorang sudah boleh dibunuh jika ia meninggalkan shalat Subuh hingga terbit matahari. Lantaran shalat Subuh tidak bisa dijama’.[4]
Hukuman yang pantas bagi orang yang mengingkari kewajiban shalat adalah dipenggal lehernya dengan pedang.
Apabila orang yang meninggalkan shalat lantaran malas tersebut telah dihukum mati oleh pemerintah, maka diberlakukan hukum-hukum fardhu kifayah atas janazahnya. Imam Ahmad al-Muzajjad mengatakan:
قَتْلُ تَارِكِ الصَّلاَةِ حَدٌّ , فَيَجِبُ غُسْلُهُ وَتَكْفِيْنُهُ وَالصَّلاَةُ عَلَيْهِ وَدَفْنُهُ . وَلاَ يُطْمَسُ قَبْرُهُ وَيُدْفَنُ مَعَ الْمُسْلِمِيْنَ .
Artinya:"Eksekusi pembunuhan orang yang meninggalkan shalat merupakan Had. Maka wajib dimandikan, dikafankan, dishalatkan dan dikuburkan janazahnya. Dan jangan dihancurkan kuburannya. Dia dikuburkan bersama kuburan orang Islam.”[5]
            Disimpulkan oleh Imam Syarfuddin al-Amrithiy dalam Nazham Nihayah al-Tadrib:
وَ إِنْ يَكُنْ تَرْكُ الصَّلاَةِ عَنْ كَسَلْ
                           وَ لَمْ يَتُبْ فَالقَتْلُ حَدًّا اتَّصَلْ
وَ اجْعَلْهُ فِي التَّجْهِيزِ وَ الصَّلاَةِ
                              كَمُسْلِمٍ فِي سَائِرِ الجِهَاتِ
Artinya:Jika seseorang meninggalkan shalat lantaran malas dan ia disuruh bertaubat ia menolak, maka hukum mati baginya disebut Had. Dan lakukanlah pada janazahnya tajhiz (pengurusan janazah) dan shalati janazahnya seperti orang muslim dalam pekerjaan yang lainnya.”
            Sedangkan apabila orang yang meninggalkan shalat lantaran juhud (menentang kewajiban shalat) atau kufur terhadap perintah shalat, dalam hal ini Syaikh Zainuddin al-Malibariy mengatakan:

وَيُقْتَلُ كُفْرًا إِنْ تَرَكَهَا جَاحِدًا وُجُوْبَهَا فَلاَ يُغْسَلُ وَلاَ يُصَلَّى عَلَيْهِ .
Artinya:"Dihukum mati dalam keadaan kufur bagi orang yang meninggalkan shalat lantaran ia mengingkari kewajiban shalat. Maka janazahnya tidak usah dimandikan dan dishalatkan.”[6]
            Syaikh Abu Bakr Ibn Muhammad Syatha menambahkan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sebab mengingkari kewajiban shalat, maka janazahnya jangan dikuburan pada kuburan orang muslim, lantaran orang tersebut mati dalam keadaan menjadi orang kafir.[7]
            Disimpulkan oleh Imam Syarfuddin al-Amrithiy dalam Nazham Nihayah al-Tadrib:
مَنْ يَرْتَدِدْ عَنْ دِينِنَا فَلْيُسْتَتَبْ
                         فَإِنْ أَبَى فَالقَتْلُ فَوْرًا قَدْ وَجَبْ
وَ لَمْ يُجَهَّزْ وَ الصَّلاَةُ تَمْتَنِعْ
                             كَالدَّفْنِ فِي قُبُورِنَا فَلْيَمْتَنِعْ
وَ مَنْ يَدَعْ صَلاَتَهُ جَحْدًا كَفَرْ
                         وَ صَارَ مُرْتَدًّا وَ فِيهِ القَوْلُ مَرْ
Artinya:”Siapa saja yang murtad (keluar dari agama Islam), maka hendaknya ia disuruh bertaubat. Jika ia menolak untuk taubat, ia wajib dibunuh seketika itu juga. Janazahnya tidak usah diurus dan dilarang untuk dishalati dan dikuburkan pada kuburan orang Islam ditegah. Siapa saja yang enggan mengerjakan shalat lantaran mengingkari shalat sebagai suatu kewajiban, maka ia jadi orang murtad dan diberlakukan dirinya pada pendapat yang telah disebutkan.”

Diambil dari buku:


الفَـوَائِدُ الْمُمْتَازَة
فِي بَيَانِ أَحْــكَامِ صَـلاَةِ الْجَنَازَة

جمع وترتيب
الحاج رزقي ذوالقرنين أصمت البتاوي


Khodimul Ummah Yayasan al-Muafah
Jl. Tipar Cakung Rt.05/08 No:5
Kelurahan Cakung Barat Jakarta Timur
13910




[1] Syaikh Muhammad Syafii Hadzami Bin Shalih Raidi, Taudih al-Adillah vol. 7 (Menara Kudus) h. 121.
[2] Syaikh Muhammad Syafii Hadzami Bin Shalih Raidi, Taudih al-Adillah vol. 5 (Menara Kudus) h. 182.
[3] Ahmad al-Muzajjad, al-Ubab vol. 1 (Tarim: Dar al-Minhaj 2010) h. 363.
[4] Syaikh Muhammad Nawawiy al-Bantaniy, Nihayah al-Zain Syarh Qurrah al-Ain. h. 9
[5] Ahmad al-Muzajjad, al-Ubab vol. 1 (Tarim: Dar al-Minhaj 2010) h. 364.
[6] Syaikh Zainuddin Ibn Abdul Aziz al-Malibariy, Fath al-Muin Syarh Qurrah al-Ain (Menara kudus) h. 47.
[7] Syaikh Abu Bakr Ibn Muhammad Syatha, Ianah al-Thalibin vol. 2 h. 22.

2 komentar: